[27]. Nyonya Sanjaya dan Putra Tunggalnya

Start from the beginning
                                    

Risa suka hati menata belanjaan dan mendorong troli, mengikuti ke mana langkah ibu mertuanya melangkah.

Tepat pukul sepuluh pagi, Rima datang sendiri ke apartemen. Ia akan segera kembali ke Jakarta malam nanti. Jadi, perempuan keibuan itu berinisiatif menemui sang menantu dan mengajaknya belanja. Seperti cerita Tama, Rima senang sekali mengisi segala kebutuhan dapur anak-anaknya.

"Berubah gimana, Ma? Memang Mas Tama dulu seperti apa?" Risa bertanya sembari menerima uluran sekotak susu dan meletakkannya ke dalam keranjang belanja.

Rima mendesah panjang. "Hampir putus asa Mama kalau ingat dulu. Mas tiba-tiba batalin pernikahan, pergi ke Denpasar nggak pamit. Di sana kata Pita udah mirip kayak robot. Kerja dari pagi sampai malam. Pulang pasti nongkrong ke bar meski nggak sampai mabuk, tetep aja Mama khawatir. Eh, kita ke sayuran dulu sebelum pulang. Kayaknya tadi Mama liat sayuran di kulkas kamu habis."

Risa spontan mengangguk, gegas mendorong keranjang belanja mengikuti langkah jenjang mertuanya.

"Mas tuh jadi suka ngalamun sendiri. Sering marah-marah di kantor. Papa bilang karyawan sampai pada takut sama Mas kalau lagi marah-marah." Tangan Rima terulur ke arah seikat bayam.

"Sama wortel juga, Ma. Mas suka sup ayam sama wortel." Risa menunjuk wortel.

"Betul banget. Dia paling suka makanan berkuah." Dua mata ibu mertuanya berbinar cerah. "Ngomong-ngomong, Mas sama kamu gimana? Suka marah-marah?"

Risa menggeleng cepat. Baginya, Tama adalah laki-laki tersabar yang pernah ia kenal. "Mas baik, kok. Cuma kadang emang tukang paksa kalau udah ada maunya." Ia tertawa kecil.

"Maklum, dia kebiasaan dimanja. Nyesel kadang Mama punya anak laki cuma satu manjanya ngalahin dua adiknya." Rima sama tertawa.

"Dulu Mas pergi ke Denpasar nggak pamit kenapa?" Risa mulai memberanikan diri bertanya.

Mendengar pertanyaan itu, wajah perempuan berblus kuning itu berubah sendu. "Kalau aja dulu Mama tahu dari awal, mungkin Mas nggak sampai setertekan itu, Sa. Yang Mama tahu Mas pergi batalin pernikahan secara sepihak karena perempuan lain. Nyatanya ... setelah berbulan-bulan lamanya, Mama baru tahu kalau calon istrinya sempat hamil sama mantan kekasihnya."

Risa sedikit terkejut mendengarnya. Meski ia tahu Tama gagal menikah, perihal mantan kekasihnya hamil anak laki-laki lain, Risa buta. "Sempat maksudnya?"

Rima menghela napas panjang. "Hamil, tapi keguguran. Jadi, Mas milih buat mundur."

"Ooh ...." Risa menatap mertuanya prihatin.

"Eh, malah jadi ngomongin masa lalu Mas. Maaf, ya. Lupain aja. Toh waktu Mas ke Jakarta sebelum kalian nikah, dia udah menyelesaikan semuanya. Semua udah baik-baik aja. Hubungan keluarga kami juga membaik."

Hari itu, Risa semakin tahu tentang hidup Tama sebelum menikah dengannya. Mungkin benar kata Tama dulu, menanggung beban malu karena kegagalan perjodohan dari orang tua itu beratnya sampai ubun-ubun. Tak salah laki-laki itu memilih menjauh ke Bali dan menghindari pertemuan-pertemuan keluarga. Risa sendiri hampir depresi setiap kali mendengar celetukan keluarga dan tetangga tentang Riana yang hamil duluan di luar nikah.

Namun, ada satu fakta yang membuat Risa sedikit merasakan ganjalan di hatinya. Tama kembali menemui mantan kekasihnya di Jakarta sebelum menikah. Itu artinya malam setelah ia pergi memancing dengan sang ayah di Waduk Sermo.

Jadi, Mas malamnya bilang takut kangen dan ngajak tidur, terus paginya pergi ketemu mantan? Kok, agak kesel, ya? Kenapa nggak jujur aja, sih?

Risa berdecak dalam hati. Ia hampir membuka tas bahu untuk mengambil dompet begitu sampai di meja kasir. Namun, tangan Rima segera mencegah.

SuddenlyWhere stories live. Discover now