4.| Pupus

3 0 0
                                    

Kedekatan yang dirajut hari demi hari pasti tak bisa disangkal lagi kalau itu adalah bukti kesamaan rasa yang ada di antara aku dan Zhuma. Setiap hari dia hadir. Tentu bersama Andra, mereka sibuk mengerjakan tugas-tugas dari mak Nor. Namun aku malah merasa bagai ratu yang selalu dibantu dan dilayani oleh Zhuma. Saat-saat istirahat, Andra begitu pengertian membiarkan kami berdua. Kadang dia ngopi bersama Heru. Bahkan dia ikut-ikutan nobar drakor berseri bersama mak Nor.

Jadi aku dan Zhuma punya banyak waktu untuk bicara berdua saja di ruanganku. Misalnya siang ini setelah makan siang, dia bicara tentang keluarganya yang tak mengizinkan dia pacaran sebelum punya pekerjaan. Dia juga bicara tentang penyesalannya tidak mempunyai waktu lagi untuk membuktikan kemampuan dan prestasinya pada bapaknya yang telah meninggal dua tahun lalu. Dia juga bicara tentang kondisinya yang tertinggal secara akademik waktu di sekolah dasar. Bayangkan, dia baru bisa lancar membaca setelah kelas 5 SD. Itupun atas kesabaran ibunya baru dia bisa. Rasanya sulit kubayangkan melihat apa bentuk dia sekarang; kemampuan public speaking yang bagus, kemampuan memimpin organisasi intra kampus, menang lomba duta bahasa pula ! Siapa menyangka dia bisa begitu bersinar saat ini.

Kupandangi wajahnya sesaat. Belakangan ini aku malu bila harus saling bertatapan dengannya. Aku lebih memilih melihat ke arah lain. Ah, ini bukan aku banget. Aku yang asli takkan pernah takut memandang siapapun. Juga tak takut bertemu siapapun. Apalagi berdebat. Siapa berani lawan tim debat terbaik di kampusku dulu ? Ada aku di situ yang selalu bikin argumen tim lawan berasa garing.

Tapi ini ? Aku masih bisa malu, masih bisa tahan lidah untuk tidak menjawab atau mendebat, dan masih bisa sabar menghadapi karakter Zhuma yang kadang-kadang menyebalkan. Namanya juga cowok, pinter pula, menyebalkan adalah sebuah kepastian.

Tiba-tiba sebuah panggilan telepon masuk ke hape Zhuma. Sambil berbisik dia bilang, "Mamakku." Aku auto mendiamkan diri sendiri sementara dia mulai bicara dalam bahasa daerahnya yang tidak aku mengerti.

Tak lama pembicaraan itu selesai. Aku diam saja tak berniat bertanya ada apa dan tentang apa. Aku toh masih bukan siapa-siapanya dia.

"Mamakku mau ke Ponti. Ada urusan katanya. Mungkin nanti malam sampainya." Kata Zhuma. Aku memandangnya sekilas lalu pura-pura sibuk dengan layar laptopku.

"Kamu kenapa ? " Tanya Zhuma. Tumben dia peka, kata hati kecilku. Biasanya dia cuek-cuek aja.

"Takut sama ibumu. Nanti dimarahin karena dekat sama kamu. " Jawabku terus terang.

Zhuma menghela napas panjang. Ada dilema pasti dalam batinnya. Tak lama mengalun lagu milik Yura Yunita dari laptopku yang judulnya Dunia Tipu-Tipu. Zhuma pernah bilang aku harusnya lihat video musiknya. Dan cobain tatap-tatapan gitu sama sahabatku. Soalnya dia juga pengen gitu sama ibunya. Terlebih sama bapaknya tapi gimana, bapaknya udah pergi duluan menghadap yang maha kuasa.

Sekarang malah aku dan dia yang saling tatap. Awalnya aku tak kuat dan buang pandangan tapi Zhuma mendekat. Duduk di depanku dan mengulurkan tangan mengarahkan daguku untuk menghadapnya. Memaksa mataku menatapnya.

Gelombang rasa emang dahsyat. Komunikasi lewat tatapan mata emang paling jujur. Di matanya aku melihat rasa putus asa, rasa takut, yang kemudian membawa kedua tanganku menggenggam kedua tangannya erat. Dia menahan napas. Namun kemudian aku melihat ada sinar mata yang hangat penuh kasih sayang yang tersampaikan tepat di hatiku. Aku terharu dan mulai merasa mataku panas.. Aku ingin menangis. Dan kemudian aku memang menangis. Aku menangis karena merasa disayang olehnya. Kami kemudian sama-sama meneteskan airmata. Zhuma menarikku dalam pelukannya. Di bahunya aku terisak-isak. Saat lagu itu sudah lama selesai, aku masih saja di situ.

Hari itu menjadi kenangan tak terlupakan hingga ribuan hari ke depan nanti. Tak perduli apa warna hari beserta kisahnya.

Yang jelas tiga bulan berlalu, magang selesai, dan Zhuma diminta pulang kampung oleh ibunya. Saat berpamitan, dia berjanji untuk selalu kontak dan bertemu lagi di lain hari. Aku mengiyakan dan mengharapkan dia sehat selalu.

Kontak lewat WA semakin jarang, dia pun semakin lama merespon chat dariku hingga aku semakin hilang semangat untuk menjaga rasa di hatiku ini. Aku tak ingin berprasangka ini andil ibunya. Biarlah alam saja yang bicara melalu hembusan angin. Aku sudah terlanjur babak belur oleh perasaanku sendiri, harapanku sendiri.

Semakin sering kudengar Heru mengumandangkan lagu-lagu mellow yang sesuai isi hatiku. Aku saja yang tak menyadarinya hingga aku berdiri di pintu ruangannya dan bertanya.

"Ini semua lagu kamu kok. Bukan laguku. " Kata Heru.

"Aku baik-baik aja Heru. " Bantahku. Tepat setelah kata-kataku berakhir, Judika bernyanyi, " Bagaimana kalau aku tidak baik-baik sajaaaa. " Aku langsung berlari ke ruanganku. Heru mengejarku dan menunggu ku bicara setelah sekian menit aku menggigit bibir dalam kebisuan. Aku sedih, iya benar. Tapi aku tak bisa menangis. Aku hanya bisa menangis kalau Zhuma ada.

"Kamu suka Zhuma, aku udah tau. Kamu terhalang restu ibunya, aku juga tau. Bukan cuma aku, semua orang di kantor ini tau, Pai. Kami ga tau harus apa buat bantu kamu, Pai. Bilang Pai.. " Katanya.

Aku menggeleng. Masih belum mampu bicara.

" Andra bilang sama aku kalo Zhuma emang dilarang ibunya buat berhubungan sama kamu. Ibunya tau kamu dari hape Zhuma. Zhuma ada ambil foto candid kamu banyak sekali."

"Heru... " Aku lemas rasanya mengetahui kebenaran ini. Pahit sekali.

"Andra juga bilang kalo Zhuma mesti fokus selesaikan skripsinya secepatnya. Jadi kamu ga boleh ada dalam hidupnya. "

"Heru... Sakit ! " Teriakku.

Tak lama mak Nor datang dan segera memelukku. "Tupai adekku, jangan nangis. Biarin aja ini berlalu. Kamu kuat, Pai. Udah terbukti, udah teruji, siapa yang sanggup menaklukkan pendemo pasir di Ketapang itu ? Siapa yang paling ditunggu untuk penyuluhan tanggap bencana di SD-SD rawan bencana ? Kamu kebanggaan kami, Pai. Kuat, Pai. Kamu harus kuat. "

Aku hanya bisa gigit bibir. Tak mampu membalas peluk hangat mak Nor, apalagi menjawab kata-katanya.

Tiba-tiba bang Iwan masuk dan meletakkan sekardus pizza dan segelas soda biru. Lalu dia menepuk lenganku dan segera keluar. Itu caranya menghiburku. Tanpa kata.

"Bang Iwan.." Panggilku lirih. Heru segera menyusul bang Iwan dan membawanya kembali ke ruanganku.

"Apa, Pai ? " Tanya bang Iwan sambil duduk di depanku.

Susah payah aku menata suara agar jelas bicara.

"Bang, kasi aku kerjaan di luar. Aku belum kuat lama-lama di ruangan ini. " Demikian permintaanku.

"Iya, Pai. Abang coba atur ya. " Jawab bang Iwan.

"Kalo kamu mau pulang sekarang, gpp abang antarkan." Tawarnya. Aku menggeleng.

Kemudian satu persatu mereka meninggalkan aku.
Heru mencomot seiris pizza dari kardus dan bilang padaku, "Aku minta ya, Pai. Jarang-jarang abang belikan pizza. " Lalu dia berjalan keluar, berhenti di pintu, dan bilang, "Kalo ada apa-apa, aku di mejaku."

Aku cuma bisa mengangguk. Pizza varian cheesy bites topping paprika jamur itu dan soda itu semuanya kesukaanku. Tapi aku malah sangat menginginkan ayam geprek sepuluh ribuan yang pernah dibelikan oleh Zhuma.

*****************
Kehilangan itu baru terasa saat kau merasa sudah cukup tegak berdiri. Lubang dalam jiwa itu tidak akan pernah sepenuhnya menutup kecuali kau izinkan kepergiannya.

The Sky And Earth ConquerorWhere stories live. Discover now