Delapan Belas

1.7K 66 4
                                    

Bantu vote, ya.

Sore ini, Maxi dan Zhelica sedang menikmati waktu santainya di gazebo tepat di belakang mansion nya. Tapi kesenangan itu tak berselang lama, kala telinga keduanya mendengar deringan ponsel berlogo apple tergigit milik Maxi yang sebelumnya berada di saku celana pendek yang Maxi kenakan.

Tertera nama Ramos disana, pertanda Sekretarisnya itu yang menelfon.

Maxi mendengus sebal. Ramos benar-benar mengganggu waktu berharganya yang akan ia habiskan bersama Zhelica sore ini.

"Siapa yang telfon, Lian?" celetukan itu Maxi dengar dari gadis yang sedari tadi bersandar nyaman di dada bidang miliknya.

Maxi mengelus perlahan rambut Zhelica yang kini dicepol asal. Tetap cantik. Selalu cantik.

"Ramos, sayang"

Zhelica mengangguk.

"Angkat dong, nanti kalo penting gimana?"

Maxi mengalihkan pandangannya sejenak pada ponselnya yang masih berdering. Lalu menatap mata teduh milik Zhelica kembali.

"Gak pa-pa?" tanyanya kemudian.

"Nggak pa-pa, cayang. Angkat dulu mendingan"

Maxi tak membalas, tapi ibu jarinya menggeser tombol hijau tersebut tanda mengangkat panggilan dari Ramos. Tangan kanannya ia gunakan untuk memeluk erat Zhelica, tanpa menyakitinya.

"Maaf tuan, saya belum bisa pulang ke kediaman anda"

Alis Maxi mengkerut.

"Why?"

"Ada sedikit pekerjaan tuan yang belum saya selesaikan"

"Lanjutkan"

"Baik tuan"

"Maaf tuan, sebelum di tutup saya ingin menyampaikan salam dari tuan Jhonson, beliau juga mengundang anda untuk menghadiri acara anniversary pernikahannya" ujar Ramos panjang lebar.

"Kapan, Ram?"

"Nanti malam, tuan. Sekitar pukul delapan"

"Terima kasih"

Setelah berucap seperti itu, Maxi mematikan sambungan telfonnya. Matanya melirik Zhelica yang sedari tadi asik mendengarkan obrolan dirinya dan Ramos dengan tatapan mata yang menatap penuh binar kearahnya.

Maxi terkekeh dibuatnya. Gadisnya begitu imut dengan tangan yang tak berhenti bermain-main di dadanya.

"Kenapa, cinta?"

Zhelica mengerjap.

"Eum? Lian mau pergi?"

"Pergi kemana, sayang? Aku gak kemana-mana, selalu disini sama kamu"

"Tadi Om Ramos mau apa?" bingungnya.

Maxi berfikir sejenak. Apa ia harus pergi ke acara pesta teman kantornya itu? Kalaupun iya, apa harus membawa gadisnya juga? Ia takut disana Zhelica tak nyaman dengan suasananya, orang-orangnya, atau apapun itu.

"Kamu mau ikut ke pestanya temen aku, hm?"

"Temen Lian yang mana? Abang Revin? Abang As? Abang Rogi?" tanyanya rinci.

Maxi dibuat gemas dengan pertanyaan kekasih tersayangnya itu, tangannya mencubit pelan hidung mancung Zhelica.

"Bukan, baby. Ini temen kantor aku"

"Oh, Lian mau kesana? Kalo Lian ikut, Lica juga mau ikut"

"Kita pergi, ya? Acaranya nanti malem, semuanya nanti disiapin sama bibi, kamu cukup pilih dress yang kamu suka"

"He'em. Sayang Lian banyak-banyak"

Zhelica memeluk tubuh kekar pria dihadapannya itu, yang dibalas tak kalah eratnya.

"I even love you more than anything" balas Maxi sembari mengecup puncak kepala gadisnya.

***

Malam harinya sekitar pukul delapan lewat, Maxi dan Zhelica sudah siap dengan setelan jas dan dress nya. Kini keduanya tengah berada didalam mobil mewah milik Maxi, tanpa seorang supir.

Mobil Bugatti La Voiture Noire berwarna hitam itu melaju menembus dinginnya malam hari ini. Tangan kiri Maxi yang menganggur itu mengusap paha Zhelica yang tertutup dress nya. Tentu saja gadisnya itu menggunakan dress dibawah lutut dengan warna merah maroon.

Sebuah gedung tinggi adalah objek yang pertama Zhelica lihat saat turun dari mobil. Tidak aneh, teman-teman Maxi adalah orang terhormat, apalagi ini teman kantornya.

"Dingin, sayang?"

Lamunan Zhelica buyar kala mendengar suara bass milik prianya itu. Zhelica mendongak, menatap wajah rupawan Maxi yang sama-sama tengah menatap penuh damba kepadanya.

"Ayo masuk. Jangan terlalu lama diluar" ajak Maxi.

Zhelica hanya mengangguk mengiyakan. Dengan rangkulan dipinggang ramping Zhelica, keduanya berjalan dengan Maxi yang penuh dengan wibawanya.

Sesampainya dilantai tempat diadakannya party tersebut, sontak semua pandangan yang tadinya mengarah kepada sepasang sejoli yang berada diatas panggung, kini teralihkan kearah pasangan yang baru saja menginjakkan kakinya itu di lantai tersebut.

Maximillian Harison, siapa yang tak kenal dengan dirinya? Semua orang pasti tahu. Dikenal dengan sosok pemuda dengan segala kesuksesannya, wajah dinginnya sudah tak asing lagi bagi khalayak ramai, dan tak lupa juga, seorang gadis mungil yang kerap selalu ada disampingnya.

Atensi semua orang yang mengarah pada keduanya, membuat Maxi mati-matian menahan amarahnya. Gadisnya, tunangannya ditatap dengan bebas oleh orang lain, bahkan dengan tatapan macam-macam.

Ia menunduk, mencoba mensejajarkan wajahnya dengan tinggi Zhelica.

"Kamu risih, sayang?" tanyanya dengan intonasi rendah.

Sontak Zhelica mendongak. Pandangannya bertemu dengan sosok pria berjas yang sedari tadi merangkulnya itu.

Zhelica menggeleng.

"Nggak pa-pa, Lian. Ayo ke tempat temen kamu aja" ajak Zhelica kemudian.

Berbeda dengan kedua tangan mungilnya yang saat kini memeluk erat pinggang kekar Maxi.

Maxi tersenyum menanggapi. Menghiraukan sekumpulan manusia disekitarnya, tanpa ragu ia membalas pelukan hangat yang baru saja kekasihnya berikan.

"Mau digendong, hm? Atau mau pulang aja?"

"Ih jangan pulang, baru aja sampe. Lian gak mikirin temen yang ngundang Lian apa? Kasian loh, dia mau Lian dateng"

Celotehan Zhelica hanya dibalas dengan kekehan yang menunjukkan senyum lebar Maxi. Zhelica memajukan bibirnya kesal.

"Jangan ketawa!" sentaknya pelan.

"Maaf, sayang, maafin aku ya? Kita gak pulang, ayo ketemu dulu sama temen aku. Setelah itu kalo mau pulang nggak pa-pa" tuturnya lembut.

Usapan penuh sayang Zhelica rasakan dipinggang rampingnya.

Malam ini Maxi dan Zhelica habiskan di party tersebut. Tidak terlalu larut, hanya sampai pukul sepuluh mereka berada disana. Selain Maxi yang mengajak pulang, Zhelica juga sudah merasa bosan. Sebab disini hanya Maxi, Aston, dan Ramos yang Zhelica kenal. Sisanya hanya orang asing.

***

Maximillian the Possessive GuyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang