BAB 10 ~ MALAIKAT TANPA SAYAP

337 54 4
                                    

"Menjalani pernikahan itu harus saling, Rumi. Saling menyayangi, saling menghargai, saling menjaga dan saling berjuang. Pokoknya saling dalam segala hal yang membawa kebaikan dalam rumah tangga." Itu salah satu pesan mendiang Ibu yang masih kuingat sampai sekarang.

"Karena kalau hanya salah satu yang melakukannya, tujuan pernikahan sebenarnya tidak akan pernah tercapai. Kalian hanya capek sendiri... ujung-ujungnya bubar dan cari kebahagiaan masing-masing."

"Itukah sebabnya Ibu memilih berpisah dari Ayah?" tanyaku hati-hati.

"Ibu sudah berulangkali memberinya kesempatan ... Tapi, dia tidak pernah berubah. Berjuang sendiri itu tidak enak, Rum." Suaranya mendadak serak. Pasti tidak mudah menerima dengan lalang dada kedatangan Ayah yang tiba-tiba, setelah belasan tahun menghilang begitu saja.

"Ibu berhak bahagia. Meski untuk itu harus berpisah dari Ayah," ucapku sendu.

"Kalau tidak ada Yai yang menolong Ibu waktu itu, mungkin kita berdua tidak selamat. Bayangkan, sedang hamil besar, Ibu tidak memegang uang sepersen pun, tapi nekat datang ke klinik Yai. Sedang ayahmu entah di mana. Dia baru datang setelah kamu bisa jalan, lalu menghilang lagi."

Walau sudah hapal kisah itu karena sering diulang-ulang oleh Ibu, tapi selalu ada perasaan haru di hatiku tiap kali mendengarnya. Terlebih saat terkenang pada Yai. Dokter baik hati yang sudah menolong persalinan Ibu, dan kemudian memberi Ibu pekerjaan untuk bantu-bantu di kliniknya dan juga menyewakan tempat tinggal yang layak, tak jauh dari klinik.

Yai seorang dokter yang sudah sepuh dan banyak membantu pasien miskin. Sama seperti Ibu, dia juga hidup sendiri. Meski akhirnya Ibu sudah dianggap seperti anak sendiri, dan aku cucu kesayangannya, tapi kami tak pernah tahu tentang keluarganya, karena dia tidak pernah cerita sama sekali.

"Rumi mau jadi dokter seperti Yai?" Aku masih SMA kelas satu kala itu, ketika Yai bertanya.

"Dokter itu pekerjaan yang sangat mulia, Rumi sangat mengagumi bagaimana  cara Yai melayani pasien. Tapi, Rumi mungkin tidak sanggup Yai," ucapku sungkan.

Lelaki itu tertawa. "Tidak apa-apa. Yai hanya bertanya, biar kita bisa merancang masa depan Rumi dari sekarang, nanti mau melanjutkan kuliah ke mana setelah tamat SMA."

"Sebenarnya Rumi belum tahu mau kuliah ambil jurusan apa."

Aku punya banyak mimpi yang kupelihara sejak masih kecil. Saat Ibu mengatakan kalau ayahku bekerja di kapal dan singgah di banyak tempat di dunia, aku sudah menanamkan tekad kalau aku akan mencari Ayah, meski untuk itu harus mengelilingi dunia. Mimpi naif seorang bocah yang tak tahu apa-apa, tapi entah mengapa seperti melekat di alam bawah sadarku bahkan hingga aku dewasa. Tak ada seorang pun tahu mimpiku yang satu itu, termasuk Ibu.

"Mulai lah dipikirkan sampai sekarang. Biar Rumi bisa fokus ke sana," kata Yai.

"Baik, Yai."

Pilihanku akhirnya jatuh ke Ilmu Komunikasi. Betapa naifnya, karena berharap bisa seperti kakak salah seorang temanku yang mengambil jurusan sama dan setelah lulus bekerja sebagai wartawan dan sering meliput ke luar negri. Kupikir itulah satu-satunya jalan agar aku bisa bertemu dengan Ayah. Namun, beberapa waktu setelah lulus kuliah, tanpa kucari, Ayah akhirnya datang sendiri, dengan semua keajaiban yang melekat pada dirinya.

Yai mendukung apa pun pilihanku, sayangnya beliau berpulang sebelum sempat melihatku memakai toga. Kepergian Yai pada tahun terakhir kuliahku merupakan pukulan yang teramat berat bagi kami berdua. Seperti kapal yang kehilangan nahkoda, kami sempat terombang-ambing dalam menjalani hidup.

Tak lama setelah Yai dikubur, datang seorang pengacara yang mengatakan kalau beberapa aset dan harta milik Yai diwariskan padaku. Rumah yang juga menjadi kliniknya yang kemudian kami tempati, sebuah mobil sedan tua dan sejumlah uang serta barang-barang pribadinya.

LET'S GET MARRIED! (NIKAH, YUK!)Where stories live. Discover now