Bab 53 ~ direstui

7 4 0
                                    

Pagi yang cerah, matahari menyinari bumi dengan senang hati, memberikan kehangatan kepada bumi yang sempat dingin karena udara malam. Seberkas cahaya matahari menerpa wajah cantik Bulan, membuat sang empu terusik.

Perlahan ia membuka matanya dengan sedikit mengucek matanya yang terasa blur. Setelah membuka mata dengan sempurna, Bulan menjadi malu karena Langit kini sedang memandanginya.

"Kenapa mukanya merah gitu?" tanya Langit sembari mengulum senyumnya.

"Gak ada, ini karena panas," jawab Bulan mengalihkan pandangannya.

"Panas dari mana? Atau karena aku ganteng, jadi wajah kamu merah gitu?" goda Langit.

"Apaan sih. Biasa aja, udah ah, aku mau bangun, mandi trus jalan-jalan pagi biar aku sama calon bayi kita sehat."

Bulan bangkit dari tidurnya dengan perlahan karena perutnya semakin hari semakin besar saja. Kadang banyak yang mengira jika usia kandungan Bulan sudah tujuh atau delapan bulan. Padahal kandungannya baru memasuki bulan keenam.

Langit pun membantu Bulan berjalan membuat Bulan semakin malu saja. Entah memang perlakuan Langit yang benar-benar membuat Bulan malu, atau karena bawaan bumil.

"Mandi bareng yuk!" ajak Langit membaut Bulan menggeleng cepat.

"Gak mau. Mandi sendiri aja," balas Bulan sedikit cemberut.

Sudahlah, bumi selalu saja berubah-ubah moodnya, tadinya masih malu-malu meong, sekarang malah cemberut. Langit hanya terkekeh lalu mengantar istrinya ke dalam kamar mandi, kemudian ia memilih keluar dan menunggu di luar.

Baru saja Langit keluar, ia sudah dikejutkan dengan suara tangis bayi di ruang keluarga. Langit buru-buru berjalan, melihat apa yang terjadi disana. Sampai disana, Langit malah menahan tawanya karena melihat sang Papa yang sedang loncat-loncat berusaha membuat lelucon agar adiknya itu tertawa.

"Haha ... Papa mau buat lelucon atau mau nakutin Garin," kekeh Langit melihat adiknya yang semakin menangis.

Sedangkan Abi langsung diam sembari menggaruk tengkuknya. Bukan hanya Garin, sewaktu Langit masih kecil saja, Abi tak tahu menenangkan Langit ketika menangis dan sampai saat ini, Abi masih tidak tahu harus bagaimana. Seakan-akan para bayi takut melihat wajah Abi.

Langit lalu mendekat ke arah adiknya. Baru saja ia duduk, Garin sudah tertawa girang. Padahal Langit hanya tersenyum ke arah Garin. Abi hanya melongo tak percaya, padahal dia sudah berusaha sebaik mungkin, dan setelah datang Langit, dengan mudahnya Garin tertawa.

"Apa kalian sudah merencanakan ini?" tanya Abi kesal.

"Eh? Mana ada bayi baru satu bulan udah tau kerja sama dengan orang dewasa. Papa ada-ada aja," titah Langit.

"Kamu jagain Garin, papa cape dari tadi cuma loncat-loncat Mulu."

"Tapi, setelah ini, Langit lagi ikut Bulan jalan-jalan, pa."

"Ya sudah, bawa sekalian dengan Garin, biar dia kena matahari pagi," balas Abi membuat Langit mendengus sebal.

Langit lalu kembali melirik Garin yang terus saja tersenyum tanpa henti.

"Masih bayi udah buat Papa kesal, gimana kamu besarnya. Hahaha!" ucap Langit dengan tawa yang cukup keras.

"Sayang! Kenapa ketawa kenceng banget, nanti Garin kaget," tegur Bulan yang baru saja datang.

"Mana ada kaget, dia malah tambah ketawa nih," tunjuk Langit pada Garin.

Bulan yang melihat itu ikut tertawa, sangat lucu. Mereka pun pergi keluar untuk jalan-jalan disekitar komplek. Langit yang menggendong Garin dan Bulan terus berjalan perlahan tanpa menggunakan alas kaki.

Diantara Bulan dan LangitWhere stories live. Discover now