BAB 4 ~ HARI YANG SIBUK

342 57 0
                                    

"Mbak kenapa?"

Aku tersentak saat suara Orion memutus lamunan gilaku.

"Kamu ... keturunan Yaku..  eh, maksudku kamu ada darah Jepang, ya?"

Lelaki itu memindai wajahku sesaat. Entah apa yang dia pikirkan, tapi ekspresi wajahnya menunjukkan seolahi dia bisa menangkap kekhawatiranku.

"Ya ... ada. Tapi, sedikit. Ayah Sobo memang berdarah Jepang, sedang ibunya pribumi. Sobo itu nenekku dari pihak ayah, ibuku orang Sunda, jadi bisa dibilang aku ini orang Indonesia asli."

"Oh."

Aku mengamatinya sejenak. Berbeda dengan Sobo yang agak sipit, sekilas memang tak ada yang menonjol dari Orion yang menunjukkan kalau dia berdarah Jepang, matanya tidak sipit sama sekali.Tapi kalau dilihat-lihat dengan lebih seksama,  garis ras Mongoloid khas Jepang entah di bagian mana, membayang jelas di wajahnya. Kulitnya cerah dan bersih, rambutnya lurus dan hitam pekat, alis dan garis wajahnya nyaris sempurna. Mungkin kalau di dunia komik Jepang, dia bisa jadi tokoh utama prianya.

Astaga, aku kembali melantur.

"Mbak sendiri bagaimana? Apa ada darah Jepang juga? Namanya kok bisa sama dengan nenekku?"

"Namaku ...."

Aku menghela napas panjang, saat tersadar kalau seharusnya memarahinya, bukan mengobrol santai seolah-olah kami memang akrab.

"Kok malah jadi bahas namaku? Mari kembali ke topik awal," ucapku tegas.

"Jadi gini, ya, Orion. Kamu harus ingat baik-baik. Aku nggak mau lagi terlibat dengan sandiwara konyolmu ini. Dan sekali lagi kubilang, aku juga nggak mau menerima kipas ini!" Napasku sedikit memburu menahan rasa jengkel di dada.

Lelaki itu kembali terdiam. Tak merespon sama sekali. Wajahnya terlihat agak muram saat melirik kipas yang kutaruh di dekat dashboard mobil.

Kami hanya saling diam, hingga akhirnya mobil berhenti di halaman sebuah bangunan empat lantai yang merupakan tempat kos Orion.

"Makasih banget atas bantuannya tadi. Aku pasti akan membalasnya. Seperti yang sering diajarkan Sobo. Dalam kultur Jepang mereka menyebutnya ongaeshi. Balas budi yang harus dibayar suatu saat nanti," ucapnya setelah membuka safety belt. Dalam keremangan cahaya matahari sore, kulihat matanya tampak berkilauan

"Nggak perlu. Aku nggak mau berurusan lagi denganmu. Maksudku ... berurusan hal-hal pribadi kayak tadi. Aku rekan kerjamu, Orion, dan aku mau kamu bisa bersikap profesional."

Aku sengaja berkata tegas dan memberi penekanan pada setiap kata yang terucap.

"See, you, Mbak. Thank's atas tumpangannya."

Alih-alih menanggapi ucapanku dia hanya tersenyum sambil membuka pintu mobil lalu turun. Aku ikut turun untuk beralih tempat ke kursi kemudi, dan menatapnya dengan sebal. 

"Hati-hati di jalan. Jangan ngebut!" lanjutnya   membantuku menutup pintu, kemudian melambaikan tangan.

"Hei, ini kipasnya gimana?" Aku membuka jendela mobil, dan mengacungkan benda itu padanya.

"Nggak boleh mengembalikan pemberian tulus dari seseorang. Dah, Mbak Rumi!" Lelaki itu nyengir sambil melambaikan tangannya menjauh dari mobilku.

Ya, Tuhan. Dasar tidak sopan!

***

"Rum, jadwal pertemuan dengan pihak catering, udah?"

Aku yang tengah fokus melihat-lihat foto yang dikirimkan salah satu vendor kami, mendongak saat Sofie tiba-tiba muncul di sampingku.

LET'S GET MARRIED! (NIKAH, YUK!)Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz