17

47 11 2
                                    

Meisya menggigit ujung kukunya, duduk dengan gelisah. Kedua alis yang saling bertaut menandakan kalau ada yang sedang ia pikirkan. Percakapan dengan Albert tadi siang membuatnya sangat bimbang. Saat ini, ia ada di antara dua pilihan. Menerima permintaan tolong Albert, atau menolaknya?

"Mei, hanya kamu yang bisa membantuku. Bukankah tadi kamu bilang kalau Alex menyukaimu? Maaf, tapi mungkin ini adalah kesempatan yang bagus untuk mendekatinya. Mencari tahu yang sebenarnya tentang Alex."

Meisya ingat, ia sempat mendorong Albert dengan wajah penuh amarah. Ia mendebat kata-kata Albert sehingga sempat terjadi pertengkaran kecil di antara mereka.

"Jadi apakah maksudmu aku harus menjalin hubungan dengannya begitu?"

"Bukan begitu. Aku tidak mengatakan kau harus berhubungan dengannya. Mungkin, sedikit akrab dengannya sudah cukup untuk mendekatinya."

Meisya menatap sengit pada Albert, "Aku tidak percaya kau berpikir demikian padaku."

"Kumohon. Hanya kamu satu-satunya orang yang bisa menolongku. Aku tidak bisa membiarkan Alex mencelakai keluargaku lagi, Mei. Aku harus tahu apa motif dia melakukan itu, sebelum membalas semua yang dia lakukan. Aku yakin, Alex melakukan bukan tanpa alasan."

Meisya menatap Albert masih dengan tatapan sengit. Meski ia sudah tahu yang sebenarnya, bahwa Alex sudah membuat celaka Albert dan keluarganya, tapi ia pikir alasan itu saja tidak cukup untuk membantu Albert. Alex adalah pemuda yang sangat Meisya  benci. Dan bagaimana ia akan mengorbankan diri dengan mendekati orang yang paling dibencinya? Keraguan masih membelenggunya. Ini sangat berat untuk seorang Meisya.

"Ada satu hal yang kau juga harus tau, Mei. Alex tak hanya ingin menyakitiku dan keluargaku. Tapi ia juga berusaha mencelakai Tante Tiffany, mama Queen."

Meisya seketika tersentak, "Apa?"

Sedikit berat hati, Albert menceritakan kisah tentang Tiffany yang hendak diperkosa oleh segerombolan penjahat. Yang pasti itu adalah orang suruhan Alex semua. Hanya saja, Albert tak mengungkap cerita tentang dirinya dan Queen malam itu. Albert sedikit berbohong dengan membelokkan sebagian ceritanya.

"Baiklah. Sepertinya aku harus membuat keputusan ini," gumam Meisya pada akhirnya.

Ia berdiri dari kursinya dan segera menyandang tas yang tergeletak di meja. Langkahnya penuh keyakinan. Keluar dengan tekad bulat.

♡♡

Dua pria itu masih terlibat pembicaraan serius. Frank, menundukkan kepala dengan kedua tangan saling bertaut di depan wajahnya. Sementara pria bertopi di depannya masih berbicara, melanjutkan laporan.

"Hanya data-data itu yang sementara bisa  kuperoleh." Orang tersebut mengakhiri laporannya sambil menyerahkan sebuah map. Frank menerimanya dengan tangan gemetar.

Dibukanya lembar demi lembar kertas di dalam map tersebut. Kepalanya menggeleng perlahan. Seakan tak percaya dengan apa yang ia lihat.

Pada akhirnya, Frank meletakkan berkas di tangannya ke atas meja kembali. Dan meraup wajahnya dengan kasar.

"Ini sulit dipercaya," gumamnya hampir tak terdengar. Terdengar helaan napas panjang darinya. 

"Baiklah, jika tidak ada yang dibutuhkan lagi, aku akan pergi," pamit si pria asing membenarkan letak topinya yang sedikit miring.

"Okay. Terima kasih atas bantuannya, Jo." Frank, berdiri dari tempatnya lalu berjalan ke sebuah ruangan. Dari sana ia keluar dengan membawa sebuah amplop coklat. "Terimalah. Ini sebagai ucapan terima kasih karena kau sudah membantuku."

Pria yang dipanggil Jo tersebut menggeleng lemah sambil tersenyum.

"Tidak, Frank. Aku membantumu bukan untuk meminta imbalan."

Disorongkan kembali amplop coklat berisi uang itu pada Frank.

"Tapi--."

"Kita adalah teman. Sudah sepatutnya aku membantu saat temanku kesulitan."

Frank menarik bibir lebar, lalu merangkul pria tersebut.

"Sekali lagi terima kasih. Aku tidak akan melupakan budi baikmu ini."

"Jangan sungkan. Kapanpun kau membutuhkanku, aku akan selalu siap membantumu." Keduanya berpelukan erat sebelum akhirnya benar-benar saling melepaskan. "Lagi pula akan tetap menyelidiki kasusmu ini, Frank. Aku curiga dengan beberapa orang yang terlibat dengan pemuda itu. Sepertinya mereka adalah segerombolan berandal yang selalu membuat onar dan meresahkan warga kota ini."

"Jika ada informasi yang kau temukan, jangan lupa menghubungiku, Jo."

"Tentu."

Jo meninggalkan Frank setelah mengenakan mantel hitamnya kembali. Tinggal Frank sendiri, terpekur dalam lamunan. Pikirannya melambung tinggi ke masa beberapa tahun silam. Samar-samar bibirnya bergumam, menyebutkan sebuah nama, "Alexa."

~~

Mata pemuda itu menunjukkan binar kebahagiaan. Bibir tipisnya mengembang sempurna, melengkapi rasa bahagia yang baru ia rasakan.

"Benar yang kamu katakan, Mey? Aku tidak sedang mimpi bukan?" Dirangkumnya jemari lentik gadis di depannya. Dan gadis itu hanya mengangguk tanpa ingin tersenyum sedikitpun. "Oh....terima kasih, Mei. Aku tahu hatimu akan luluh seiring dengan berjalannya waktu. Aku mencintaimu."

Alex mengecup singkat buku jari Meisya. Tatapannya lekat, seolah menembus manik mata gadis yang ia puja.

"Aku menemuimu hanya ingin mengatakan hal ini. Dan sekarang aku harus pergi."

Meisya menarik tangannya kembali. Ia dengan cepat menyampirkan slingbag pada bahunya, dan beranjak segera, berniat pergi.

"Kau mau pulang? Biar ku antar."

"Tidak!" Ucapan Meisya sangat cepat dan sedikit melengking. Membuat Alex terdiam seketika di tempatnya. "Maaf, mungkin lain kali saja kau mengantarku. Aku ada urusan lain hari ini," ujar Meisya segera dengan nada sedikit rendah, menyesali seruannya tadi.

"Baiklah. Tapi apa besok aku boleh menjemputmu kuliah? Please, kamu sekarang adalah kekasihku. Jadi biarkan aku melakukan tugasku sebagai pasanganmu."

Mata Meisya meredup, memikirkan permintaan Alex. Pada akhirnya ia pun mengangguk setuju sebelum memutuskan pergi dari tempat itu.

Selepas Meisya pergi, Alex tampak menghubungi seseorang.

"Beritahu kawan-kawan yang lainnya. Kumpul di tempat biasa. Aku akan traktir kalian minum sepuasnya."

Sementara itu, tanpa sepengetahuan siapapun, Meisya tergugu di dalam mobil, di balik setang kemudinya. Sesekali ia berteriak keras, meluapkan emosi dan rasa kecewanya.

"Aaaaarrrrggghhhhhhh!!!!!"

~~

Albert terkejut ketika menjumpai papanya berdiri dengan satu kaki di depan unit apartemennya.

"Papa? Sejak kapan Papa ada disini? Dan kenapa tak menghubungiku?"

Dengan segera ia membuka pintu dan menyuruh Frank masuk.

"Ada yang mau Papa bicarakan denganmu, Albert. Tapi Papa tidak mau mamamu dengar masalah ini. Itulah sebabnya Papa kemari." Frank duduk berseberangan dengan putranya.

"Ada masalah apa, Pa?" Kening Albert berkerut, penasaran.

"Ini tentang pemuda itu. Alex." Frank menatap Albert dengan wajah tegang. "Sepertinya Papa tahu siapa dia sebenarnya. Dan kenapa dia sampai mengganggu keluarga kita."

"Jadi siapa Alex sebenarnya?" desak Albert tak sabar.

Frank terdiam sesaat, tidak langsung menjawab. Hanya bola matanya saja yang masih terus menatap Albert tanpa berkedip.

"Alex adalah--,"

~○~

Hayo siapa Alex??



My QUEENWo Geschichten leben. Entdecke jetzt