Bab 27 ~ TAMU TAK DIUNDANG

521 47 11
                                    

Gerimis menyambut saat taksi yang kutumpangi berhenti tepat di gerbang halaman indekos. Sedan hitam yang kuduga membuntuti tadi, tak terlihat lagi, padahal aku yakin sekali saat memasuki gang, dia masih di belakang.

Apa mungkin, hanya kebetulan saja pengendara mobil tersebut tinggal di daerah yang sama denganku? 

Saat turun dari taksi, aku setengah berlari menerobos gerimis melewati halaman indekos yang cukup luas. Namun, di teras yang terang benderang, kulihat Orion segera mengambil payung dan tergopoh-gopoh menjemputku.

"Makasih," ucapku saat dia memayungiku dengan payung lebar tersebut. Beriringan kami berjalan menuju teras.

"Mbak abis dari mana?"

"Dari mall."

"Aku tadi nelpon, tapi nggak diangkat."

"Oh, nggak kedengeran. Emang ada apa?"

"Nggak ... hanya saja udah malam, mana hujan lagi." Dia mengibas-ngibaskan lengan jaketnya yang basah terkena tetesan hujan setelah kami sampai di teras. 

Aku bisa menjaga diriku sendiri, tidak usah repot-repot mengkhawatirkanku. Sempat terlintas kalimat itu, tapi tak kuucapkan, karena mungkin terdengar agak kasar dan akan menyinggung perasaannya.

"Baru pukul sembilan ... lewat dikit. " Aku melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. 

Di mengamatiku sejenak, sebelum akhirnya membuka pintu. 

"Ya, udah masuklah. Ujannya makin deras, tuh."

"Thank's."

Aku buru-buru masuk, melewati ruangan tengah yang kosong. Baru kusadari indekos ini memang sepi sekali. Selain Orion, aku hanya pernah beberapa kali melihat penghuni dua buah kamar di sayap sebelah kiri. Seorang laki-laki yang kata Orion bekerja di sebuah bank dan perempuan sekitar tiga puluh limaan yang bekerja di salah satu perusahaan periklanan. Bisa dibilang kami tak pernah bertegur sapa kecuali saat kebetulan berpapasan, itu pun hanya sekadar  anggukan kepala sebagai formalitas belaka.

Semua orang terlalu sibuk dengan urusan masing-masing, sehingga tidak punya waktu meski untuk berbasa-basi, apalagi sampai mengurusi kehidupan pribadi orang lain. Hal yang menguntungkan, sekaligus membuat miris sebenarnya. 

Aku memutuskan mandi air hangat, demi mengurai kepenatan yang mendera seharian ini. Setelahnya, aku memakai setelan piyama lengan panjang yang nyaman. Hujan di luar sana kian deras saja. Tak ada yang paling menyenangkan saat ini, selain tidur dan bergelung di bawah selimut yang hangat. 

Namun, saat baru saja  akan merebahkan tubuh di ranjang, sebuah pesan What's App, masuk dari Orion.

"Mbak udah tidur?"

"Belum."

"Maaf, aku ganggu bentar."

"Ada apa?"

"Boleh, nggak, numpang manasin makanan?"

Sudah hampir pukul sepuluh saat ini dan dia mau menumpang memanaskan makanan? Memangnya di kamarnya tidak ada kompor? Atau dia memang sengaja menggangguku? Pertanyaan-pertanyaan yang berputar di kepala, membuatku tanpa sadar menghela napas dengan sedikit gusar.

Tapi bagaimana kalau memang tidak ada kompor sama sekali di tempatnya yang sekarang? Bukankah ini dulu kamar miliknya dengan segala fasilitas yang memudahkan?

Seharusnya kamu tahu diri, karena hanya menumpang, Rumi. Hati kecilku terus berbisik dan langsung dibantah oleh sisi hati yang lain. 

Enak saja menumpang, aku kan sudah bayar dimuka senilai tiga juta rupiah?

LET'S GET MARRIED! (NIKAH, YUK!)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora