Pembuka

10 3 0
                                    

"Biru, tolong jaga rumah. Ibu pergi dinas dulu." Ucap ibu seraya memakai sepatu pantofel miliknya.

"Berapa lama, Bu?" Tanya Biru.

"Dua Minggu." Ucap sang ibu, begitu dingin kepada anaknya sendiri.

Biru tersenyum, "hati-hati, Bu. Katanya sore ini hujan badai. Jangan lupa istirahat juga, Bu." Pesan Biru pada sang ibu. Tanpa menoleh sedikitpun, ibu pergi masuk ke dalam mobil dengan pakaian kerjanya lengkap dengan koper yang telah dirinya siapkan semalam.

Suara mesin mobil sudah terdengar, tak lama mobil itu pergi meninggalkan Biru sendirian di pintu gerbang rumahnya. Biru melayangkan senyumannya menghadap mobil ibu. Senyum yang tulus.

Sekilas ibu melihat ke arah spion, mendapati Biru yang sedang melambaikan tangannya. Ibu tersenyum namun hanya sebentar. Kepergian ibu menjadi suatu hal yang biasa bagi Biru. Bahkan sejak dirinya menginjak usia enam tahun, Biru telah terbiasa ditinggal sang Ibu. Kini Biru sendiri, tidak, Biru berdua dengan kakaknya, Diana. Namun, sang kakak tidak kunjung keluar kamar beberapa hari ini. Biru sering mendapati kakaknya di kamar, duduk di kursi meja belajarnya dengan laptop terbuka dari pagi sampai tengah malam, begitulah hasil pengamatannya.

Kali ini, tepat di hari istimewanya, Biru menghabiskan waktunya di kamar. Hari ini usia Biru mencapai 15 tahun ia hidup. Walau tak ada suasana yang ramai dan hangat, Biru tetap bisa merayakannya, dia merayakannya sendirian di kamar bersama foto sang ayah. Tiada kue ulang tahun, ucapan selamat, dan tiada hadiah yang ia terima, hanya lilin serta satu buah donat kemarin malam yang sengaja ia simpan di kamarnya tanpa sepengetahuan ibu maupun kakak.

"Selamat ulang tahun, selamat ulang tahun, selamat hari ulang tahun, ayah dan Biru." Ucapnya sambil menatap foto sang ayah, kemudian berdoa lalu meniup lilinnya. Biru tersenyum, senyumnya manis dengan mata yang ikut terpejam.

"Ayah, selamat ulang tahun. Hari ini ibu pergi dinas ke luar kota, tapi nggak papa, soalnya kondisi ibu sehat. Kak Diana seperti biasa sih, yang penting tidak melakukan yang aneh-aneh iya 'kan, Yah?" Ucapan Biru terhenti sejenak, "Kita makan donatnya sama-sama ya, Yah."

Donat dengan selai yang sudah mencair, dan terdapat satu dua semut di dalamnya, Biru potong menjadi dua. Semutnya ia buang, lalu ia memakannya di atas ranjang.

"Masih enak, padahal ini donat kemarin malam lho, Yah." Ucapnya seraya menikmati suapan donat itu. "Mmmhh!! Enak banget."

Masih sisa sepotong, Biru berniat untuk memberikannya kepada sang kakak, Diana. Ia pun bergegas menuju kamar Diana dengan membawa sepotong donat tiramisu itu. Diketuknya pintu kamar sang kakak. Tapi tak kunjung ada jawaban akhirnya Biru pun membuka paksa kamarnya. Diana tertidur, dengan selimut yang menutupi sekujur tubuhnya. Mau tidak mau, sepotong donat itu ia simpan di kulkas dan akan memberikannya di lain waktu.

Esok hari pun tiba, hari yang sepi seperti biasanya. Biru membuka kamarnya, ia melihat Diana tengah memasak di dapur. Biru menyapanya, namun Diana tidak menjawab. Biru melangkah pergi menuju kamar mandi. Di kamar mandi, dia mulai membuat sebuah skenario romantisme menggambarkan keluarga yang hangat. Ia mandi seraya berkhayal sang kakak membuatkannya bekal makan siang di sekolah, membangunkannya untuk bersiap ke sekolah dan mengajaknya bermain bersama, dia juga berkhayal jika Ibu membawanya pergi bertamasya bersama dengan sang kakak, bermain menaiki wahana ekstrem yang ada di sana.

Diana yang tengah sibuk memasak tiba-tiba, mengetuk pintu kamar mandi.
"Biru, berisik. Mandi, mandi aja jangan sambil monolog." Ucapnya yang berhasil membuat Biru berhenti berkhayal.

Setelah merasa bersih, Biru pun keluar dari kamar mandi, dan melihat kondisi dapur. Di sana tidak ada Diana, hanya ada sepiring telur ceplok dengan salad sayur, dan jus apel di atas meja makan. Seolah disiapkan untuk Biru. Lalu terdengar suara motor di depan rumahnya. Benar saja, Diana bersiap pergi ke sekolah, dan Biru lagi-lagi di rumah sendiri. Setengah jam kemudian, Biru pun menyusul sang kakak untuk pergi ke sekolah, makanan yang di atas meja tadi ia jadikan bekal untuk makan siang di sekolah. Benar, bahwasannya Biru tidak sarapan hari ini.

----------
Sedikit tentang Biru:

Biru adalah seorang remaja laki-laki yang hidup di keluarga biasa tanpa hadirnya seorang ayah. Ayahnya pergi sepuluh tahun yang lalu, tepat ketika Biru berusia lima tahun, namun meskipun begitu Biru tetap menyukai sang ayah. Dia benar-benar menyukainya, walaupun sang ayah mungkin di cap buruk oleh ibu dan kakak. Biru memikirkan sebaliknya, bahwa Ayah adalah seorang bapak yang hebat. Ayah tidak selingkuh seperti pasutri yang lainnya, ia hanya pergi mengejar karirnya dalam bidang sastra. Hanya saja, ibu tidak setuju dengan pekerjaan ayah, sehingga ibu memutuskan untuk berpisah.

Lahir di kehidupan yang keluarga serba cukup membuat Biru menjadi lebih sering diberikan barang atau sesuatu yang cukup mahal dari pada meluangkan waktu berlibur. Ibu sendiri sibuk mengurusi administrasi negara. Benar, ibu seorang pejabat yang menjabat sebagai pegawai negeri di bidang perpajakan. Meski memiliki jabatan yang lumayan tinggi, ibu sama sekali bukan orang yang tidak jujur. Ia bisa dipercaya. Biru yakin, bahkan meskipun pekerjaan ibu sedikit beresiko akhir-akhir ini, namun tetap saja ibu bekerja keras demi menghidupi keluarga kecil mereka. Tidak pernah sekalipun ibu membeli barang mahal jika ibu tidak memiliki uang yang cukup, ibu selalu membagi uang gajinya dan selalu menabung di bank, maupun di rumah. Biru tahu itu.

---------

Biru pergi ke sekolah menggunakan sepeda, awalnya ibu ingin memberinya motor guna menghemat waktu selama perjalanan dan mengurangi beban. Namun, Biru selalu menolak, dengan alasan ia belum legal. Biru sudah menginjak kelas satu SMA, sedangkan sang kakak sudah kelas tiga SMA, masa-masa terberat dalam hidupnya.

Biru memarkirkan sepedanya di tempat parkir, untung saja saat itu satpam sekolah masih memberinya izin masuk karena Biru hampir terlambat masuk sekolah, ia sampai mendekati jam gerbang ditutup. Setelah sepedanya terkunci, Biru bergegas masuk ke kelas. Sesampainya di sana, Ethan menyambutnya, merangkulnya dari belakang seraya menepuk-tepuk kepala Biru.

"Oy! Telat ya Lo?" Tanya Ethan, teman yang sejauh ini masih bertahan dengan Biru.

"Iya, kesiangan nih. Semalem marathon film soalnya."

"Lo wajib marathon the Conjuring sih kata gue."

"Hanya orang-orang gila yang mampu menonton the Conjuring."

"Penakut! Cemen Lo, Bi!"

"Iya si paling berani, hahahaha." Mereka tertawa bahagia sembari memasuki pintu kelas.

"Biru! Hari ini kamu piket tahu!! Ambilin serok sekalian buang sampah sana." Ucap Gracia sambil mentereng di hadapan Biru yang baru saja beberapa langkah masuk ke kelas.

"Ambil sendirilah, Biru kan baru dateng. Nggak ngehargain banget Lo, Gres." Ucap Ethan.

"Piket kan kewajiban siswa, ada pembagiannya ya kali yang kerja cuma beberapa. Harus kerja semualah! Gimana sih?! Situ sehat?" Ucap Gracia.

"Susah kalau ngomong sama cewek yang nggak punya empati."

"Tan, yang salah gue, tenang okay." Ucap Biru menenangkan. "Sebentar ya Gres, taro tas dulu." Lanjut Biru sambil tersenyum.

"Terlalu taat peraturan Lo, Ah!"

"Kewajiban."

"Terserah. Gue mau Mabar, ikut nggak?" Tanya Ethan.

"Soon, mau piket dulu."

"Okay."



Biru adalah sebuah cerita yang menggambarkan tentang sebuah keluarga yang dingin. Hanya sedikit interaksi yang terjadi dalam keluarga Biru. begitulah yang terjadi dalam kisah ini.

Mohon dimaklumi jika terdapat salah kata yang membuat kalian merasa tidak nyaman.
Haji shodikin ke dokter Ryan
Terima kasih dan silahkan dilanjutkan (⁠☞⁠ ͡⁠°⁠ ͜⁠ʖ⁠ ͡⁠°⁠)⁠☞

Biru Where stories live. Discover now