Tabung

116 16 4
                                    

Mengandung spoiler pada cerita Irida. 

---

Kematian, apabila diibaratkan dengan tanda baca, adalah tanda titik dari sebuah kalimat yang panjang; kalimat akhir dari sebuah paragraf yang berliku; paragraf dari sebuah bacaan yang terkesan tidak ada akhirnya. Ada nilai yang tak dapat diukur dari bacaan itu.

Dan bagi Seven, melihat sosok gadis seusianya tak berbusana melayang di dalam tabung raksasa berisikan cairan yang entah apa kandungannya membuat jantungnya seakan-akan jatuh dari tempat.

Ini pertama kalinya ia mengunjungi kediaman Marshy, rumah bagi seorang dokter yang menjadi pembimbingnya. Yang ia tahu, Tuan Marshy tengah melakukan riset mendalam terkait DNA manusia. Ralat, manipulasi DNA manusia.

Namun ia tidak pernah tahu bagaimana Tuan Marshy melakukan itu. Yah, secara teori ia paham. Namun bagaimana lelaki tua itu bereksperimen, ia tidak tahu. Tidak sedetil ini. Ia kira pria itu hanya menggunakan hewan sebagai objek menelitiannya, atau potongan daging atau apapun yang didonasikan untuk ilmu pengetahuan.

Apa mungkin gadis ini, seluruh tubuhnya, merupakan hasil donasi?

"Jadi, bagaimana?"

Suara berat diikuti langkat pelan menghampirinya, bergema memenuhi ruangan besar di bawah tanah itu. Seven, mari kita panggil Sev agar lebih singkat, mengerlingkan matanya. "... Cairan apa ini?"

Tanpa menoleh, pemuda itu dapat merasakan sosok Tuan Marshy di sisinya. Lengan sang pemuda berpeluh cairan dingin.

"Media yang akan memperbaiki semua sel di tubuh gadis malang ini," ujarnya lirih, "stabil, tidak memulai proses perusakan. Ini eksperimen sampingan, mungkin suatu saat nanti akan kujelaskan lebih detil."

Mendengarnya, pemuda itu berdengkus. "Apa yang sedang Tuan lakukan, mencari kunci dari keabadian?"

Pria berubah itu tersenyum tipis. "Kurang tepat."

Sebuah ketukan pintu memecah keheningan, diikuti dengan ayunan pintu kayu. Kedua orang di dalam ruangan menoleh ke arahnya. Di sana berdiri seorang pria dengan pakaian serba hitam, membawa sebuah kotak putih yang besar hingga menutup dadanya. "Tuan Marshy," ucapnya, "aku membawa yang kau perlukan beberapa hari lalu. Semoga belum terlambat."

"Mari kita lihat terlebih dahulu. Taruh di atas meja, Lymm."

Lelaki yang baru masuk itu mengangguk. Ia menutup pintu dengan kakinya, kemudian menghampiri meja persegi panjang di tengah ruangan. Kotak itu ditaruh dengan kasar. Kelihatannya seperti kotak untuk menyimpan makanan ataupun minuman dingin. Sementara Tuan Marshy mendekati meja, Sev masih bergeming di tempat yang sama.

"Tuan sedang mencari mata yang seperti ini, bukan?" Kotak itu dibuka, kemudian pemuda yang dipanggil Lymm itu mengeluarkan sebuah stoples transparan seukuran telapak tangannya. "Uh ... maaf kami terlalu lama mendapatkannya, Tuan Siegrain belum bisa menemukan yang cocok untuk eksperimen Anda. Sebenarnya sebelumnya ada stok yang bisa Anda gunakan, hanya saja temanku terlalu bersemangat, jadi ... pecah."

"Agen kalian terlalu agresif." Tuan Marshy mengambil stoples tadi. Benar saja, di dalamnya terdapat cairan serta sepasang bola mata berwarna biru laut. "Tidak terlalu mirip, tetapi saya akan menyimpannya. Terima kasih."

"Beberapa lengan yang bisa digunakan akan dikirim beberapa hari lagi." Lymm kembali menutup kotak yang masih berisi banyak hal, sayangnya tak terlihat jelas dari balik lensa kacamata Sev. Lymm membalikkan tubuhnya. "Untuk hal lain, Tuan bisa kontak Tuan Siegrain lagi seperti biasa. Saya undur diri."

Pintu ditutup rapat, baru Sev mendekati meja. "Apa itu?"

"Tentunya kau sudah mendengar soal Tuan Siegrain?" Tuan Marshy, yang entah sejak kapan sudah menggunakan sarung tangan steril. "Rekan kerja lama, semua penelitian ini bisa terjadi dengan bantuannya. Ah, tolong bukakan kotak ini."

Dengan sigap Sev kembali membuka kotak tersebut. Aroma familiar yang menjijikkan terkuak. Namun saat matanya mengenali apa yang ada di dalam situ, ia tidak dapat berpikir.

Sepasang mata tak berjiwa menatapnya, tersangkut pada tubuh anak lelaki berusia tak lebih dari 6 tahun yang hanya terdiri dari bagian pusar hingga ujung rambut. Tak ada lengan kecil yang seharusnya ada di sisinya, juga sepasang kaki yang entah di mana. Potongannya kasar, sosok yang memotong lengan dan kaki anak itu benar-benar tidak paham apa yang sedang ia lakukan.

"Tuan—"

Tuan Marshy menutup kelopak mata anak itu, kemudian membuka mulut anak itu perlahan. "... Baik," Tuan Marshy melepaskan sarung tangannya, "beberapa menit lagi asisten saya akan datang, ia yang akan membantumu di sini. Mohon tunggu, saya akan kembali beberapa saat lagi."

Tanpa perintah, Sev menutup kembali kotak itu. Belum sempat membalas ucapan Tuan Marshy, pria tua itu sudah berjalan jauh menuju anak tangga. Kini Sev sendiri, di ruang bawah tanah serba putih dan luas yang entah bagaimana menyesakkan, saling bertatapan dengan gadis di dalam tabung berisi cairan misterius tadi.

---

YEEEEY AKU KANGEN SEV, tapi cerpennya kurang greget buat aku. Tapi gpp, lepas kangen aja dulu sama asisten kesayangan saia satu ini :>

Yang sudah baca sampai habis tapi belum baca cerita Irida, AYO BACAAA. SERU LOH, GAK BAKAL NYESEL. RILL.

Btw maaf ya, dari cover kayaknya imut gemoy gitu, gak taunya kayak gini bab pertamanya ... tapi agak nyambung kok sama "Pola Laju Masa Lalu" (Walau sepertinya cuma aku yang tahu. Kalian bebas mau mengartikannya bagaimana~).

Oh iya, dengan ini selesai sudah DWC hari pertama dengan tema "Pengalaman pertama."

Jadi, ini pengalaman pertama Sev hadir di kediaman Marshy yang ganjil xixixi.

Sekian dariku, sampai jumpa besok! Hope y'all having a great long weekend~

Pola Laju Masa LaluNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ