"Ajma masih belum inget sama masa lalunya?" Tanya Kazam menatap Albi.

"Belum, Mas juga bingung harus bagaimana. Sudah beberapa kali Ajma menjalani pengobatan tapi, dia masih belum bisa inget juga sama almarhum keluarga kandungnya. Kata dokter, mungkin karena benturan keras yang pernah di alaminya pasca gempa bumi itu, membuat ruang ingatan di otaknya mengalami masalah" jelas Albi.

"Tapi menurut aku si ada hikmahnya juga dia lupa sama masalalunya. Kalo semisal dia inget, bukan gak mungkin dia akan mengalami trauma karena kejadian yang menewaskan anggota keluarganya itu" Albi dan Kazam mengangguk-angguk setuju dengan pendapat Ikrar.

"Percayalah walaupun Ajma bukan anak kandung Umi tapi, aku rasa dia itu anak kesayangannya Umi. Aku tau Umi pengen banget punya anak perempuan tapi pas lahiran Allah malah ngebrojolinnya Aku. Mau punya anak lagi tapi Umi udah gak muda lagi. Aku inget banget Umi tuh seneng banget saat Abi bawa Ajma kerumah.

Aku juga seneng si punya adik perempuan walaupun yah... Ngeselin. Tapi gak papa, gini-gini aku juga sayang kok sama Ajma. Sengeselin apapun dia, kalo dia pergi dari keluarga kita aku rasanya gak rela. Kalo dia ada yang ngejahatin aku juga marah, kalo dia terluka aku juga khawatir. Naluri Kakak itu akan selalu ada walaupun kita tidak sedarah"

"Tumben bijak" sindir Kazam dengan raut tak berubah.

"Iya dong, gue gini-gini juga bisa menyampaikan perasaan dan ekspresi Gue. Gak kek lo Mas. Sedih datar, bahagia juga datar. Fungsi ekspresi buat muka lo apa si?"

"Di simpan untuk momen yang tepat" balas Kazam dengan senyuman smirk sekilas.

"Momen? Momen apaan? Momen pas lo di tanya Man Robbuka?"

Kazam menjitak kepala Ikrar cukup keras hingga membuat sang adik mengeluh kesakitan.

"Jahat lo Mas" kesal Ikrar. Kazam tak membalas hanya diam dengan kedua tangan terlipat.

"Mas Albi pulang dulu ya udah sore takut Mbak Tisa nungguin" izin Albi dengan mata menatap jam tangan silver di pergelangan tangannya.

Albi memang tak tinggal di ndalem melainkan Ia punya rumah sendiri yang letaknya berada di komplek perumahan yang letaknya berada tak jauh dari ponpes ini. Karena Albi disini menjadi seorang pengajar Ta'lim Muta'lim jadi, Ia lebih sering berada di ndalem. Ia berada di rumah paling hanya malam dan hari Jum'at saja karena di hari Jum'at mata pelajaran agama di sore hari libur jadi Ia tak datang untuk mengajar.

"Hati-hati Mas"

****

Ajma membanting tasnya ke atas kasur sambil berdecak sebal.

"Mas Kazam tuh kenapa si kayaknya gak suka banget sama aku. Apa dia gak setuju ya waktu Abi ngadopsi aku. Soalnya waktu pertama aku kesini cuma Mas Kazam yang kayaknya gak seneng sama kehadiran aku. Tadi pas aku mau cium tangan, dia malah ngehindarin tangannya buat aku sentuh"

"Padahal, cium tangan hanya untuk menghormati orang yang lebih tua asalkan tidak ada syahwat kan gak masalah. Toh, dia juga guru aku walaupun hari ini belum ngajar di kelas aku" celoteh Ajma entah kenapa rasanya masih dongkol.

Btw author di sini ambil dari pendapat di bawah ini ya.

"Perihal jabat tangan seorang laki-laki dengan perempuan muda bukan mahram, ulama Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali dalam riwayat pilihan, serta Ibnu Taimiyah memandang keharamannya. Tetapi Ulama Madzhab Hanafi memberikan catatan keharaman itu bila perempuan muda tersebut dapat menimbulkan syahwat. Sedangkan Madzhab Hanbali mengatakan, keharaman itu sama saja apakah jabat tangan dilakukan dengan alas seperti pakaian, sejenisnya, atau tanpa alas."

Different Brother✔Where stories live. Discover now