“aku bahkan ragu kalau dia adikmu, maksudku, kalian terlalu bertolak belakang. Maaf atas kejujuranku”

Huacheng membalas dengan tawa kecil, “tak apa, aku suka orang yang dapat berkomentar jujur. Selama ini orang-orang terlalu sungkan untuk berkata sepertimu.” Huacheng menghela napasnya, memandangi bingkai-bingkai foto yang berisi ia, Binghe dan Wei Wuxian, beberapa diantaranya bersama orang tua juga kakek dan mereka, namun fokus utamanya tertuju pada Wei Wuxian yang tengah tertawa lepas bersama seekor kelinci berbulu putih dengan mata merah yang bersinar dipangkuanya.

“dia memang anak yang kasar dan semaunya sendiri, kadang aku juga penasaran bagaimana bisa sifatnya berubah drastis seperti itu.”

“dulu, A Xian adalah anak periang. Tutur katanya lembut dan memiliki empati yang sangat besar terhadap semua hal disekelilingnya. Tapi entah sejak kapan perangainya berubah menjadi seperti sekarang. Mungkin karena kami semua terlalu sibuk dengan urusan kami masing-masing sampai tak sempat memberi perhatian lebih padanya.”

“Tapi meskipun begitu, A Xian tidak pernah sekalipun mengeluh. Bahkan ketika papa dan mama hanya bisa pulang setahun sekali, atau ketika kakak tertua kami terlalu sibuk dengan urusan kantornya dan aku sibuk dengan kegiatan klub, A Xian tidak pernah mengeluh. Dan karena itu, aku selalu merasa bersalah. Menduga, mungkin saja A Xian seperti ini karena dia merasa kesepian.”

Setelah menyampaikan apa yang mengganjal dalam pikirannya Huacheng menatap Wangji yang sejak tadi tak bergeming sama sekali, pemuda itu tampak termenung seolah tengah memikirkan sesuatu. “Ah, maaf, sepertinya aku terlalu banyak bicara.” Katanya, sedikit banyak ia merasa sedikit tak enak karena mungkin saja Wangji tak terlalu nyaman dengan topik pembicaraannya barusan, terlihat dari kerutan tipis didahi putihnya.

Namun Wangji menggelengkan kepalanya ringan, ia kembali menyesap tehnya perlahan-lahan, “tidak apa-apa, kau terdengar seperti kakak yang baik. Itu mengingatkanku pada kakakku.”

“kau memiliki seorang kakak?”

“Mn. Tapi aku tidak ingin membicarakannya, jadi jangan bertanya lebih jauh.” Karena hatinya akan selalu hancur jika mengingatnya.

Mendengar kata kesepian yang disematkan Huacheng untuk adiknya memberikan bekas tak kasat untuk dirinya. Ketika orang itu membicarakan tentang Wei Wuxian, Lan Wangji malah berpikir jika dirinya tengah bercermin dengan kehidupannya sendiri.

Ia tengah mengukur seberapa dalam kesepian miliknya, dan mencoba membandingkannya dengan Wei Wuxian.

Agar dirinya masih memiliki alasan untuk tidak membenarkan setiap tindakan pemuda itu.

Ah, pikirannya menjadi kacau. Wangji bahkan merasa jika ia perlahan-lahan berubah menjadi monster jahat karena pikirannya sendiri.

“Kau baik-baik saja?” Huacheng memperhatikan Wangji yang tengah memukul-mukul kepalanya dan seketika ia menjadi khawatir. “kau sakit?” tanyanya kembali.

“Bukan apa-apa. Terima kasih untuk tehnya, tapi kupikir aku harus segera pulang.” Wangji beranjak dari duduknya, ia berjalan keluar dari ruangan itu. Sesaat, iris emasnya sempat melirik foto Wei Wuxian yang tengah tertawa lepas.

Itu bukan ekspresi yang dibuat-buat, dan entah kenapa, perasaannya tiba-tiba merasa lebih ringan dari sebelumnya.

“Wangji?”

“Ah, ya?”

Huacheng masih menatap khawatir padanya, “kau yakin baik-baik saja?”

“ya aku baik-baik saja, jangan melihatku seolah aku akan mati detik ini juga.”

Huacheng merespon kalimat Wangji dengan tawa kecil, “kenapa sekarang kau malah terdengar seperti A Xian?” tanyanya geli, namun itu malah membuat mata Wangji melotot.

Chateau de WangxianWhere stories live. Discover now