Part 10 : The Tale of Two Bestfriend

471 107 4
                                    

Semarang, 11 Januari 2017

    Pkl 21.30

Rivai meminta kedua pengawalnya untuk pulang. Dia sendiri memilih berjalan seorang diri ke kamar President suite  tempatnya menginap. Seorang donatur membiayai kamar hotel  sepanjang masa kampanye. Ketika Rivai meminta kamar biasa, donatur itu menolak dan bersikeras Rivai harus mendapat kamar termahal. Rivai kadang ragu, apakah donatur itu bersikeras untuk kepentingan Rivai atau kepentingannya sendiri di masa depan. Entahlah.

Pintu kamarnya terbuka, tetapi sunyi tak terdengar suara tawa putra-putrinya. Rivai berjingkat masuk lalu menutup pintu perlahan-lahan. Bayangan wajah Martha mampir tanpa permisi. Mereka pertama kali bertemu di halaman asrama hari pertama orientasi. Martha dengan rambut dikuncir dan kaos universitas. 

"Hi! Dari Indo?" sapa Martha.

"Iya. Mbak'e dari Indonesia juga?"

"Jawa Tengah ya?" tembak Martha.

"Logat ndak bisa bohong." Rivai tersenyum simpul.

"Mamaku dari Klaten."

"Wih, tetangga. Sukoharjo."

Percakapan singkat yang memulai persahabatan mereka. Sebagai sesama perantauan,  mereka butuh teman untuk saling berbagi atau sekedar menertawakan kekikukan mereka di negeri orang.

Setelah lulus dan bekerja selama empat tahun di Singapura, Rivai pulang dan bersama temannya mendirikan usaha di Jakarta. Terakhir kali mereka berbalas pesan beberapa bulan yang lalu, tepat setelah Rivai mencalonkan diri sebagai calon walikota Karang Arum. Martha mengirimkan utas berita dengan komentar, 

"Nyaleg? Finally!! Gue bilang juga apa, lo kudu nyaleg!"

Pesan yang tak pernah dibalas oleh Rivai. Waktu itu dia sangat sibuk. Martha tentu mengerti. Rivai menatap pesan yang baru saja dia kirim setelah bertemu dengan Krisna.

Are you okay, Ta?

Ada wartawan wawancara aku.

Belum ada jawaban dari Martha. Namun Rivai tak punya waktu untuk merenung. Ponselnya sudah menerima bombardir pesan dari tim kampanyenya. Dia sibuk membaca rancangan pidato besok ketika ponselnya tetiba berbunyi. Nama Martha muncul di sana.

"Halo Ta." Rivai membuka percakapan.

"Kok bisa wartawan cari kamu, Riv?" tembak Martha tanpa basa-basi.

"Aku yo ndak tahu, Ta. Kamu piye kabar'e?"

"Don't contact me, Riv. You asked the journalist to hide your name, didn't you?"

"Ya iya donk. Are you okay?"

"Mbak Atikah ada?"

"Ta, are you okay?"  tanya Rivai dengan nada perlahan tapi tegas.

Suara di sana terdiam sejenak. "Lo baca koran kan, Riv? I'm far from okay,"  tutur Martha lirih.

Rivai hanya menghela napas. Dia tak pandai menghibur teman yang didera masalah. 

"Aku perlu ngomong sama mbak Atikah." Nada suara Martha berbalut kekalutan.

"Sebentar." Rivai berjalan ke arah pintu pembatas antar kamar. President suite yang dia tempati terdiri dari dua kamar tidur, ruang tamu dan ruang makan tempat biasanya dia menerima para tamu atau mengadakan rapat dengan tim sukses. Atikah sedang duduk berselonjor di sofa ruang tamu. Istrinya asyik membolak-balik tumpukan koran. .

"Bunda, telepon dari Martha."

Tanpa bercakap, Rivai menekan tombol loudspeaker dan suara Atikah bergema.

Perkumpulan Anak Luar NikahWhere stories live. Discover now