"Mau?"

"Aku temui anak-anak dulu," Nada melepaskan cekalan lengannya. Ia sedikit membungkuk untuk melepas sepatu. Barulah setelah itu ia mulai melangkah. Berusaha tidak mengamati tempati ini, tetapi Nada tak mampu menepikan kenangan yang kembali membanjiri ingatan. Ruang tamu di apartemen ini menyimpan banyak momen berharga. Walau tak lagi hanya berisi karpet dan televisi saja, namun segalanya tampak familiar dalam ingatannya.

Anak-anak mereka memulai langkah pertamanya di tempat ini.

Mengawali panggilan untuk mereka pun di sini.

Ketika Nada tak sengaja melirik ke sisi kiri tempat di mana dapur berada, ia mengeratkan rahang kala memori itu menggulungnya bak ombak di lautan.

"Lova!"

Namun, ia buru-buru tersentak mendengar seruan putranya. Sembari menggelengkan kepala, ia berjalan menuju sumber suara. Langkah terburunya kemudian melambat, saat menyadari bahwa keributan itu berasal dari pintu kamar yang terbuka.

Kamar mereka.

Ah, maksud Nada dulu.

Sentuhan di punggungnya buat Nada menoleh. Buat langkahnya yang tadi memelan, langsung terhenti. Dari balik pundak, ia mendapati Aksa berada tepat di belakangnya. Bak sebuah bingkai, mereka adalah lukisan resah dari sebuah kanvas abstrak yang menyimpan banyak cerita. Walau guratnya terlihat tak sejajar, namun keduanya pernah menari dalam kuas yang sama.

"Anak-anak nunggu kita, Nad."

Kita?

Lagi-lagi Aksa seolah ingin mengikatnya dengan kata sakti itu. Membuat Nada seakan-akan masih miliknya. Apalagi, ketika tangan di balik punggungnya mulai mendorong pelan tuk memasuki kamar yang dulu pernah menjadi tempat peraduan. Magnet masa silam, berhasil menjeratnya. Saat telapak kaki Nada, mulai memasuki ruang di mana mereka pernah tak hanya mengukir kisah tetapi juga memanjatkan semoga. Kenangan itu bertubi-tubi menghantam ingatan.

Rupanya, di masa lalu mereka pernah saling mencinta.

Ternyata, di saat itu mereka tak punya keinginan tuk berpisah.

Tak ingin tenggelam dengan nostalgia yang membentang di depan mata, Nada menutup matanya sejenak. Mengisi paru-parunya dengan udara yang ia tarik perlahan, Nada berhasil menepikan kenangan itu dalam sudut terdalam. Tanpa membiarkan netranya tertuju pada ranjang yang membentang, Nada berjalan ke sisi kiri. "Abang?" panggilnya pada sang putra.

"Bunda?" Oka menghampiri bundanya. "Bunda beneran datang gara-gara Lova?"

Nada menarik sudut bibirnya ke atas. Kepalanya mengangguk, seraya mengusap bahu anaknya penuh sayang. "Abang kok teriak-teriak sih?"

"Abisnya, Lova nyebelin banget, Bun," adunya masih dengan mimik kesal. "Bunda percaya kalau perut dia berdarah? Berdarah dari mana coba, Bun? Orang tadi di resto dia baik-baik aja."

Tersenyum geli, ekor mata Nada justru melihat mantan suaminya yang tengah meringis. "Ya, udah, biar Bunda yang ngomong sama Adek, ya? Abang sama Ayah keluar dulu."

Oka mengangguk dengan mudah. Ia pun pergi dari kamar itu tanpa payah.

Namun, Aksa tidak demikian.

Ia tetap bertahan di sana.

"Mas, sana dong," Nada mengusirnya.

Tetapi Aksa menggeleng. "Aku deg-degan, Nad," akunya jujur. "Tapi, aku mau nemenin kamu di sini aja."

Melihat kecemasan di mata laki-laki itu, Nada tahu Aksa pun perlu diyakinkan mengenai keadaan putri mereka. Jadi, ia pun mengalah. Ia mengangguk tanpa ragu, kemudian bersama-sama menuju pintu kamar mandi yang menyimpan putrinya di dalam sana.

Aksara SenadaWhere stories live. Discover now