BAB 6 ~ GUNDAH

316 50 2
                                    

Aku percaya dengan pendapat yang mengatakan, kalau kehadiran seorang ayah, berperan sangat penting dalam perkembangan psikologis dan sosial anaknya, terutama anak perempuan. Bahkan pola ikatan yang terbentuk antara mereka, juga mempengaruhi bagaimana cara sang anak menjalin hubungan kelak dengan orang lain.

Aku tak tahu pola ikatan apa yang terbentuk antara aku dan Ayah. Mungkin pengabaian dan perasaan tak pernah dianggap. Aku nyaris lupa, apakah ada momen bahagia yang pernah kualami saat bersamanya.

Bahkan dalam ingatan yang samar-samar sekali pun di masa lalu, tak ada memori tentang Ayah di sana. Hanya saja tak bisa dipungkiri, jauh di lubuk hati terdalam, tetap saja aku mengharapkan dia hadir di hidupku seperti ayah-ayah orang lain. Sayangnya, saat aku sudah lelah merindu dan mulai belajar melupakannya, dia tiba-tiba muncul di tengah-tengah kami, mengharapkan pemakluman.

Meski tak punya kenangan manis di masa kecil, aku juga tak punya kenangan buruk tentang Ayah. Semua seperti kertas putih yang kosong. Tanpa warna. Itulah sebabnya aku tak bisa membencinya walau juga tak bisa mencintainya. Aku juga tak kuasa menolak apa pun permintaannya, karena menyadari hanya tinggal dia satu-satunya keluargaku di dunia ini setelah Ibu tiada. Bahkan setelah berkali-kali dikhianati dan dipermalukan, tetap saja tak bisa disangkal darahnya mengalir deras di tubuhku.

"Dia kesalahan terbesar dalam hidup Ibu." Air mata Ibu langsung berlinang saat kutanyakan mengapa Ibu tak mau menerima Ayah kembali.   

"Tapi seburuk-buruknya ayahmu, dia sudah menitipkan permata yang sangat berharga di rahim Ibu," ucapnya seraya mengelus-elus pipiku.

"Maafkan Ibu, ya, Rumi. Maafkan Ibu yang naif memilih lelaki seperti dia menjadi ayahmu."

Aku tak tahu mengapa Ibu harus minta maaf. Bukankah kalau Ibu memilih lelaki lain sebagai suami, aku tak akan pernah ada di dunia ini?

Dulu aku masih sulit memahami apa yang membuat Ibu menyerah dengan Ayah, padahal saat dia bercerita tentang masa lalu saat mereka memutuskan menikah, Ibu bilang sangat mencintai Ayah. Namun setelah menyaksikan sendiri betapa ajaibnya ayahku, aku bisa mengerti.

Cinta saja tidak cukup, Rumi. Tak pernah cukup.

Kata-kata yang sempat dilontarkan Ibu itu, selalu terngiang dan menjadi mantra bagiku agar tak gampang menyerahkan cinta pada lelaki mana pun. Sebelum akhirnya Mahesa datang ... dan membuktikan semua perkataan Ibu benar adanya.

Aku memang belum bisa setangguh Ibu yang bisa melupakan cintanya pada Ayah, karena Mahesa tidak seperti Ayah. Mengingat itu hatiku kembali digigit rasa nyeri. Nyeri dan rindu saling berkelindan dan tak bisa kuurai meski sudah tiga tahun berlalu.

"Kok, bengong?"

Aku yang masih termangu di lobi melihat mobil yang dikemudikan Orion membawa Ayah pergi, terkejut saat Astri menepuk bahuku.

"Oh, nggak, kok. Nggak apa-apa."

"Siapa itu? Bener ayahmu?" Wajah Astri tampak sulit mempercayai kalau lelaki yang sempat dilihatnya sekilas  tadi adalah ayahku.

Aku hanya mengangguk malu, dan tak ingin membahasnya lebih jauh dengan Astri. Bukan soal penampilan lusuh dan kumal Ayah yang membuatku malu mengakui kalau dia ayahku, tapi kelakuannya. Sungguh aku sangat khawatir Ayah akan merepotkan Chandra dan Orion. Tak hanya merepotkan, tapi juga membuat malu.

"Ikut sama anak-anak?" Astri masih terlihat penasaran.

"Numpang sampai ke depan katanya," jawabku lesu

"Oh." Perempuan itu memindai wajahku sesaat. Mungkin dia menyadari ada yang berbeda dengan ekspresiku, saat bertanya kemudian, "Are you OK?"

Bagaimana mungkin aku baik-baik saja di saat aku tak bisa memprediksi apa yang dilakukan Ayah saat ini?

"Aku nggak apa-apa, kok. Yuk, ah. Aku mau ke dalam dulu." Aku buru-buru masuk, sebelum Astri bertanya dan mengorek lebih dalam lagi.

Meski kami sudah dekat sebagai rekan kerja sejak awal-awal WeSto berdiri, tapi aku tak pernah membagi kehidupan pribadiku padanya, dan pada siapa pun.  Bahkan statusku yang janda, hanya Mbak Sofie yang tahu, walau aku juga tak bisa menjamin dia tidak membicarakannya pada anak-anak yang lain. Hanya saja, sejauh yang kuamati, tak pernah ada yang menyinggung-nyinggung soal itu. Sepertinya mereka mengira aku masih gadis single, jadi kuanggap saja mereka tak tahu kebenarannya.

Aku berusaha fokus bekerja, dengan menyibukkan diri menelpon dan mengecek lagi beberapa vendor  yang mengisi acara pernikahan minggu depan. Aku juga berusaha menghubungi kembali manajer Andrea ... tapi lagi-lagi telponku di reject. Arrggh!

Meski sudah mati-matian mengalihkan pikiran,  tapi bayangan Ayah sedang bersama Orion dan Chandra tak kunjung lepas dari benakku.

Aku kembali membaca pesan-pesan yang kukirim pada Orion tiga jam lalu.

"Rion, ayahku nggak nyusahin kalian, kan?"

"Kalau misalnya beliau nyusahin, bilang saja padaku."

"Maaf udah bikin kalian repot."

Pesan tersebut masih belum dibuka sama sekali. Aneh. Biasanya respon Orion sangat cepat, tiap kali aku menghubunginya untuk urusan pekerjaan.

Hingga hari sudah sore dan aku bersiap pulang, hanya jawaban pendek yang dikirim Orion saat akhirnya membalas pesanku.

"Nggak apa-apa, kok Mbak. Nggak usah khawatir."

Aku menatap layar ponsel dengan putus asa. Meski tak puas dengan jawaban yang diberi Orion, tapi aku juga sudah kehabisan energi untuk bertanya lebih jauh.

***

Pagi ini kuawali dengan perasaan yang masih tidak enak gara-gara kejadian kemarin. Bawaannya uring-uringan dan ingin marah saja, tapi tak tahu harus dilampiaskan pada siapa. Entah mengapa aku merasa semua orang seolah-olah berbisik-bisik di belakang membicarakan kelakuan ayahku yang ajaib. Pemikiran yang konyol sebenarnya, karena kenyataannya orang-orang justru sibuk dengan urusan mereka masing-masing.

Orion dan Chandra belum datang, padahal sudah hampir pukul sepuluh pagi. Aku melirik cangkir kopiku yang masih utuh. Pada hari-hari biasa, jam segini gelas itu sudah berpindah ke meja Orion. 

"Kamu kenapa? Pagi-pagi udah kusut aja mukanya?" Astri melongok dari kubikelnya dan menyodorkan setangkup sandwich padaku. "Udah sarapan belum?"

"Aku nggak lapar," tolakku halus. "But, thank's."

Setengah jam kemudian, sosok yang kutunggu-tunggu muncul juga. Seperti biasa bunyi siulan dan suara baritonnya saat menyapa kami, memenuhi ruangan WeSto tak terlalu besar ini.

Sesaat pandangan kami bertemu ketika aku mendongak dari mejaku. Jujur, ini pertama kalinya aku gentar saat melihat Orion. Bayangan kejadian dia bersama ayahku kemarin, membuatku gugup dan gelisah.

Lelaki itu hanya melempar senyum tipis dan berlalu begitu saja.

Ini benar-benar aneh. Tumben sekali dia tidak meminta kopiku? Padahal aku sengaja tak meminumnya, karena kopi itu memang sengaja kubeli untuknya. Yah, anggap saja sebagai permintaan maaf atas apa pun kelakuan ayahku kemarin.

Perasaanku semakin tak enak. Diam-diam aku menoleh ke belakang, mengawasinya yang tengah menyalakan komputer. Daripada mati penasaran, akhirnya aku bangkit dan membawa kopi itu ke mejanya

Dia menatap keheranan saat aku menaruh minuman tersebut di meja.

"Ini ... untukmu. Belum kuminum sama sekali," ucapku lirih. Sungkan kalau anak-anak yang lain mendengarnya.

"Lho, tumben?"

"Anggap saja permintaan maaf, karena sikap ayahku kemarin yang merepotkan kalian."

Wajahku memanas tiba-tiba. Sungguh bayangan tentang Ayah yang bertingkah norak pada mereka, tak kunjung hilang dari ingatan, meski aku sudah berupaya keras mengusirnya.


-tbc-

LET'S GET MARRIED! (NIKAH, YUK!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang