VIII. Justitia

48 6 21
                                    

"Argh! Apanya yang hebat?! Temponya berantakan." Rara geram oleh suara yang hanya bisa dia dengar sendiri lewat earphone. Tidak seperti ketika dia tiba-tiba pingsan hari itu, kali ini Rara latihan tanpa ditemani siapa pun. Bella tidak mau keluar dari kamar meski dipanggil berkali-kali. Akhirnya, dia pun pergi ke ruang musik sendirian.

Kalau saja tidak teringat semua kerja kerasnya selama sebulan terakhir, mungkin buku catatannya sudah melayang lalu berciuman dengan lantai. "Yang sabar, Ra, sabaaar ...." Dia mengelus dada sambil mengatur napas.

Bagaimanapun, Bella tidak tahu apa pun tentang teori musik, ataupun cara bermain piano. Tentu saja dia takkan tahu di mana letak kesalahan, dan otomatis menganggap Rara sangat luar biasa. Yah, kritik apa yang bisa diharapkan dari Bella. Dia bukan Dante yang selalu tahu apa yang perlu diperbaiki dari sebuah permainan–meski kemampuannya sendiri mandek di grade 6.

Rara mearih pensil di dekat tuts piano, kemudian melingkari salah satu bar. Dia selalu menjadi melankolis di bagian tersebut. Metronom di dalam kepalanya seperti melambat. Sehingga tanpa sadar permainannya juga lebih pelan dari seharusnya. "Aku harus fokus," gumamnya.

Celebrazione della Tristezza. Interpretasi kesedihan di dalamnya memang merupakan kekuatan utama, tetapi itu seharusnya tidak membuat dia melupakan hal fundamental.

Ia kembali menarik napas panjang sebelum menekan ikon play di layar ponsel. Matanya bergerak sepanjang partitur di buku catatan. Selama satu setengah menit, tidak ada yang terdengar bermasalah. Hingga ia mencapai koda, bagian di mana ia menumpahkan seluruh pemahaman tentang teori musik yang ia pelajari selama bertahun-tahun. Kening Rara sontak berkerut. "Ini terlalu seperti Chopin." Diraihnya kembali pensil kemudian melingkari bagian yang ia rasa bermasalah.

Rara mengerang frustrasi. Dari awal dia seharusnya tidak coba-coba banting setir ke jalur seorang komposer. Dia menyerah. Mungkin lebih baik dia menampilkan Ballade No. 1 saja di konser nanti. Lagi pula, atmosfer yang dibawanya tidak jauh berbeda. Malah piece itu mampu membuat penonton terpukau dengan bagian akhirnya yang benar-benar indah dan spektakuler.

Tepat ketika gadis itu melepas earphone di telinga, ia menyadari kehadiran seekor makhluk berbulu tebal yang sepertinya masuk lewat pintu ruang musik yang tidak tertutup sempurna. Makhluk itu menempelkan tubuhnya ke kaki Rara, mengeong pelan.

"Wah, kucing! Ada kucing di sini!" Rara berseru heboh sendiri. Semua perasaan rasa kesal dan lelahnya menguap. Apalagi kucing hitam itu menunjukkan gestur senang ketika dielus-elus olehnya. "Halo, kucing. Duh, gemes banget." Gadis itu mengangkatnya lalu meletakkan di atas pangkuan.

Sebuah kalung melingkar di lehernya bertuliskan sebuah nama. "Noir? Nama kamu juga imut banget!" Seakan-akan mengerti apa yang Rara katakan, kucing hitam tersebut semakin menggosok-gosokkan kepala ke lengan gadis itu.

"Hei, berarti kamu bukan kucing liar, kan. Kamu kucingnya anak asrama?" Noir mengeong, seolah menjawab pertanyaan Rara. "Kita cari pemilik kamu, okey?" Ia menyahut setuju.

Tanpa menunggu lama, Rara lekas mengemasi semua peralatannya ke dalam tas, menutup tuts piano, kemudian menggendong Noir keluar. Rara tidak berhenti mengelus punggungnya—kucing hitam itu tampak begitu menikmati. Bulunya tampak lembut dan terawat. Tidak salah lagi. Pemiliknya pasti sangat menyayangi kucing ini.

Beberapa lama kemudian, mereka hampir tiba di lapangan. Pandangan Rara sontak terarah pada dua orang di dekat pohon besar. Tampak sesosok jangkung berambut hitam pekat. Noir pun ternyata ikut terfokus pada sosok itu, mengeong berkali-kali. "Itu pemilik kamu?" Yang ditanyai kembali mengiyakan.

Dari sana juga tampak satu orang lagi dengan rambut pirang digerai yang sudah pasti adalah Ervin. Karena sedikit penasaran, Rara akhirnya menuruti Noir untuk mendekati mereka.

ASRAMA 300 DC (SEASON 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang