"aku bermimpi kita sedang berada di altar, saling mengucap janji suci. Aku melihat papa dan mama, juga mommy dan daddy Lan yang turut bahagia, bahkan Paman Qiren yang sangat anti Wei Wuxianpun turut tersenyum dalam mimpiku, itu sedikit mengerikan tapi tetap saja aku bahagia. Tapi dari semua hal yang menyenangkan dalam mimpi itu adalah kau, Lan Zhan. Kau terlihat sangat tampan dengan tuxedo putih. Saat aku bangunpun jantungku masih berdebar sangat kencang ketika mengingatnya, hihi.”

Wei Wuxian mungkin tidak menyadari, jika tepukan kecil dibahunya sudah terhenti. Tangan Wangji mengambang diudara, lalu terkepal lemah. Ia menunduk memperhatikan setiap ekspresi Wei Wuxian yang terlihat bahagia dan antusias ketika menceritakan perihal mimpinya.

Dan Lan Wangji, yang tak bisa lagi tersenyum. Ia melihat pantulan dirinya melalui layar televise yang berwarna hitam. melihat selang infus yang tersambung ke tangan kirinya.

Apa bahkan ia memiliki kesempatan untuk mewujudkan mimpi Wei Wuxian?

“Lan Zhan.”

Wangji tersentak dari lamunannya, ia kembali memberikan atensinya pada sang kekasih, “kenapa?” Wei Wuxian membelai pipi Wangji yang pucat, merasakan jika pipi itu semakin tirus dari terakhir kali ia menyentuhnya.  Wangji menangkap tangan Wei Wuxian, ia mengecupnya sekilas sebelum menggenggamnya erat, “tidak apa-apa. Aku hanya merasa senang mendengar cerita tentang mimpimu.” Dalihnya diiringi senyum tipis.

Meski sebenarnya Wei Wuxian merasa sangsi, namun ia tak berkomentar lebih. Ia tersenyum sampai deretan gigi putihnya yang rapi terlihat, “itu mimpi yang indahkan?”

Wangji mengangguk, “mn.”

“ah, apa kau lapar? Makanan rumah sakit pasti tidak enak. Jadi aku membawakan mu sup akar teratai. Tenang saja, ini bukan buatanku dan rasanya tidak pedas jadi kau bisa menikmatinya.” Wei Wuxian mengeluarkan kotak bekal dari dalam tas dan menantanya di atas meja, ia memperlihatkan mangkuk berisi kuah sup berwarna bening, seolah menegaskan jika sup itu sama sekali tidak pedas.

Ia hanya tidak mau Wangji salah sangka dan kembali trauma akibat ulahnya yang dengan percaya diri masuk ke dapur untuk memasakkan Wangji sesuatu namun malah berakhir sengan pria itu yang terbatuk tanpa henti akibat rasa pedas yang tak manusiawi.

Wei Wuxian sangat merutuki kebodohannya tempo hari dan memutuskan bahwa ia dan dapur adalah musuh abadi.

“Aku malah berharap kau yang memasaknya.”

Wei Wuxian merengut, sambil menyuapkan satu sendok sup untuk Wangji ia mendumal, “jangan mengejekku. Kau terlihat sangat tersiksa saat mencoba supku waktu itu.”

Wangji tertawa sangat tipis, “itu memang sangat pedas.”

“Kaan?! Sudahlah, aku dan dapur memang tidak pernah cocok. Jadi Lan Zhan, kau masih mau menerimaku kan meski aku tidak bisa memasak?”

Jari rampingnya memencet hidung Wei Wuxian gemas, “apa aku bahkan perlu menjawabnya?”

Wei Wuxian membalas dengan cengiran, “tidak usah, aku tau kau akan selalu menerimaku apa adanya. Kau kan sudah cinta mati padaku.”

Baiklah, ini memang Wei Wuxian sekali dengan kenarsisan diluar batas normal.

Wangji sudah sangat maklum dengan kekasihnya ini. Ia suka dengan bagaimana ekspresifnya Wei Wuxian saat ia bercerita, senyumannya yang ceria seolah menular pada Wangji.

Wangji hanya mendengarkan dan sesekali berkomentar kecil.

Sampai mungkin pemuda itu kelelahan dan tertidur setelah membereskan alat makan yang telah kosong. Kepalanya bersandar dibahu Wangji, napasnya teratur dengan dengkuran halus.

Wangji mengusap rambut kekasihnya, membelai setiap sudut wajah itu dengan lembut lalu beralih pada jemari mereka yang tertaut. Perlahan ia melepaskan tautan mereka, mengambil buku yang tadi sempat ia abaikan dan menggoreskan pensil dipermukaannya.

Wangji menggambar sketsa Wei Wuxian yang tengah terlelap. Senyumnya mengembang tiap kali ujung pensilnya bergerak membuat garis, membayangkan setiap detail wajah kekasihnya dalam sebuah sketsa yang ia buat.

Dengan ini, ia berharap bisa merekam wajah itu dalam memorinya, bahkan meski ia tertidur ia berharap wajah Wei Wuxian akan selalu ia ingat.

Chateau de WangxianWhere stories live. Discover now