01 | Dia Kembali

129 4 0
                                    

Author POV

Via meregangkan kepalanya ke kiri dan ke kanan mencoba menghilangkan rasa pegal yang ada di sekitar lehernya. Dia baru saja selesai rapat dengan para dokter senior untuk penanganan bayi prematur yang akan lahir dalam waktu dekat. Dilanjutkan menulis laporan medis pasien anak penderita demam berdarah sore ini. Baru saja beberapa saat menyandarkan kepala pada kursi yang ada di ruangannya, sebuah pesan dari mantan pacarnya membuat kepalanya makin pening.

Please jangan hilang kontak dan susah dihubungi gini, aku ngga bisa hidup tanpa kamu Vi.

Via sudah jemu mendengarkan penjelasan dari mantannya.

"Basi!" Ingin rasanya Via berkata kasar, namun dari dulu mulutnya paling anti menyebut kata-kata kotor. Dia meletakkan ponselnya ke atas meja secara asal, lalu kembali menyandarkan kepalanya di kursi. Baru beberapa detik dia memejamkan mata, ponselnya kini berdering menunjukkan nama Dito, adik kandungnya.

"Kak!" Seru Dito setelah telepon tersambung.

"Apa de? Kemarin kan udah gue kasih jatah uang jajan lo" sahut Via malas.

"Bang Brian tadi sore dateng ke rumah nyariin elo" ucap Dito langsung ke intinya.

"What the?? Mau ngapain dia ke rumah??" Via menegakkan diri di kursi kerjanya.

"Arek apel mereun, pan Bang Brian teh kabogoh maneh" Jawab Dito dengan logat sunda ala-ala.

"Gue sama Brian udah putus, lain kali kalo dia dateng ngga usah ditanggepin"

"Lah sejak kapan? Gue ketinggalan info apa aja selama ini??"

"Panjang ceritanya, makannya ngga usah bertapa mulu di dalem kamar"

Via sudah hafal sekali kebiasaan adiknya yang selalu sibuk di kamar main game. Katanya sih Dito sedang persiapan untuk ikut turnamen pro player salah satu permainan tembak-tembakan. Via kurang paham, yang dia tahu main game itu hanya sekedar untuk menghibur diri saja, tidak sampai ada lombanya.

"Brian masih di rumah engga? Kalo masih, gue mau nginep aja di rumah Chaca"

"Cuma nanyain elo ada atau engga terus langsung cabut"

"Besok-besok kalo dia dateng nyariin gue lagi, bilang aja gue udah pindah rumah!"

"Idih kaya elo berani aja tinggal sendiri"

"Udah ya gue lagi males ngomong, bye"

"Gue kira elo bakal nikah sama bang Bri-"

Via memutus sambungan telepon.

Dia kembali bersandar penuh di kursi kerjanya menghembuskan napas kasar sambil memandangi rekam medis di layar komputernya yang masih menyala. Sekarang sudah hampir pukul enam sore namun dia masih enggan untuk pulang ke rumah.

Via kembali teringat kejadian satu minggu lalu saat memergoki mantan pacarnya berselingkuh dengan wanita lain. Hubungan yang sudah berjalan selama satu tahun ini terpaksa harus kandas karena perbuatan Brian yang sudah berani main di belakang. Pertengkaran hebat diakhiri dengan kata 'putus' setelah Via mendengar penjelasan dari mantannya. Bagaimanapun Via paling tidak suka dengan seorang pengkhianat.

Kamu sibuk banget dan ngga pernah ada buat aku Vi, lalu dia dateng di saat aku lagi feeling lonely. Perasaan itu muncul dan ngga bisa dikontrol kapan datangnya.

Penjelasan dari mantan pacarnya itu masih teringat jelas di kepala Via.

"Ngga bisa di kontrol?? Terus kamu mikir ngga?? Bisa-bisanya kamu sayang-sayangan sama cewe lain di saat kamu masih punya pacar?? Terus kalo perasaan kamu muncul suka sama janda atau nenek-nenek, kamu tetep mau pasrah aja gitu??" Via berbicara sambil membendung tangisnya yang hampir pecah. "Silakan kalau kamu mau deket sama cewe mana pun, tapi setidaknya kamu putus dulu dari aku" Lanjut Via dengan air mata yang tak mampu tertahan lagi.

Ini adalah pertengkaran hebat antara Via dan Brian dalam sejarah. Kelakuan mantan pacarnya benar-benar begitu bodoh. Perasaan tentu saja bisa ditahan kalau kita menutup hati untuk orang lain. Apakah Brian akan tetap sembunyi-sembunyi di belakang Via kalau saja dia tidak memergokinya berselingkuh?

Brian orang yang sudah Via percaya selama ini, perjalanannya selama satu tahun membuat Via yakin kalau Brian adalah orang yang tepat. Via menerima Brian apa adanya walaupun pekerjaan mantan pacarnya ini masih serabutan. Sebenarnya tidak sulit bagi Via untuk menemukan lelaki yang lebih baik dari pada Brian. Karir Via sebagai seorang dokter sudah mapan, kecantikannya juga tidak perlu diragukan. Banyak pria yang ingin menjadikannya pasangan namun dia tetap memilih setia pada Brian.

Kepercayaan Via pada Brian kini sudah runtuh sampai dasar. Entah pria mana lagi yang bisa Via percaya jika mengingat Brian, orang yang terlihat sangat mencintainya saja bisa berkhianat seperti ini. Tentu tidak mudah bagi Via untuk dapat percaya lagi dengan manusia baru. Apakah mungkin ada pria yang bisa membuat Via kembali percaya akan apa itu cinta?

**********

Via baru saja duduk di sofa abu-abu yang ada di ruang kerja sambil meminum es kopi favoritnya. Siang ini pasien cukup senggang jadi dia bisa bersantai sebentar. Masih ada waktu setengah jam lagi sebelum rapat bersama dokter kandungan dilanjutkan. Via membuka kotak bekal berwarna pink yang dia bawa dari rumah, berisi sandwich dari mamanya yang belum sempat dia makan.

Sekarang usia Via sudah menginjak 29 tahun, tapi mamanya masih selalu memperhatikan makanan putrinya tersebut. Sebenarnya Via sering menolak untuk dibuatkan bekal, namun mama selalu saja memaksa. Tak jarang juga Dito, adiknya meledek Via dengan sebutan 'anak mama'. Walau begitu Via tetap bersyukur karena memiliki orang tua yang sangat perhatian padanya. Selama dia masih tinggal bersama orang tua mungkin mamanya akan tetap memperlakukannya seperti itu.

Tiba-tiba pintu ruangan terbuka secara kasar memunculkan sosok Chaca, sahabat Via yang bekerja sebagai dokter kandungan di rumah sakit yang sama.

"Elo sibuk ngga??" Tanya Chaca dengan napas terengah-engah.

"Masuk aja Ca, pintunya ngga di kunci kok" Jawab Via santai. Padahal dia tahu kalau Chaca sudah berada di hadapannya sekarang.

Chaca berjalan mendekat lalu duduk di sebelah Via dengan ekspresi wajah yang terlihat semringah.

"Lo kenapa sih Ca? Takut gue lama-lama liat lo senyum-senyum sendiri" Via memegang kening Chaca seolah sedang cek suhu. Chaca ini memang sudah akrab dengan Via sejak jaman SMA.

"Gue ngga tahu ini berita baik atau buruk" Ujar Chaca.

"Jangan buat gue penasaran, cepet ngomong keburu gue meeting"

"Elo kayaknya harus ke UGD sekarang"

"Ada pasien buat gue? Ah kenapa ngga bilang dari tadi"

Chaca menahan tangan Via yang mulai berdiri agar tetap duduk.

"Ada mantan pacar lo dateng" Akhirnya Chaca to the point.

"Bilangin gue lagi dinas di luar kota" Jawab Via malas lalu kembali duduk menyedot es kopinya.

"Lo yakin ngga mau liat dia setelah sekian lama Vi??" Via bingung dengan kata-kata Chaca karena terakhir kali dia bertemu Brian adalah satu minggu yang lalu. Terlalu lebay jika harus menggunakan kata 'sekian lama'.

"Gue lagi ngga mau ketemu sama Brian dan udah ngga mau denger penjelasan apa-apa lagi dari dia. Titik" Via berjalan ke meja kerjanya mempersiapkan laptop dan perlengkapan yang akan dia bawa untuk rapat nanti.

"Astaga gue lupa bilang, ini bukan soal Brian" Chaca menepuk jidatnya pelan. Via terlihat menghentikan aktivitasnya lalu menatap Chaca yang masih duduk di sofa.

"Maksud lo?"

"Mantan elo yang gue maksud ini bukan Brian, tapi Nicho"

Sedetik, dua detik, Via masih bengong menatap Chaca, belum bisa memberikan tanggapan.

"Elo ngga papa kan?" Chaca mendekat ke arah Via yang masih mematung.

"Sebelum rapat mendingan elo ketemu Nicho dulu sebentar, ayo gue anterin" Chaca menarik lengan Via menuju UGD menemui pria bernama Nicho tersebut. Via merasakan detak jantungnya kini berdegup kencang setelah mendengar nama cinta pertamanya.

Dia kembali? Batin Via.



~To Be Continue~

My You [On Going]Where stories live. Discover now