Bab 27

8 4 0
                                    

Seminggu telah berlalu. Langit kini tengah duduk di markasnya sembari memandang lurus kedepan. Ia masih terus memikirkan Bulan yang tak tahu ada dimana.

Zaiya yang pulang-pulang dan disuguhkan dengan kabar tak mengenakan itu, langsung saja memarahi Langit habis-habisan. Sedangkan Abi hanya diam, bukan tak perduli, Abi hanya menginginkan jika Langit dapat menyelesaikan masalahnya sendiri. Jika suatu saat, Langit dan Zaiya sudah tak ada, Langit sudah bisa menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa bantuan orang tua.

Abi benar-benar galau selama seminggu. Hal itu membuat Raja, Devan dan juga Sastya bingung harus bagaimana. Sedangkan Riky? Dia sudah dipindahkan di sekolah lain bersama Salsa karena Langit sudah melaporkan yang sebenarnya.

"Mau kemana?" tanya Raja yang melihat Langit hendak pergi.

"Ke kantin, mau nenangin diri. Mumet gue disini mulu," ucap Langit lalu pergi meninggalkan teman-temannya.

....
Di jalan menuju kantin, tanpa sengaja Langit bertemu dengan Shena yang juga menuju kantin.

"Kak Langit?"

"Eh, Shena? Mau ke kantin?" tanya Langit yang dibalas anggukan oleh Shena.

"Kak, gimana kabar kak Bulan? Kok dia gak masuk? Kan, dia udah diterima lagi di sekolah?" tanya Shena bingung.

Ya, disini Shena sudah mengetahui tentang hubungan Langit dan Bulan tapi dia belum tahu kalau Langit dan Bulan sekarang sudah tak saling berkomunikasi.

"Shena, lo punya nomornya Bulan?" tanya Langit.

Shena mengernyit bingung. "Ada, kenapa?" tanya Bulan heran.

"Boleh pinjem ponsel lo, gue mau belok Bulan ... dia blokir nomor gue," ungkap Langit.

"Hah? Blokir? Kalian ada masalah? Astaga, ya udah ini!" Shena pun memberikan ponselnya.

Langit dengan senang hati menerima ponsel itu. Langit pun menekan nomor milik Bulan, tersambung tapi tak kunjung ada jawaban.

"Assalamu'alaikum, Shena!"

Langit terdiam mendengar suara Bulan. Ia benar-benar merindukan Bulan saat ini tapi mau bagaimana lagi, Bulan tak mau berkomunikasi dengannya.

"Halo, Shena. Aku salam loh, kok gak di bales," ucap Bulan lagi.

"Wa'alaikumussalam," jawab Langit.

Setelah itu, tak ada jawaban dari seberang sana. Langit pun tak berniat untuk bersuara kembali, takut jika dia salah bicara.

"L-Langit!"

Suara lembut itu terdengar lagi membuat hati Langit seakan bergetar. Dengan susah paya, Langit mengumpulkan oksigen banyak-banyak untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan saat ini.

"Gue cinta sama lo. Gue, Alfatah Langit Siregar, cinta sama lo, Bulan Aisya Willano!" ungkap Langit.

Kali ini Langit tak mau Bulan pergi darinya. Kalaupun Bulan tetap pada pendiriannya untuk cerai maka setidaknya Langit sudah mengungkapkan isi hatinya yang sebenarnya.

Tut! Tut!

Panggilan telepon mati begitu saja. Langit menghela napas lelah kemudian mengembalikan ponsel Shena. Shena nampak prihatin kepada hubungan keduanya tapi Shena tak tahu harus berbuat apa.

"Ya udah, kak Langit masih jadi ke kantin?" Langit mengangguk, memang tujuannya tadi ke kantin.

Keduanya pun berjalan menuju kantin sekolah.

****
Disisi lain, Bulan kini tengah duduk dengan jantung yang berdegup kencang. Ia baru saja mendengar pengakuan dari Langit. Tapi siapa sangka jika Bulan tetap mempertahankan keputusannya tentang perceraian.

"Disini aku yang salah, Lang. Kalo saja aku gak ada, aku gak ketemu sama kamu, gak ketemu sama Lia. Pernikahan ini gak akan terjadi ... aku bakal ikhlasin kamu, Lang."

Bulan lalu menghela napas lemah, lalu memilih untuk keluar sebentar untuk membeli sesuatu di minimarket. Langkah Bulan sedikit cepat karena diluar matahari begitu terik, membuat Bulan merasa kulitnya sedikit terbakar karena sengatan matahari.

Setelah sampai di minimarket, Bulan langsung saja membeli apa yang ia butuhkan tapi tak sengaja ia malah menabrak seseorang.

"Aduh!"

"Maaf tante, aku gak sengaja," ucap Bulan membantu wanita itu mengangkat barang-barangnya.

"Bulan!"

Bulan mematung mendengar suara itu. Bulan lalu mengangkat pandangannya dan mendapatkan Zaiya. Mata Bulan melotot, sejak kapan Mama mertuanya ini berbelanja di kompleknya?

Zaiya dengan b1b1r tersenyum dan air mata yang menetes langsung saja memeluk tubuh Bulan.

"Mama rindu sama kamu ... maafin Mama karena gak bisa mendidik Langit," ucap Zaiya sembari terisak.

"Mama gak salah, ini salah Bulan. Kalau saja Bulan gak hadir dalam kehidupan Langit, ini gak akan terjadi," ungkap Bulan yang membuat Zaiya melepas pelukannya sembari menggeleng.

"Gak, ini bukan salah Bulan. Balik ke rumah ya? Mama pengen kamu tetap sama-sama Langit. Balik ya, mama mohon!"

Bulan terdiam. Ia tak tega melihat Zaiya memohon kepadanya, tapi ia juga tak mau jika ia kembali dan cinta Langit terhalang oleh hubungan mereka. Yah, walaupun Lia sudah tak ada, tapi bukan berarti cinta itu menghilang.

"Bulan gak bisa, Ma. Besok papa akan anter surat perceraian Bulan dan Langit. Bulan udah tandatangan, mama suruh Langit buat tandatangan ya? Maaf karena Bulan gak bisa sama-sama mama, papa dan juga Langit."

Bulan lalu mengisi barang-barang Zaiya yang berhamburan ke dalam tas. Ia kemudian menyalimi tangan Zaiya lalu pamit pergi dari sana.

Zaiya hanya diam melihat kepergian menantunya yang mungkin saja sebentar lagi akan menjadi mantan menantu.

Zaiya pun memilih untuk membayar barang-barangnya dan langsung pulang. Masih merasa kecewa dengan penuturan Bulan.

****
Malam telah tiba. Bulan hanya diam di teras rumah memandang langit malam tanpa adanya sinar bulan. Benar-benar terlihat hampa.

"Lang, andai saja kita seperti langit dan bulan di atas sana. Yang dimana saling membutuhkan satu sama lain, mungkin saja kita bisa bersama, Lang," gumam Bulan tanpa sadar meneteskan air matanya.

"Ayo, nak!"

Bulan cepat-cepat mengusap air matanya lalu berdiri. "Ayo, Pah," ucap Bulan.

Malam ini, Bulan dan Rudri menuju rumah Langit untuk mengantarkan surat perceraian. Sebenarnya, Bulan tak ingin ikut karena tak mau bertemu dengan Langit, tapi Rudri memaksanya untuk ikut.

Sepanjang perjalanan, Bulan hanya diam memandangi deretan gedung-gedung yang menjulang tinggi. Helaan napas terdengar lagi yang membuat Rudri menoleh ke arahnya.

"Bulan, apa kamu yakin dengan keputusan kamu ini?" tanya Rudri.

"Bulan yakin, Pah," jawab Bulan tanpa menoleh ke arah Rudri.

Rudri hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia juga tak mau memaksa anaknya untuk bertahan jika tak bahagia. Toh, mereka menikah juga tanpa dasar cinta.

Tak lama, akhirnya mereka sampai di rumah Langit. Ragu-ragu Bulan melangkah masuk.

"Assalamu'alaikum!" ucap Bulan dan Rudri bersamaan.

"Wa'alaikumussalam," jawab tiga orang yang berada di dalam rumah.

Setelah pintu terbuka, mata Zaiya melebar lalu memekik cukup keras dan memeluknya.

"Bulaaan! Akhirnya kamu datang juga, mama rindu sama kamu," ucap Zaiya memeluk Bulan dengan erat.

"Ayo masuk. Pak Rudi, silahkan masuk!"

Ketiganya menuju ruang keluarga. Bulan hanya menunduk tak berani memandang wajah papa mertua dan juga Langit.

Diantara Bulan dan LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang