.
.
.

Wei Wuxian terbangun ketika deringan ponselnya berbunyi. Ia mengangkat mengangkat kepalanya dari bahu Wangji dan menemukan jika pria itu juga turut terlelap, dengan kepala yang bersandar pada dinding. Seketika rasa bersalah menyeruak, itu pasti sangat tidak nyaman.

Dengan hati-hati ia turun dari ranjang, dan meski agak susah namun ia berhasil membenahi posisi tidur Wangji menjadi lebih nyaman.

Irisnya terpaku pada sebuah buku yang berada dipelukan Wangji, saat ia hendak mengambilnya, namun ternyata cukup sulit. Ia tak ingin membangunkan kekasihnya, jadi hanya menaikan selimut dan mencium keningnya. “Lan Zhan aku harus pulang sekarang, besok aku akan kembali.” Bisiknya.

Blam

Pintu tertutup rapat.

Dan iris emas Lan Wangji terbuka perlahan, menatap ke arah pintu dengan tatapan sendu.

“Wei Ying, maafkan aku.”

.
.
.

Malam ini cuaca terasa lebih dingin dari biasanya, dan Wei Wuxian melajukan mobilnya dengan pelan menyusuri jalanan yang cukup lengang.

Setelah mengunjungi Wangji, ia masih harus kembali ke kantor untuk mengurus beberapa hal. Meski sebenarnya Jiang Cheng sudah melarangnya, ia ingin sahabatnya itu mengambil waktu untuk dirinya sendiri.

Namun Wei Wuxian adalah makhluk keras kepala, ia tak mendengarkannya sama sekali, barulah setelah sang ayah, Wei Changze yang merupakan sang pimpinan perusahaan turun tangan Wei Wuxian menurut.

Sebenarnya, ia hanya tak ingin kembali ke rumah lebih cepat. Ia benci ketika ia berada di rumah dan tak mendapati Lan Zhannya berada disana.

Rumah yang dibangun Wangji sebagai hadiah pertunangan mereka, tiba-tiba terasa sangat luas namun juga menyesakkan disaat yang bersamaan. Tanpa Wangji disana, rumah itu seperti ladang ranjau yang siap menjebaknya kapan saja dengan segala kenangannya bersama Wangji. Membuat rasa sakit tak kasat menyayatnya bertubi-tubi.

Wei Wuxian mengusap air matanya yang tiba-tiba meleleh. Ia tidak boleh menangis, dirinya harus menjadi kekuatan untuk Wangji agar prianya itu bisa kembali bersemangat dan sembuh.
Laju mobilnya melambat ketika ia melihat jajaran etalase toko yang memajang berbagai macam cake.

Tiba-tiba saja ia teringat sesuatu dan segera mengecek kalender Di ponselnya.

21 Januari, dua hari lagi adalah ulangtahun Wangji sekaligus annyversary pertunangan mereka.

Hampir saja ia melupakan hal itu.

Wei Wuxian menepikan mobilnya dan masuk ke dalam toko, berkeliling mencari cake yang ia inginkan. Namun setelah lima belas menit, ia tak menemukan apapun dan akhirnya pulang dengan sebuah buku resep yang ia beli.

Baiklah, meski ia sudah mendeklarasikan bahwa dirinya dan dapur adalah musuh abadi, untuk kali ini saja ia ingin berjuang membuat sesuatu dan itu harus berhasil!

Dengan semangat juang tinggi ia bergegas masuk kedalam mobilnya dan siap untuk bertempur dengan alat-alat dapur.

.
.
.

Disatu sisi, Wangji menyeret kursi rodanya disepanjang koridor rumah sakit yang sepi.

Tatapannya tampak kosong, ditangannya terlihat jejak darah kering akibat infus yang ia lepas paksa.

Wangji sudah tak lagi menghitung berapa lama ia terjebak ditempat ini, bersama obat-obatan yang hampir membuatnya muak.

Terkadang Wangji merasa putus asa, karena bahkan setelah semua hal yang ia lalui, tak ada tanda-tanda jika kondisinya akan segera membaik. Dibanding itu, semakin hari, ia merasa tubuhnya semakin lemah, hanya untuk berjalan saja ia harus menyasar benda-benda disekitarnya sebagai tumpuan.

Sebagai seorang pria, ia merasa tak berguna.

Ketika mendengar cerita Wei Wuxian tentang mimpinya, hati Lan Wangji terasa mencelos. Seolah dirinya didorong jatuh dari tebing yang sangat curam. Bagaimana ia merasa jika dirinya hanya menjadi beban bagi mimpi kekasihnya yang terdengar sempurna.

Ia merasa jika seluruh pengorbanan Wei Wuxian sudah lebih dari cukup, sampai pada tahap dimana ia tak bisa lagi menerima semua cinta yang berlimpah, sementara dirinya tak bisa memberikan apapun sebagai balasan.

Ia tak mengizinkan siapapun mendampinginya disini, Wangji tak ingin orang-orang yang dicintainya melihatnya yang seperti ini. Dirinya seolah mendorong mereka semua menjauh, bahkan ayah dan ibunya hanya bisa mendengar kondisinya dari sang kakak, Lan Xichen, yang menjabat sebagai kepala rumah sakit tempat Wangji dirawat.

Pun demikian dengan Wei Wuxian, pada awalnya. Wangji melakukan segalanya cara untuk mendorong kekasihnya pergi, namun Wei Wuxian selalu memiliki cara untuk menerobos dinding yang telah ia bangun dengan susah payah.

Chateau de WangxianWhere stories live. Discover now