Cengiran Aksa langsung hilang.

Rindu yang sedari tadi berada di ujung lidah, ia telan kembali.

Respon yang diberikan Senada Anulika benar-benar membuatnya tak dapat berkata-kata. Sebab sebelumnya, ia pikir rindunya akan disambut haru. Peluknya akan dibungkus dekap. Namun rupanya, ia keliru. Senada Anulika, tampaknya tak akan pernah melakukan hal itu.

"Aku boleh tunggu?" pintanya yang enggan memberi waktu pada kecewa tuk memakan hatinya. "Aku," Aksa menelan ludah. "Ehm, kita perlu bicara 'kan?" ia samarkan kecewa dengan suara ramah. "Jadi, aku tunggu, ya?" senyum itu masih ada. Terlukis indah, setelah melalui ragam kemelut jiwa.

Dalam netranya, Nada menerima segala yang terlihat samar itu dengan sangat baik. Namun, kondisinya saat ini tak membuatnya merasa harus mengasihani orang lain. Hidupnya bahkan sudah jauh lebih sulit."Terserah kamu," hanya itu yang mampu ia ucap.

Lalu perempuan itu berbalik ke dalam. Menyembunyikan debar di dada yang tiba-tiba kembali menyalak tak ramah setelah belasan bulan mereka tak berjumpa.

Dan Aksa memang tak ke mana-mana. Tetap berada di sana, seraya menunggunya. Membeli minuman serta banyak camilan. Sifatnya yang ramah, membuat Aksa dengan mudah mendapatkan teman bicara. Siapa saja disapanya. Anak-anak yang mendekat diberinya sebungkus snack yang ia borong di dalam. Menertawakan hal-hal kecil. Menjadikan sosoknya dengan mudah sebagai pusat perhatian.

Ah, Aksa memang seperti itu.

Ibarat cahaya, Aksa adalah matahari yang terang benderang.

"Oh, lu orang temen kuliahnya Nada dulu?" Ci Merry alias pemilik grosir bertanya sembari membiarkan pekerjanya yang laki-laki menutup grosir. "Iya, dulu-dulu emang kita pernah denger kalau si Nada kuliah. Terus, dia balik lagi ke sini karena rumahnya kebakaran."

"Iya, Ci. Sampai semester lima aja. Harusnya, dia udah lulus bareng saya."

"Lu cuma temen atau demennya?" tebak Ci Merry sembari menilai pemuda itu dari atas ke bawah. "Di sini ada yang naksir Nada, tapi nggak digubris sama tuh anak. Dingin banget orangnya. Gue juga kadang kalau mau nyuruh-nyuruh dia, segan. Gila 'kan, gue yang punya nih tempat, tapi gue yang nggak enakan nyuruh dia."

Aksa hanya memberi sedikit cengiran. Dulu, ibunya juga pernah berkata seperti itu. "Tapi biasanya, Ci, tanpa disuruh pun Nada selalu tahu kok kerjaannya apa."

"Ya, memang. Makanya, gue nggak enakan nyuruh dia. Semuanya dikerjain," keluh Ci Merry sembari memeriksa pekerjaan pegawainya yang tadi menutup teralis besi yang mengelilinginya grosirnya. "Nah, tuh mereka udah pada keluar," ia menunjuk dengan dagu. "Oii, Nada! Lu udah ditunggin nih!" serunya kencang.

Mendengar hal itu, justru Aksa yang bereaksi malu-malu.

Ia merapikan kemejanya yang tertumpah remah-remah makanan ringan. Membasahi tangan kanannya dengan air mineral, lalu ia gunakan tuk menyisir rambutnya yang pasti sudah kehilangan gaya sejak pagi tadi ketika ia mulai mempersiapkan diri menemui Nada.

Tak masalah bila terus-terusan melebarkan senyuman, sebab itulah yang sedang Aksa lakukan. Satu per satu teman-teman Nada mulai keluar, lalu gadis yang ditunggu-tunggu Aksa akhirnya memperlihatkan dirinya juga. Dengan totebag hitam yang menggantung di bahu serta botol air minum di tangan kiri, gadis itu muncul dari sana.

"Katanya temen lu, ya, Nad?" Ci Merry langsung bertanya pada pegawainya itu.

"Iya, Ci," jawab Nada pelan.

"Oh, gue kira pacar lu. Bias patah hati si Ali kalau tahu lu orang punya pacar."

Aksa segera menangkap nama seseorang di kalimat itu. Dan otak pintar berbumbu dramatisnya langsung saja membuat kesimpulan yang tidak-tidak. Hm, baiklah ia akan waspada. Karena sepertinya waktu satu setengah tahun, memang tak sebentar untuk membuat segala ketidakmungkinan menjadi suatu hal yang bisa saja terjadi.

Aksara SenadaWhere stories live. Discover now