24

30 4 0
                                    

Tubuh rampingnya harus tumbang kembali ke atas busa karena tertindih badan kekar Albert. Queen meronta-ronta bak orang gila, berusaha melepaskan diri. Bibir tipisnya tak henti mengucap sumpah serapah pada pemuda itu.

"Bukankah kau bilang aku bajingan? Baik, akan kulakukan seperti yang kau mau. Menjadi seorang bajingan seperti yang kau katakan."

Albert bak orang kalap kesurupan. Ia mengoyak pakaian atas Queen dengan membabi-buta seolah telah hilang kesadaran. Sementara Queen yang hanya seorang gadis biasa tak mampu melawan kekuatan Albert. Dia seperti singa kehausan di padang gersang. Meraup dan mencabik apa yang ada di depannya.

Setitik air mata Queen menetes. Ia lelah. Tak mampu lagi melawan. Karena semakin ia berusaha mengerahkan tenaga, kekuatan Albert seakan dua kali lipat lebih besar dari sebelumnya.

Saat mulut Albert bermain di puncaknya, Queen tak mampu membendung lelehan air matanya. Ia menangis.

"Kumohon, jangan lakukan ini lagi," rintihnya.

Seperti dipukul kembali kesadarannya, Albert terkesiap. Tubuhnya ambruk begitu saja di atas Queen, seolah tak menyadari bahwa gadis di bawahnya sedang tak berdaya. Samar-samar, Queen mendengar isak tangis meski itu sangat lirih. Sudah pasti suara tersebut berasal dari Albert.

"Aku menyesal," ratap pemuda itu, masih menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Queen. "Aku sebenarnya tak ingin menyakitimu. Tapi Alex memaksaku membuat pilihan yang sulit."

Queen tak mengerti maksud Albert. Kenapa sahabatnya itu membawa nama Alex segala? Sementara air matanya sendiri sudah berhenti mengalir sejak beberapa saat lalu.

Tangan Queen bergerak bermaksud menggeser tubuh Albert dari atasnya. Sungguh itu membuatnya berat dan sesak. Tapi ujung jarinya terhenti saat Albert mengucap sesuatu yang membuatnya ternganga.

"Jika bukan karena ingin menyelamatkan mamamu, aku pasti tak kan melakukan perbuatan bejat itu. Aku tahu aku salah. Tolong jangan membenciku, Queen."

Mata bulat jernih itu membelalak. Tubuhnya tiba-tiba gemetar. Ada apa ini? Kenapa Albert membawa nama Tiffany juga dalam permasalahan mereka?

"Apa maksud ucapanmu barusan? Ada sangkut paut apa Alex dengan mama, Al?"

Untuk kedua kali Albert seperti disadarkan kembali. Ia buru-buru bangun, bangkit dari tempatnya. Queen yang mendapat pengabaian seolah tidak terima. Ia memperbaiki pakaian sebisanya dan ikut berdiri memburu Albert yang berlalu menuju dapur, mengambil sebotol air minum di sana.

"Katakan padaku, apa maksud ucapanmu tadi?"

Albert masih menghindar. Ia menaruh botol kembali ke dalam lemari es, lalu berjalan menuju kamarnya. Queen yang tak puas akhirnya ikut memburu kemana pemuda itu pergi. Wajahnya penuh rasa gusar.

"Albert, kau harus jawab pertanyaanku!" Queen menarik lengan Albert, menghentikan langkahnya. Dengan kasar, dicengkeramnya kerah leher laki-laki yang beberapa bulan lebih muda darinya itu. "Apa hubungan Alex dengan mamaku?" Matanya menyorot tajam meminta penjelasan. "Jawab aku, Albert!!!"

♡♡

Plaaaakkkk!!!!

Suara musik disco yang menghentak memekakkan telinga seolah terhenti akibat aksi barusan. Dan semua mata tertuju pada dua orang berbeda usia yang kini saling berhadapan.

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kanan Alex. Pemuda itu menoleh hendak meminta protes. Namun belum sempat bibirnya berucap, lagi-lagi sebuah tamparan mengenai pipinya yang lain.

"Ma!"

"Tutup mulutmu kalau tak ingin Mama menamparmu lagi!" Tentu saja Alex mengurungkan niat. Ia pilih menatap mamanya dengan maksud memprotes. "Dengar Alex, Mama tidak pernah mengajarimu untuk membunuh seseorang. Kalau sampai itu kau lakukan lagi, tangan Mama sendiri yang akan memberi pelajaran padamu. Camkan kata-kata Mama ini!!!"

Alex merasa tak terima. Ia berteriak kencang tak memperdulikan kerumunan orang yang mulai mengelilinginya.

"Aku tidak bersalah! Mama saja yang sudah bertindak bodoh dengan menyelamatkan laki-laki brengsek itu!"

Alexa tak menggubris teriakan putranya. Ia menyibak kerumunan orang, pilih melenggang pergi dengan sejuta perasaan yang berkecamuk.

Berlalunya Alexa, Alex mengambrukkan tubuhnya pada sofa panjang. Beberapa gadis penghibur mendekat bermaksud mendinginkan suasana hati pemuda itu. Bukannya senang, Alex justru menggeram kesal. Di usirnya semua gadis yang mengelilinginya itu dengan wajah gusar. Ia pilih mengambil sebotol wiski dan meneguknya langsung beberapa kali.

Tangannya mengambil ponsel lalu menghubungi seseorang.

"Datanglah kemari, cepat!" suruhnya tak mau dibantah. "Aku ada di club. Akan ku share lokasinya segera."

Sambungan dimatikan dan Alex kembali berkutat pada minumannya.

♡♡

Isak tangis terdengar samar-samar. Queen menyembunyikan wajah di balik lipatan tangan di atas lututnya. Ia tak percaya dengan cerita yang barusan di dengarnya. Albert sudah tak bisa menyembunyikan rahasia yang selama ini disimpannya. Mungkin ada baiknya Queen tahu yang sebenarnya meski awalnya ia ragu kalau gadis itu akan percaya. Namun cerita Albert ternyata dikuatkan oleh pengakuan Tiffany saat Queen menelponnya, meminta kebenaran.

Gadis itu tak bisa menguasai perasaannya lagi. Ia sedih dan marah dalam waktu yang bersamaan. Jika memang benar Alex adalah dalang di balik semuanya, sungguh ia akan membuat perhitungan dengan laki-laki tersebut.

"Mau kemana kau, Queen?" Albert mencegat langkah Queen yang terburu-buru. Terlihat wajahnya yang garang sarat akan amarah.

"Minggir, Albert!! Aku akan membuat perhitungan dengan anak itu!" Matanya berapi-api penuh benci.

"Tidak, Queen! Jangan bertindak gegabah."

"Lantas kau ingin aku bagaimana? Kau tahu dia hampir mencelakakan mamaku. Aku harus memberi pelajaran padanya."

"Aku mengerti kemarahanmu. Aku pun juga begitu. Tapi kita tidak bisa bertindak tanpa bukti apa-apa. Tolong dengarkan aku, semua harus kita pikirkan dengan kepala dingin." Pandangan Queen meredup. Menatap Albert dengan mata sembab. "Kita akan tetap membalas perbuatan Alex. Tapi kita akan cari bukti terlebih dahulu. Ingat, Alex bukan orang bodoh. Dia lebih cerdik dari yang kita pikirkan. Jadi kita tidak boleh bertindak sembarangan."

Sepertinya kemarahan Queen sedikit menurun. Logikanya berjalan, mungkin ada benarnya apa yang disampaikan sahabatnya itu. Jika ia sampai bertindak gegabah, takutnya akan mencelakakan dirinya atau bahkan orang-orang di sekitarnya.

Albert meraih pundak Queen. Gadis itu pun pasrah, menyandarkan kepalanya di bahu Albert. Menumpahkan semua kesedihan yang ia rasakan saat ini.

♡♡

Leo membenturkan tangannya dengan keras pada dinding beberapa kali. Melihat perbuatan suaminya, Tiffany menjerit histeris. Dipeluknya Leo dari belakang. Tangisnya pecah, membasahi punggung pria yang dicintainya.

"Aku tidak percaya kau sembunyikan masalah besar seperti itu dariku?" Leo menggeram.

"Aku tidak menyembunyikan apapun," bantah Tiffany di sela-sela tangisnya. Ia masih bertahan memeluk tubuh suaminya. "Bukankah aku sudah cerita padamu waktu itu?"

"Tapi kau tidak mengatakan semuanya. Kau hanya bilang kalau kau dihadang perampok  di jalanan," sesal Leo. "Kau tak mengatakan kalau sebenarnya kau hampir diperkosa."

Kepala pria itu tertunduk sementara tangannya mengepal kuat.

"Maafkan aku, Sayang. Aku hanya tak mau membuatmu khawatir."

Tubuh Leo berputar. Ditangkupnya wajah cantik wanita di depannya. Raut pias itu masih menyisakan keanggunan meski tanpa riasan. Leo mengecup kening istrinya lalu memeluknya erat.

"Bagaimana kalau saat itu terjadi sesuatu padamu? Aku pasti akan menyalahkan diri karena tak bisa menjaga anak dan istriku." bisik Leo terisak. Air mata Tiffany mengalir kembali, lebih deras dari sebelumnya. "Setelah ini, kau tidak boleh keluar tanpaku."

Tiffany tak bisa membantah. Itu peringatan sekaligus perintah baginya. Dia tahu, Leo adalah pria yang keinginannya tak mau ditolak. Kali ini Tiffany berjanji akan menjaga diri lebih hati-hati lagi.

~○~

Selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankannya 🙏🙏




My QUEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang