[06] Variable Limits: Infinity

ابدأ من البداية
                                        

"Kalian sadar? Ini pertama kalinya sekolah ngadain bimbel Study Group khusus top five. Tapi, secara kebetulan, angkatan kita cuman berempat karena posisi peringkat satu kosong." Liz membuka suara.

Tiga pasang mata menatap si rambut pirang berdarah Belanda. Apa yang dikatakan Liz sepenuhnya benar. Sistem peringkat dihilangkan, sementara program bimbingan belajar Study Group yang hanya didedikasikan khusus murid lima besar tiap angkatan berjalan lancar. Terlalu kelihatan jelas kalau sekolah ini hanya bertujuan mencetak otak siswa berkualitas tinggi.

"Kasus Virgi cuman jadi pengalihan isu buat nutupin kebusukan sekolah," protes Khalil sebagai Wakil Ketua OSIS yang sebentar lagi demisioner. "Bener kata Liz. Rasanya gak adil karena gak semua siswa dapet privilege dengan keuntungan kayak gini. Harusnya sekolah perlakukan kita sama rata."

"Tapi kita juga berhak dapetin privilege ini." Alodya menimang-nimang jawaban. "Usaha kita dua kali lebih keras dibanding siswa lain. I mean, peringkat tinggi yang kita dapetin udah jadi jawabannya, kan?"

"Dan karena itu kita semua dicurigai polisi," timpal Gema kembali pada topik semula.

Pukul setengah enam sore, gedung sayap barat lantai tiga hanya dipijak oleh mereka. Dengan sayup-sayup suara burung melalui salah satu jendela yang dibiarkan terbuka, berganti pada suara jarum jam yang mengikuti arus, begitu pula deru napas penuh sesal.

"Alodya, peringkat dua yang kata orang-orang terlalu ambisius dan lo bakal pake cara apa aja buat nyingkirin posisi pertama," lanjutnya. Tiga pasang mata beralih pada si rambut cokelat. "Gue, peringkat tiga. Rivalnya Virgi di bidang basket, peringkat kelas, sama peringkat paralel. Gak pernah akur dan gak pernah bisa ngalahin Virgi kecuali salah satunya pergi." Gema beralih pandang menuju laki-laki lain. "Khalil, lo peringkat empat. Satu-satunya saksi yang pertama kali nemu mayat Virgi di reruntuhan belakang sekolah. Nggak ada korelasi sama peringkat maupun masalah pribadi, tapi bisa jadi kandidat tersangka utama."

Semua menatap ke arah Liz. Kini Alodya yang berbicara. "Lo peringkat lima. Pacaran sama Virgi selama 3 tahun, dan belakangan ini komunitas sekolah lagi trending video durasi 15 detik. Kalian pasti tahu walaupun nggak gue jelasin isi videonya kayak gimana."

"Itu beneran lo sama Virgi?" tanya Khalil mewakilkan pertanyaan yang tertanam di benak mereka.

Liz mengangguk pasrah. "Spekulasi kalian gak salah..." Tidak ada yang terkejut karena dugaan mereka benar. Namun perkataan Liz selanjutnya membuat semuanya mematung. "Gue minta putus, tapi dia malah ngancem."

"Oke—kesampingkan dulu masalah itu, kita bahas gimana cara kerja sama tanpa keliatan mencurigakan dari pandangan siswa lain?" Gema berusaha beralih topik. "Alodya, lo itu otak dari rencana kita. Ada saran?"

"William." Khalil tiba-tiba menyahut. Seberapa keras usaha Gema untuk mengalihkan topik pembicaraan, pada akhirnya selalu gagal.

Ekspresi tiap wajah penuh tanda tanya. Kemudian tiba-tiba teringat kalau bukan mereka saja yang dipanggil kala itu, melainkan ada satu orang yang tidak hadir di ruang BK. Nama yang Khalil sebut barusan.

Pintu ruang akademi dibuka. Seseorang yang baru saja hinggap di pikiran menunjukan presensinya. Seolah telah lama berdiri, seolah menanti ada yang membahas tentangnya.

"Gak sengaja lewat, bimbel kelas 11 baru bubaran." Klarifikasi William membuat semuanya bungkam. Ingatkan mereka kalau anak ini berhak masuk Study Group karena mendapat peringkat tertinggi di angkatannya.

William gabung di tengah—antara Khalil dan Alodya. "Soal itu... gue masuk ke ruang konseling setelah kalian keluar. Nggak ada alesan kuat, sih. Gue cuman kebetulan ketangkep CCTV."

Khalil membalas tatapan lelaki itu. "Emangnya lo lagi ngapain sampe kerekam CCTV segala?"

"Hari pas Kak Virgi hilang," William melanjutkan, "ada saksi yang bilang kalau dia pergi ke minimarket, kan? Gue kebetulan lihat dia lagi beli sesuatu di minimarket. Dan kebetulan lainnya lagi, kita ngobrol sebentar waktu itu. Gue cuma ngasih kesaksian apa yang kita obrolin ke polisi. Nggak sampe dituduh jadi pelaku."

"O..ke...?" Gema masih kaget sebab kehadiran satu orang yang jauh di luar prediksi. "Lo mau gabung?"

Jeez. Ayolah. Siapa sangka situasinya jadi seperti ini?

"Boleh."

Damn it.

"Gema???" Khalil tidak percaya. Semudah itu tawarannya diterima?

"Selama nggak cepu dan bisa diajak kerja sama, why not? Kalo sikapnya bikin kesel mah hajar aja, Bos."

Tensi Khalil naik turun. Entah perihal UKS kemarin, atau momen-momen sebelumnya, Khalil masih merasa kesal kepada William. Namun ketika pendapat Alodya menyatakan setuju, mau tak mau ia juga memberi suara yang sama.

"Ada hal lain yang perlu dibahas?" tanya Alodya menatap sekeliling.

"Tentang surat di mading kemarin, Al," jawab Khalil. "Kalian baca?"

Semua orang di ruang akademi mengangguk.

"Si penulis ngasih petunjuk lewat surat. Kalo diteliti lagi, di paragraf kedua ada kalimat 'tangan yang lembut dan ringkih' itu berarti pelakunya cewek atau cowok yang punya tangan lembut," papar Khalil sesuai dengan perbincangan dengan Alodya kemarin.

Alodya melanjutkan. "Kita persempit variabel. Paragraf ketiga, si penulis kayak ngasih petunjuk kalo pelakunya ada di sekolah ini. Karena dia bilang 'Yang membaca ini berbahaya. Dia adalah pelakunya.' jadi gak mungkin orang luar sekolah bisa baca surat ini kecuali suratnya diunggah ke internet."

"Tunggu, deh. Gue malah kepikiran siapa yang bikin surat kayak gitu? Kok bisa tahu gimana si pelaku ngebunuh korban? Kalo beneran, ada satu lagi saksi," ujar Gema memutar otak. "Atau... yang nulis surat itu malah pelakunya."

"Apa jangan-jangan yang upload video gue sama Virgi tuh orang yang sama?" Spekulasi Liz memungkinkan terciptanya variabel lain.

"Ah, tunggu." Alodya memegang kedua pelipis. Ia tak pernah begini sebelumnya. Variabelnya terlalu banyak bahkan untuk hitungan matematis.

Mengabaikan para mulut yang tengah mengutarakan hipotesis, pandangan Khalil tertuju pada benda pipih yang menampilkan hasil foto surat merah tersebut. Caranya menulis huruf, spasi yang tak terlalu lebar, kemiringan tulisan—cukup membuktikan spekulasi lain.

"Pelakunya kidal."

Ucapan mereka terhenti. Dari lima orang di ruangan ini, dua di antaranya adalah kidal.

DEXTERحيث تعيش القصص. اكتشف الآن