"Gue cuma butuh jawaban ada atau nggak, Ein. Gue ngerasa semua ini sia-sia. Gue ngerasa tinggal disini, dengan semua terapi dan obat yang dikasih, gue tetap bakalan pergi."

Alice tertunduk, dan perlahan setetes air keluar dari pelupuk matanya.

"Anjir, lo nggak boleh down gitu, Lice. Ada gue ini."

Rejo memeluk Alice dengan penuh sayang.

"Gue kecewa, Ein. Bahkan disaat seperti ini, nyokap gue nggak tau ada dimana. Dua minggu lalu katanya dia ada di L.A, terus beberapa hari yang lalu dia bilangnya ada di Costa Rica. Gue berusaha hubungin dia, mau ngasih tau kalo gue sakit, tapi dia cuma angkat telpon gue sekilas dan bilang kalo dia lagi sibuk."

"Hei, lo nggak boleh sedown itu. Nanti gue bakalan bantu lo supaya bisa ngasih tau nyokap lo. Oke?"

"Gue sayang lo, Reinhard," ujar Alice sambil membenamkan wajahnya di pundak Rejo.

Rejo tersenyum dan membelai lembut rambut Alice.

"Gue ju-"

"Lo emang temen yang baik," lanjut Alice.

Mendengar pernyataan Alice, Rejo kembali bungkam. Gue bener-bener kejebak friendzone. Batin Rejo.

***

"Dit, lo duduk bareng gue aja, ya?" pinta Glo ketika turun dari mobil.

"Gue nggak suka duduk di belakang," ujar Radit.

"Anjir. Ya udah, deh," ujar Glo pasrah.

"Ah, lo mah, bisa aja maksanya. Ya udah, yuk," teriak Radit sambil menggandeng tangan Glo dan berlari menuju kelas mereka.

"Eh, emang gue maksa? Aduh, jangan lari-lari, Dit. Elah, masih pagi ini. RADIT!" gerutu Glo disepanjang perjalanan, atau perlarian mereka menuju kelas.

Hari ini pelajaran musik. Pelajaran yang paling disukai Glo. Berbanding terbalik dengan Radit.

Glo begitu menyukai gitar dan materi mereka sekarang benar-benar gitar. Bayangkan betapa antusiasnya gadis itu untuk mengikuti pelajaran ini.

Radit? Hei, suaranya indah. Tapi ia tidak menguasai alat musik. Ia lebih memilih bernyanyi daripada bermusik. Alasannya? Mamanya adalah seorang pianis handal. Dulu, Radit benar-benar ingin menjadi pianis seperti mamanya. Namun, ketika tumor memisahkan Radit dari mamanya, ia membenci alat musik. Hanya saja, itu mengingatkannya pada masa-masa dimana mamanya melatih dia untuk bermain musik. Menyakitkan.

"Raditia?! Siapa suruh kamu ngelamun di jam pelajaran saya?!" teriak Pak Danny--guru seni musik--menggelegar.

Yang ditegur terkesiap dan meringis. "M-maaf, pak."

"Awas saja kamu kalo ketahuan ngelamun lagi!"

Setelah menegur Radit, Pak Danny kembali sibuk dengan permainan gitarnya.

Glo yang duduk di samping Radit hanya bisa memperhatikan cowok itu. Dia bener-bener nggak bisa berhenti mikirin Alice? Bahkan setelah gue berjuang sebegitu sengitnya? Anjir, kesannya kayak gue mau ngerebut Radit dari Alice aja. Racau Glo dalam hatinya.

"Minggu depan saya mau mengambil nilai praktek kalian. Ini kerja kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari dua orang. Praktek ini saya beri nama Guitar Duet. Kedua-duanya harus bermain gitar. Mau bernyanyi atau tidak, itu urusan kalian. Yang saya nilai adalah teknik bermain gitar," Pak Danny menjeda sebentar omongannya yang dikeluarkan dengan satu tarikan napas itu. "Kalian tau bahwa saya adalah guru yang malas membagi kelompok, bukan? Teman kelompok kalian, adalah-"

Stars Can't Shine Without DarknessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang