Dengan ragu, Nada mengangguk. Binar netranya yang resah kembali bersitatap dengan kelereng hitam sekelam malam milik mantan suami. Sebelum kemudian ia embuskan napas pasrah. "Iya, Bang."

Dan Oka menggunakan kesempatan itu dengan sangat baik. "Bunda tahu kenapa Abang setuju kalau Bunda kerja di tempat Ayah?"

Ketika bunda memberinya gelengan, Oka menarik napas. Ia benar-benar terlihat dewasa sebelum waktunya. Namun, memang seperti itulah yang terjadi. Ia tidak menyukai keributan, tapi Lova adalah sumber kebisingan itu. Ia benci menjadi cengeng, namun Lova memiliki sifat itu di dalam dirinya. Saat Lova memiliki tak peduli pada apa pun yang terjadi disekelilingnya, maka Oka kebalikannya. Ia terlampau jeli. Ia terlalu peka. Bila selama ini ia memutuskan sebagai si pendiam, maka izinkan kali ini, ia tumpahkan semua.

"Paling nggak, di sana nanti Bunda nggak akan dilecehkan sama bos Bunda," ungkapnya jujur. Karena hal itulah yang paling mengganggunya. "Ayah bakal jadi atasan Bunda di kantor. Jadi, Bunda nggak akan pernah lagi nerima penghinaan hanya karena Bunda nggak punya suami. Karena, Ayah sendiri yang udah bikin Bunda kayak gitu."

Saat tatap mata Aksa bertemu dengan pendar serius di iris putranya, Aksa tahu bahwa Oka tak sekadar ingin memberinya kesempatan. Namun juga sebuah hukuman. Aksa tak keberatan. Ia akan menerima apa pun yang saat ini tengah disodorkan anaknya.

***

"Jadi nanti kita pindah sekolah juga, Bang?"

Hari telah berganti, Lova kembali menggunakan pita dan bando berwarna-warni.

Kali ini, bandonya secerah matahari. Sementara ikat rambutnya sewarna darah yang menyala. Ia juga menambahkan gelang persahabatan di kedua pergelangan tangannya, berwarna hijau dan biru. Yang satu berukir nama Mila dan yang satunya lagi nama Fera. Tak lupa, ia menyandang tas baru yang begitu ia idam-idamkan. Ayah yang membeli, dan Lova mengenakannya dengan senang hati.

"Lova, yang ngajarin kamu pakai kaus kaki kayak pemain bola itu siapa sih?" Oka sudah menahannya sedari seminggu belakangan ini. Namun rasanya, ia sudah tidak kuat lagi menahan diri. "Kamu makin centil, ya?"

"Iissh, Abang apaan deh?" Lova mendengkus sok galak. "Udah jangan bahas kaus kakiku. Ini lagi ngetren tahu nggak sih, Bang?" ia melihat kaus kakinya yang memenjara bagian kakinya hingga bawah lutut dengan pendar bangga. "Pokoknya, aku, Mila sama Fera ibarat tokoh tiga serangkai kayak Douwes Dekker, Dr. Cipto Mangunkusumo, sama Ki Hajar Dewantara," kikik Lova melantur ke mana-mana. "Cuma, kami persi ceweknya, Bang."

Ada banyak perumpamaan yang bisa dikutip untuk menggambarkan sebuah persahabatan.

Ada banyak tokoh-tokoh dunia yang bisa diambil dalam menggambarkan persahabatan.

Namun Lova dengan pikiran absurdnya, memang tak bisa ditebak.

"Hm, bingung deh, Bang," mendadak saja, Lova malah mendesah bak orang tua. "Mila sama Fera pasti sedih kalau aku pindah sekolah," bibirnya mengerucut. Membayangkan berpisah dengan teman-temannya membuat ia terserang perasaan galau. "Tapi, tinggal di rumah ayah adalah koentjie," imbuhnya tergelak sendiri. Karena kakaknya mana mau mengikuti suasana hatinya. "Galau deh," ketika mengembuskan napas bahunya merosot. "Abang galau nggak sih?"

"Galau karena mau ninggalin Mario?" celetuk Oka santai. Terkesan mengejek sebenarnya.

"Iiihhh! Abang apaan sih?!" seru Lova sebal. "Kok tiba-tiba ke Mario? Ck, yang bener aja deh, Bang," cebiknya sok imut. Padahal, ia sedang mati-matian menahan bibirnya yang hendak mengulum senyum simpul. "Abang jangan suka nyebarin gosip nggak bener, iiihhh!"

"Halah," Oka melirik kembarannya itu sekilas saja. Sebab kini, netranya terpaku pada sebuah sedan hitam berkilau yang terparkir tepat di depan gerbang sekolah. Ada sosok laki-laki berpakaian rapi yang keluar dari mobil itu, namun bukan seseorang yang dikenal Oka. Tetapi entah kenapa, nalurinya mengatakan bahwa keberadaan mobil tersebut ada sangkut pautnya dengan mereka. "Kamu kenal, Dek?"

Aksara SenadaWhere stories live. Discover now