15. Never Enough

16 0 0
                                    

Aku di sini lagi,

di sebuah halte bus daerah Sudirman, menunggu deraian air hujan berhenti membasahi bumi.

Untuk kesekian kalinya, dengan agenda yang sama, menghadiri wawancara dari sebuah perusahaan yang mencoba merekrut pegawai baru.

Aku mengibaskan beberapa rintik air yang tertempel di kemeja putih yang ku lapisi setelan rok dan cardigan hitam – tipikal seseorang yang sedang mencari pekerjaan – berharap akan membuat kemejaku yang sedikit basah ini kering seketika karena aku masih harus menghadiri satu interview kerja lagi setelah ini. Namun, semesta seolah paham bagaimana caranya mengacau hidupku yang kata orang kacau ini.

Aku melirik jam tangan murahan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Pukul 12:37, kira-kira 23 menit lagi sebelum wawancara kedua ku untuk hari ini, tapi sepertinya hujan tidak memberikan tanda-tanda akan berhenti dalam waktu dekat.

Aku membuang napas dengan kasar, mulai merasa kebosanan dengan acara menunggu hujan reda di bawah halte bis sendirian. Tanpa sadar, aku menatap lurus ke depan, ke arah mobil-mobil mewah yang berlalu lalang di tengah genangan air hujan.

Aneh, kenapa mereka bergerak dengan cepat? Kenapa yang ada di depanku seolah melaju, tapi waktu di sekelilingku seolah terasa lambat.

Sama seperti orang-orang.

Mereka melangkah cepat, mencapai sesuatu hal yang hebat duluan. Sementara aku, masih menapak pada jalan ketidakpastian.

Aku tersadar dari lamunanku ketika sebuah mobil melaju tepat di depan halte, mencipratkan genangan air hujan di jalanan, dan membuat rok hingga kaus kaki dan sepatu pantofel hitam hasil pinjaman ku basah dan tak karuan.

Aku mendengus, ingin marah rasanya pada pengemudi tak tahu aturan itu. tapi mau bagaimana lagi, marah-marah pun tak akan membuat rok span ku kering dan kembali bersih kan?

Lagi-lagi aku hanya menghembuskan napas kasar, pasrah akan keadaan. Seperti nya aku terpaksa harus mendatangi interview kedua ini dalam keadaan seperti ini. Daripada tidak sama sekali.

Sungguh, tidak bisakah hariku lebih buruk lagi dari ini?

Hari lain, interview yang kesekian, juga mungkin penolakan yang kesekian

Aku semakin terbiasa menemukan kalimat-kalimat penolakan yang dirangkai sebaik mungkin oleh HRD perusahaan-perusahaan itu agar tak menyakiti pelamar kerja. Meskipun awalnya hal itu menyakitkan, semakin ke sini kalimat itu seperti tak ada artinya untukku.

Mati Rasa

Mungkin bisa dikatakan seperti itu. Setiap surel yang masuk, dan aku menemukan lagi-lagi kalimat itu, aku hanya akan berkata, "Oke.. here we go again". Kalimat-kalimat itu sudah seperti makanan sehari-hari bagiku.

Tapi, bukan berarti aku menyerah.

Pagi ini aku pergi sekitar pukul delapan pagi. Interview-ku pukul 9, jika kalian ingin tahu. Aku menemukan Ibuku tengah mengobrol dengan tetangga yang tinggal tepat di depan rumah kami.

Sepertinya mereka sama-sama baru selesai menyapu halaman, dilihat dari bagaimana mereka masih sama-sama memegang sapu masing-masing di tangan.

"Berangkat kerja, Ra?"

Aku yang tengah memasang sepatu pantofelnya mendongak, tersenyum kikuk hendak menjawab pertanyaan tetangga depan rumah yang sering kusapa Bulek Sarmi itu.

Belum sempat aku membuka mulut, Ibu tau-tau sudah menyambar pertanyaan Bulek Sarmi dengan kalimat yang... sebetulnya, aku tak perlu terlalu sensitif mendengarnya. Hanya saja, perasaanku tak bisa di bohongi. Aku sedikit terluka mendengar kalimatnya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 14, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Anthology Of My Short StoryWhere stories live. Discover now