5. | Aku Pun Sama

2 0 0
                                    

Zhuma POV
*************

Aku enggak merokok. Tapi kali ini rasanya pingin bisa merokok. Buat menemaniku yang lebih sering duduk melamun di depan laptop. Pikiran melayang jauh dari apa yang seharusnya kuketikkan di situ. Mungkin kepulan tipis-tipis asapnya bisa membawa juga sedikit demi sedikit rasa sakit dan kenangan manis bersama si Tupai yang selalu gesit alias si Rosalinda, gadis penjual bunga yang senyum manisnya tak bisa kulupakan. Kurasa dulu itu bukanlah sebuah kebetulan saat dimana kami bertemu, namun sebuah kutukan untukku agar selalu tersiksa oleh bayang-bayangnya.

Kusedot minumanku. Memang sudah tinggal sedikit, jadi berisik sekali di antara es batunya. Aku antara ingin tertawa dan menangis saat ingat kesayanganku itu pernah menegur kebiasaan burukku itu, lantas memberiku minumannya. Ok, punggung tanganku segera menghapus airmata yang terlanjur mengalir. Akan terlihat aneh, seorang lelaki dewasa menangis di cafe. Perempuan jenis apa yang mampu melukainya ?

Sudah setahun aku memutus kontak dengannya. Awalnya karena permintaan ibuku. Ia mengetahui hubungan kami karena tak sengaja melihat koleksi foto kami di hapeku. Marah itu wajar karena aku emang dilarang oleh ibuku, kakakku, dan juga abangku untuk pacaran sebelum aku punya kerjaan tetap. Masih kuliah, tak boleh pacaran. Itu selalu terngiang di telingaku. Namun pagar itu kuterobos saat ada Rosalinda alias Tupai yang hadir secara tiba-tiba dalam hidupku. Rosalinda tak hanya menarik dari segi penampilan, tapi isi otak dan kepribadiannya jauh lebih menarik dari semua gadis yang pernah kutemui. Wajahnya manis dengan senyum spektakuler yang pasti membuatmu ikut tersenyum juga. Mata yang memiliki tatapan dalam menembus jiwa, dan kulit sawo matang yang menebar aura kehangatan. Aku sudah memilih dia untuk jadi 'rumahku'. Tapi kemudian semua berantakan.
Bahkan aku tak sempat memanggilnya dengan panggilan sayang.
Dan aku tahu pasti aku menyakiti jiwa dan raganya. Dia pernah bilang kalau lagi gugup, marah, atau sedih banget, maka perutnya akan terasa sakit.

Kukepal tanganku, berusaha merasakan juga penderitaannya. Aku ingin sekali memeluknya dan membuatnya selalu bahagia dan tersenyum ceria dengan sinar mata yang berseri-seri.

Kutatap kosong layar laptop di depanku. Laptop baru yang dibelikan oleh mereka bertiga, mamak, kakak, dan abangku. Laptop dengan layar sentuh yang kuidamkan sejak dulu. Untuk editing yang sempurna, yang merupakan hobiku. Tapi oleh Tupai cuma dianggap "Just a thing." Dia emang lebih melihat esensi daripada gengsi. Aneh tapi berkelas.

"Pai, sini lah. Aku kangen. " Bisikku pada udara.

Tiga minggu lagi aku sidang skripsi. Kolaborasi dengan Andra sih. Partner terbaik yang mengerti kadang-kadang aku lemot dan gabut. Skripsi ini bisa selesai tepat waktu juga karena usahanya. Semua surat menyurat sudah selesai untuk keperluan sidang. Hanya tinggal menunggu waktu.

Selayang email masuk. Kubuka, itu info pembukaan lowongan dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Aku ingat Tupai pernah bilang kalo bagusnya aku buka kantor akuntan publik aja sambil sekalian jadi dosen di FEB. Seperti suami temannya. 'Banyak duit! " Selorohnya sambil tertawa.

Iya, Pai. Iya. Banyak duit ntar semua buat belikan kamu rumah supaya kamu bisa bikinkan aku kopi, juga belikan kamu mobil, biar ga kepanasan dan keujanan, juga biar kamu bisa suka belanja dan ga repot bawa belanjaannya. Tupai ga suka belanja. Suatu keanehan bagi kaum hawa menurutku sih.

Segera kudownload format CV terbaru dan kuisi dengan data-dataku. Lamaran akan segera kumasukkan. Aku tak lagi menunggu ijazah. Nanti itu bisa menyusul, asalkan CV ini bisa kubuat mengesankan dengan sederet prestasi dan jabatan yang pernah kupegang selama masa kuliah. Aku yakin aku takkan ditolak. Diminta wawancara langsung pun aku takkan takut.

Status WA si Rosalinda hari ini adalah foto candid dia sedang memberikan penyuluhan, spanduk di belakangnya tertulis tanggap bencana. Belakangan seringkali aku melihat statusnya yang serupa. Entah penyuluhan, entah bakti sosial, entah apa, pokoknya yang bersifat lapangan. Mungkin dia tak lagi nyaman terkurung di ruangannya yang menyimpan banyak cerita antara aku dan dia.

Demikianlah aku menjalani hari-hariku yang lebih banyak kuhabiskan dengan melamun di cafe. Termasuk memandangi printer kenangan itu dari kejauhan. Mengingat kami pertama bertemu di situ.

Akhirnya tibalah juga sidang skripsi. Deg-degan itu pasti. Tapi semua berjalan mulus. Kami lulus dengan nilai A yang menuai sorak-sorai teman-teman, pelukan dari sahabat dan keluarga. Juga airmata bahagia dari mamakku. Kemudian dilanjut dengan acara makan-makan sekeluarga besar. Aku bahagia tapi tetap mencari kalau-kalau ada Tupai diantara keramaian. Tapi dia tak ada.
Bau parfumnya pun tak ada.

Besoknya hari Sabtu. Jam 10 pagi aku sudah rapi. Aku sudah menetapkan hati dan nyali untuk ke rumahnya. Hari Sabtu biasanya Tupai libur. Aku memang tidak menghubunginya dulu. Kuharap ini jadi kejutan manis untuknya. Aku ingin kembali dan membahagiakannya. Toh, email semalam tentang undangan wawancara lowongan dosen itu sudah merupakan langkah positif sebesar 50% kemungkinan berhasil. Dan mamakku takkan lagi bisa menghalangi niatku.

Rumahnya kosong. Kuketuk beberapa kali tak ada jawaban. Tetangganya bilang Tupai pergi dari pagi. Aku terdiam sesaat baru kemudian duduk di terasnya yang teduh. Aku tak akan kemana-mana. Aku akan menunggunya di sini saja. Dan aku menunggu hingga sore diselingi dua kali ke mesjid, satu kali beli makan, dan dua kali beli es.

Jam 15.30 sore, Tupai pulang. Dia menghentikan motornya begitu saja di depan pagar saat melihat motorku parkir juga di situ. Dia berlari masuk ke halaman rumah yang kukira dia akan menghambur dalam pelukanku, eh, dia malah mematung di anak tangga terbawah. Menatapku dengan pandangan aneh. Aku sedih melihatnya. Dia bagai menanggung kesedihan yang begitu dalam.

"Zhuma nyebelin. " Katanya. Airmatanya tumpah sudah. Aku tak tahan lagi untuk meraih tangannya, membimbingnya naik dua anak tangga dan memeluknya di terasnya. Tak kupedulikan lagi orang yang lalu-lalang dan tetangga kiri-kanan. Kupeluk dia erat. Kurasakan hangat tubuhnya, harum parfumnya dan kedua lengannya yang balik memeluk tubuhku. Sekejap dunia jadi biru tua dan dijatuhi bintang-bintang.

"Maafin aku, Pai." Bisikku. Dia mengangguk.

Kulepaskan dirinya perlahan. Kuraba pipinya yang basah. Dan kurasakan tatapannya begitu menusuk.

"Maafin aku, Pai." Pintaku lagi.

"Iya." Jawabnya.

"Kamu cantik, Pai. Tak berubah. " Pujiku sesuai kenyataan.

Rosalinda tersayang malah diam dan mengeluarkan kunci untuk membuka pintu rumah. "Udah cantik, masih juga ditinggalkan. " Keluhnya.

"Eh, " Protesku sambil mengikutinya masuk.

Dia terus masuk hingga ruang makan, membuka kulkas dan mengeluarkan satu box es batu. Kemudian dia mengambil dua gelas, mengisinya dengan air galon. Kemudian mengisinya lagi dengan es batu. Lalu menyodorkan satunya padaku. Kubiarkan dia minum dan kuletakkan gelasku kembali di meja tanpa meminumnya. Dia menatapku heran. Kuraih gelasnya, kuletakkan di meja makan dan kutarik dia mendekat.

Aku akan menciumnya. Tak perduli dia akan menolak atau menerimaku. Aku hanya ingin menyampaikan perasaan yang campur aduk ini.

Bibirnya dingin saat kusentuh. Tapi dia tak menolak. Saat aku menjilati dan mengulum bibirnya, dia mulai membalas. Kupegangi bagian belakang kepalanya dan meneruskan apa yang sudah kumulai. Bibirnya enak, lembut, dan berbicara dalam bahasanya sendiri.

Inilah ciuman pertamaku, yang tak kusangka begitu mengesankan.

********
Telah tertakar dan tak akan tertukar. Seberapa kamu yakin akan hal ini ?

The Sky And Earth ConquerorWhere stories live. Discover now