11.| Penguasa Langit dan Bumiku

1 0 0
                                    

Setelah dua hari di klinik, aku diperbolehkan pulang. Rasanya lega karena bisa pulang tapi juga rasanya sesak lagi karena besok Zhuma harus pulang ke Surabaya. Dia masih harus kuliah dan mempersiapkan ujian semester. Jadi aku cuma bisa pasang tampang murung saja.

Mamak Zhuma ikut kami pulang ke rumahku. Zhuma memintanya untuk menjagaku setidaknya seminggu ini sampai aku benar-benar pulih. Seperti biasanya dengan orang yang baru kukenal, aku tak mudah akrab. Tapi bagaimanapun, dia ibuku juga. Dan Zhuma sayang sekali padanya.

Pagi ini aku dan Zhuma berjemur di halaman. Katanya biar aku ganti suasana. Dia menemaniku tanpa memegang hape. Hanya memegang tanganku.

"Penguasa langit dan bumiku. " Aku bergumam sambil menatap wajahnya. Seperti biasa, ia tampak menawan dan tampan luar biasa. Kini dia tersenyum padaku.

"Hadir." Sahutnya sambil mengacungkan jari seperti anak SD yang dipanggil namanya saat diabsen.

Aku tersenyum. Kurasa ini senyum terlebarku dalam beberapa hari ini. Dalam hati aku berbisik, cute banget sih.

"Aku ga mau bilang apa-apa sih. Cuma kayaknya kamu perlu potong rambut. Udah gondrong ini. " Kataku sambil menyentuh poninya. Dia memejamkan mata.

"Pasrah amat. " Cetusku. Zhuma lantas tertawa.

"Sama istri sendiri boleh dong pasrah. " Ujarnya.

"Nanti diikat ya. " Kataku.

"Emangnya aku sayur, pakai diikat. " Balasnya.

"BDSM." Bisikku.

Lalu kami berdua tertawa. Kekonyolan apa mau coba-coba. Cuma berani dijadikan olok-olokan saja di antara kami berdua, pada praktiknya, enakan yang standar-standar aja. Mana sempat mikir kreatif saat udah dikuasai hasrat begitu.

"Dek... Linda.. Ayo masuk. " Panggil ibunya. Sepertinya kami diajak sarapan. Dari tadi ibu sudah menguasai dapurku dan aku tak dibolehkan membantu.

"Mamak masak apa nih ? " Seru Zhuma sambil menarik kursi makan. Sarapan kami tak seperti sarapan. Malah seperti makan siang. Lauknya beraneka ragam. Memang kreatif tangan ibu, bisa menyulap apa yang ada dalam kulkasku. Aku juga curiga apa tadi dia sempat menyetop tukang sayur keliling untuk belanja.

"Wah, ibu repot sekali ni. " Kataku.

"Ndak adalah repot. Biasa ini. " Jawabnya.

"Coba panggil mamak saja. Tak usah ibu. Kan dia mamakmu juga. " Kata Zhuma.

"Ok." Sahutku.

Kami sarapan sambil berbincang hal-hal kecil. Zhuma berbagi cerita tentang kegiatannya di Surabaya. Mamak menceritakan keadaan di Melawi, dan aku cuma menyimak.

"Nanti jam 9, mamak mau pergi sama tantemu, nanti dia jemput ke sini. Dedek jaga Linda ya. Jangan kemana-mana. "

"Ok. Siap ! " Zhuma memberi tanda hormat dan kami tertawa dibuatnya.

Setelah mamak pergi, kami berpandang-pandangan. Zhuma tersenyum nakal dan aku memelototinya.

"Ga boleh Zhuma. Belum boleh. Masih nifas. " Kataku seolah bisa membaca pikirannya.

"Iya aku tau. Tapi kalo mandi bareng boleh kan ? "
Ajaknya. Aku mengangguk. Jadilah kamar mandi itu terasa panas dan sesak. Saling menggosok tubuh satu sama lain, saling menyirami, dan tertawa bersama.

Zhuma meraih handuk dan membalut tubuhnya lalu meraih handuk satu lagi dan mengeringkan tubuhku. Tapi lebih sering bibirnya yang singgah di kulitku. Bahkan di beberapa tempat dia parkir agak lama dan meninggalkan bekas merah di kulit. Ada dua malah di leherku. Apa nanti kata mamak Zhuma kalau dia melihat leherku berhias cupang begitu. Tapi aku pasrah saja karena aku juga menginginkannya. Berdekatan dan bermesraan dengan penguasa langit dan bumiku ini adalah sesuatu yang tak ternilai harganya.

Dia menarikku ke depan cermin besar di ruang makan. Dia berdiri di belakangku dan aku menutupi tubuhnya dengan tubuh telanjangku. Zhuma memelukku dan meletakkan kepalanya di samping telingaku.

"Kamu adalah amanah untukku. Jiwa dan ragamu tanggunganku. Maafkan kalau aku belum bisa maksimal saat ini untuk menjagamu dan membahagiakanmu." Katanya dengan suara berat. Ini mengharukan, aku paham.

"Ini.. " Ujarnya sambil mengelus perutku, " Akan menjadi tempat ternyaman bagi anak-anak kita nanti." Suaranya serak. Aku sudah mulai merasakan mataku panas dan airmata mulai menggenang.

Lalu tangannya bergerak naik merangkum kedua payudaraku, " Ini akan jadi sumber makanan dan minuman untuk anak-anak kita. Sehingga menjadi anak-anak yang sholih dan sholihah."

Lalu kecupnya mengalir di leher dan pundakku. Aku merasakan hujan kehangatan yang memberiku rasa nyaman tak terkira. Zhuma membalikkan tubuhku sehingga menghadapnya dan mulai mencium bibirku. Kami menikmati momen itu.

Aku pasrahkan diriku padanya, sang penguasa langit dan bumiku, yang bertanggung jawab atas diriku, dunia dan akhiratku.

Sore itu Zhuma menunjukkan info beasiswa program doktoral di Harvard University di Massachusetts, USA. Katanya dia direkomendasikan oleh dosen magisternya di Unair itu untuk lanjut ke sana setelah selesai program. Zhuma memang cemerlang, aku tahu, banyak hal baik yang akan datang padanya. Udahlah pintar, sholih, baik hati, tampan pula. Aku jadi minder apa emang setara untuk jadi pendampingnya.

"Tar kamu ikut ke sana. Aku usahakan yang terbaik untuk kita. Aku tak mau berpisah lagi sama kamu. Kalo perlu kerjaanmu di sana nanti cuma hamil dan melahirkan aja."

Mataku membelalak. Ada-ada aja si Zhuma. Dengan gemas dia mengucek-ucek rambutku.

"Eh, gimana persiapan resepsi bulan depan ? " Tanyanya.

Aku pun melaporkan semua sudah 90% selesai dikerjakan oleh WO. Aku emang sengaja pakai jasa Wedding Organizer karena kondisiku kemarin dan aku juga tak punya banyak orang yang bisa dilibatkan. Sisa menyebar undangan dan fitting baju pengantin saja yang sudah kupilih.

"Jadi kita fitting aja sore ini ? " Tawarku.

"Jangan dong. Kamu kan masih perlu istirahat. Ga boleh keluar rumah dulu ya. Bisa kan tukang bajunya yang disuruh ke sini ?" Zhuma bicara kayak biasanya dia kalo lagi memimpin sesuatu. Penuh diplomasi, dan negonya cantik.

"Bisa sih, tapi kita bayarin dia transpornya. " Kataku.

"Ya udah, hubungi lah sekarang. Tar transpornya kita transfer kalo nggak cash, sesuai keinginan dia. " Perintahnya.

Sore itu dengan disupervisi oleh mamak Zhuma, kami mencoba 3 stel pakaian. Dengan segala revisi yang ditawarkan, juga modifikasi seperlunya, ternyata yang cerewet mengomentari segala sesuatunya adalah Zhuma. Aku sih pasrah aja. Mamak masih mendinglah pake tanya apa pendapatku dulu. Hahaha... Baru aku tahu kalo Zhuma ternyata kalo kerja sedetil itu.

Jadi akhirnya kami sepakat mau pakai setelan yang mana dan sekaligus baju untuk ortu, keluarga, dan pagar ayu. Tentunya setelah melalui inspeksi dan audit menyeluruh dari pak Zhuma. Aduh, hampir saja aku tak bisa menahan tawaku. Ya gimana, aku emang tipe tak suka shopping, dan kalaupun harus berbelanja, maunya cepat selesai di satu toko dan kalau bisa tanpa menawar. Beda sekali dengan Zhuma yang senang berbelanja dengan perhitungan mendetil, apalagi kalau ditemani atau menemani. Ampun deh, yang berbeda seperti kami ini kok bisa menyatu ya ?

*************

Perbedaan bukan untuk memisahkan, tapi untuk saling melengkapi agar menjadi teman seperjalanan yang asyik.










The Sky And Earth ConquerorOnde histórias criam vida. Descubra agora