Jauh di dalam hatinya, Yashinta ingin mempersiapkan Nada tetap di sini.

Ia ingin kekasih anaknya itu yang kelak menggantikan kepemimpinannya dan mengurus Kasih Perempuan.

"Mami sayang sama Nada, Sa. Tapi, dia sendiri yang memutuskan pergi."

Aksa menundukkan kepala seraya menyambar kembali surat berisi tulisan tangan yang sangat ia kenali. Matanya memanas kala netranya membaca lagi deret kalimat yang tersusun di sana.

"Kamu ke mana, Nad?" bisiknya menahan tangis. "Kenapa kamu ninggalin aku?" ucapnya sedih. Lalu, ia kembali menatap ibunya. "Mi, tolong banget, kasih aku alamat rumah Nada, Mi. Aku yakin, dia pasti ke sana."

"Iya, nanti Mami bantu cari, ya, alamatnya," Yashinta hanya menyunggingkan senyum tipis. "Nanti Mami tanya ke LSM yang waktu itu dilimpahi kasus Nada."

"Janji, Mi?"

"Janji. Udah sana, kamu harus rajin kuliah setelah ini. Udah dua hari kamu bolos, lho. Inget, kamu udah semester lima, Sa."

Padahal yang sebenarnya, Yashinta tahu betul kenapa kekasih anaknya itu pergi. Namun sekali lagi, ia tidak punya kuasa tuk memaksa.

Nada dijemput keluarganya dua hari yang lalu. Mengabarkan berita yang tak disangka-sangka. Dan karena perasaan bersalah, Nada memutuskan pulang tuk menanggulangi kerusakkan yang ia buat demi menengakkan keadilan.

"Saya harus pulang, Mi," kepala Nada menunduk. Bibirnya yang bergetar ia gigit kuat. "Maafkan saya, Mi. Tapi, saya benar-benar harus pulang."

"Bukan salah kamu, Nad."

Kepala Nada menggeleng. Sambil meremat kedua tangan di atas pangkuan, ia tertunduk makin dalam. "Semua ini salah saya," air matanya menetes perlahan. "Saya terlalu ikut campur pada hidup orang," tetesan itu turun makin deras. "Toh, nggak ada yang bisa saya selamatkan."

"Nada—"

"Bahkan Gea meninggal, Mi," ia menyebutkan nama sahabatnya yang menjadi korban pemerkosaan yang dilakukan oleh anak Kepada Desa di tempat tinggal mereka. "Gea bunuh diri," ia mulai terisak sesak. "Pada akhirnya, nggak ada yang benar-benar saya selamatkan."

Yashinta meninggalkan kursinya dan segera menghampiri Nada. Ia rangkul bahu kurus gadis itu yang bergetar. "Nada, bukan salah kamu. Keputusan mengakhiri hidup, itu adalah keputusan Gea. Dan itu bukan salah kamu," ia elus bahunya. Memberi penenangan yang bisa ia berikan.

"Tapi, mereka tetap membenci saya," maksud Nada adalah warga di tempat tinggalnya. "Andai saya diam saja waktu itu, Pak Kades pasti nggak akan memecat bapak sama ibu," ia menarik napasnya yang tercekat. "Dan sekarang, mereka mencoba mengganggu keluarga saya."

Dapur rumahnya terbakar beberapa hari lalu. Ibunya yang tengah memasak, harus tertimpa kayu besar yang menjadi penyanggah atap rumah. Terdapat luka bakar di area kaki hingga betis sang ibu dan saat ini ibunya sedang dirawat di rumah sakit. Setelah sebelumnya dibawa ke Puskesmas.

Lalu, masalah tidak kunjung berhenti sampai di situ. Kakak perempuannya ikut terseret juga. Dituduh mencuri gelang emas milik salah seorang tetangga, kakaknya diminta mengganti gelang seberat lima gram. Tentu saja, hal itu teramat berat bagi keluarga mereka.

"Saya harus merawat ibu saya, Mi," Nada merasa sangat bertanggung jawab pada keluarganya. "Dan," sambil menjeda ucapannya ia menelan ludah. "Boleh nggak, Mi, kalau saya meminta gaji yang dulu sempat Mami janjikan?" ujarnya sungkan. "Mbak Indri dituduh mencuri gelang, Mi. Kalau nggak diganti, katanya mereka mau melaporkan Mbak Indri ke polisi."

"Ya ampun, Nada," Yashinta tak lagi sekadar merangkul anak gadis itu. Kini, ia sudah memeluknya. Membiarkan Nada menangis di dadanya. Ia bisa merasakan kepedihan di hati gadis itu. "Mami yang akan lunasin semua. Tapi, please, jangan ke mana-mana. Di sini aja, Nad. Kamu harus selesaikan pendidikan kamu. Mami—"

"Enggak, Mi," Nada memotong permohonan itu. "Saya nggak bisa lagi melanjutkannya. Ternyata, tempat saya memang nggak di sini, Mi. Keluarga saya, lebih membutuhkan saya."

Ini juga berat untuk Nada.

Ia yang awalnya sama sekali tak mengerti tentang hukum, mulai menyukai dunia yang berisi undang-undang dan banyak pasal yang dapat digunakan dalam kehidupan bernegara.

"Maafin saya, Mi," Nada merintih. "Dan saya ucapkan terima kasih atas kebaikan Mami selama ini."

"Kamu sudah bicara sama Aksa, Nad?"

Nada menggeleng. "Tolong, Mi. Jangan bilang apa-apa sama Aksa. Biarin, dia nggak tahu apa-apa tentang kepergian saya."

Kisah mereka hanya romansa biasa. Yang hadir lewat semua degub di dada yang sepihak saja mereka sebut cinta. Lagipula, mereka masih mahasiswa. Tak mungkin cinta itu mengekal abadi di jiwa.

Suatu saat, Aksa pasti akan melupakannya.

Suatu saat, Aksa akan memiliki seseorang yang benar-benar berharga.

Nada hanya tak tahu saja, bahwa orang itu adalah dirinya.

***

"Nih, hadiah kelulusan dari Mami," Yashinta mendatangi anaknya di kamar. Menatap bangga putra ketiganya yang berhasil menyabet gelar sarjana. Sebagai pemilik nilai yang paling tinggi di angkatannya, Yashinta mengusap kepala anaknya itu dengan sayang.

"Apa nih? Cek?" menerima sebuah amplop berwarna putih yang disodorkan sang ibu, Aksa membukanya dengan tampang ogah-ogahan.

"Kamu nih, ya, baru aja wisuda kok, muka lesu gitu?" Yashinta mengacak-acak rambut anaknya. "Arzanu sama Mada ngajak liburan katanya 'kan? Ya, udah sana berangkat. Mau ke mana kalian?"

"Bali," Aksa mendesah. "Tapi nggak mood," lanjutnya sembari mengeluarkan isi di dalam amplop itu. Ia pikir, benar-benar selembar cek berisi uang ratusan juta. Atau semacam formulir beasiswa agar ia kembali melanjutkan sekolah. Mana dirinya menyangka, bahwa yang berada di sana adalah dua lembar foto berikut dengan selembar alamat yang membuat matanya kontan membola. "Mi?" ia tatap ibunya hingga rasanya sulit bicara. "I—ini?" jantungnya berdegub, sementara tulang punggungnya menegang. "Mami ...."

"Iya. Itu alamat Nada," ia raih salah satu foto yang digenggam anaknya. "Masih cantik kok dia," Yashinta melanjutkan. "Masih naksir?" sengaja ia meledek anaknya itu.

Kepala Aksa sontak menggeleng. Ia tak menyetujui pemilihan kata yang diucap sang ibu. "Dia makin cantik. Dan aku tetap cinta."

"Halah, bucin," ledek Yashinta tertawa. "Jadi gimana? Mau liburan ke sini aja?" Yashinta menunjuk selembar alamat yang sedari tadi digenggam sang putra.

"Mami ngizinin?"

"Tentu."

Dan Aksa tak berpikir dua kali, untuk segera tiba di alamat itu.

Tak peduli bahwa takdir keliru telah menunggu.

Baginya, ia hanya ingin cepat-cepat menuntaskan rindu.

*** 

Apaa kah si kembarrr akan terbentuk di momen melepas rindu yang ulalaa iniii??? Hahahaa

Aksara SenadaWhere stories live. Discover now