"Diem," ucap Carvon saat melihat Cavella hendak mengeluarkan suara begitu selesai menelan nasi gorengnya. "Mangap," titahnya seraya menyodorkan sesendok nasi goreng di depan mulut Cavella.

Berhubung ia yang hanya meminum susu saja, dengan senang hati Cavella menerima suapan demi suapan dari Carvon.

"Itu apa?" tanya Carvon menunjuk paperbag di sisi lain meja.

Cavella ikut menatap paperbag itu. "Sama, nasi goreng juga. Buat Gara," ujar gadis itu kembali menatap Carvon.

"Gara?"

Cavella mengangguk. "Gara. Lo harus kenalan nanti," ucapnya.

Carvon menaikkan alisnya. "Harus?" tanyanya datar.

"Haruslah," sahut Cavella. "Gara itu temen kecil aku, anaknya kayak Vino. Cuman enggak player aja," jelas gadis itu.

Carvon berdehem tanpa minat. Cowok itu menyuapkan sesendok nasi goreng terakhir. Sebelum kemudian beranjak berdiri untuk meletakkan kotak makannya pada wastafel. Tanpa menoleh lagi, Carvon melangkah keluar dari ruangan. Sepertinya cowok itu akan berangkat, mengingat ia juga mengambil kunci mobilnya.

Cavella yang melihat itu mengerjapkan matanya. "Ini gue gak diajak?"

- ᴏʙꜰᴜꜱᴄᴀᴛᴇ -

Cavella yang memang sengaja membawa dua kotak makanan, yang dimana salah satunya akan ia berikan pada Gara, untuk itu Cavella menyempatkan mampir ke apartemen cowok itu sebelum ke kampus.

Cavella tak sendiri, nyatanya ada Carvon yang mengantarnya. Mereka menunggu di basement apartemen.

"Gara kok lama sih?" gerutu Cavella. Mereka sudah menunggu sejak 15 menit lalu, tetapi cowok bernama Tenggara belum juga datang.

Carvon yang duduk di kap mobil menghela napas. "Duduk, Cave. Gak usah kek orang bisulan," ujarnya melihat gadis itu yang sedari tadi berdiri.

Cavella mendengus. Gadis itu membalikkan tubuhnya, berniat untuk ikut duduk bersama Carvon. Namun, baru saja satu langkah, suara langkah orang berlari mendekat terdengar.

"Cavella," panggil Gara yang baru saja tiba. Napas cowok itu terlihat tersengal-sengal.

Cavella menatapnya kesal. "Lama ih," sungut gadis itu.

Gara meringis pelan. "Anying, gue tadi lagi mandi."

"Idih, masa mandi bawa hp? Lo mau live?"

"Sembarangan lo."

"Terus ngapain bawa hp?"

"Ya suka-suka gue," balas Gara.

Cavella mendengus. "Ya ya ya ya." Gadis itu menarik tangan Gara untuk mendekat pada Carvon. Gara yang melihat keberadaan 'kekasih' Cavella itu seketika melempar tatapan tak suka.

"Kalian harus kenalan," ujar Cavella tersenyum.

Sebagai bentuk menghargai Cavella, Gara mengulurkan tangannya. "Tenggara," ujarnya begitu uluran tangannya disambut Carvon.

Carvon menatap datar Gara. "Carvon," ujarnya lalu menyudahi acara salamannya.

Gara kemudian beralih pada Cavella. "Mana nasi gorengnya?" tagih cowok itu.

"Ah iya." Cavella segera membuka pintu mobil yang memang tak terkunci, lalu mengambil paperbag dari sana dan menyodorkannya pada Gara. "Ini."

Gara tersenyum menerimanya. "Thank you, my beautiful ex," ujar cowok itu mengusak puncak kepala Cavella. "Gue balik ya," pamitnya sebelum kemudian melenggang pergi.

Carvon yang mendengar ucapan Gara terkekeh. "Ex?" ulangnya menatap Cavella.

Mendengar itu, Cavella dibuat meringis. Gadis itu memilin ujung bajunya. "Iyaa," ujarnya pelan.

"Iya?"

Cavella menelan ludahnya. "Dia emang temen kecil gue, cuman kita pernah pacaran. Itu pun, udah lama," jelas gadis itu.

Carvon menghela napasnya. Tanpa bicara lagi, cowok itu beranjak masuk ke dalam mobil. Cavella yang melihat itu seketika menyusul masuk.

Di dalam mobil pun, Cavella memilih diam menatap Carvon yang memasang wajah super datar. 

"Seatbelt."

Cavella menatap bingung, sebelum paham maksud cowok itu. "Ah iya."

Setelah memastikan Cavella memakai seatbelt, Carvon pun mengendarai mobilnya meninggalkan basement apartemen itu.

- ᴏʙꜰᴜꜱᴄᴀᴛᴇ -

Cavella hanya mempunyai satu kelas hari ini. Setelah selesai kelas, gadis itu kemudian beranjak ke arah kafetaria kampus. Dimana yang lainnya berada sekarang.

"Woi Cave!"

Teriakan itu menjadi penyambut Cavella saat baru memasuki kafetaria. Gadis itu dapat melihat teman-temannya di meja pojok. Segera Cavella melangkah ke sana.

"Cepet amat kelas," ujar Cavella mendudukkan dirinya di kursi kosong.

"Gue gada kelas sebenarnya, cuman nganter Avrill aja," ujar Baron.

Di meja itu hanya berisi empat orang termasuk dirinya, Baron, Deon, dan Elva.

"Waduh ceritanya jadi suami yang baik," sambar Deon.

Baron mendengkus. "Diem deh, Yon. Mending lo nikah," ujar cowok itu yang membuat Deon spontan memaki cowok itu.

Elva yang sebelumnya hanya menjadi penonton menjadi ikutan kesal. "Apa sih nikah-nikah mulu, lo aja yang nikah," ujarnya kesal.

"Gue udah nikah, Elva. Tinggal buat dedek bayi," sahut Baron.

Cavella mengernyit. "Emang belum?"

"Tiap malem juga buat," jawab Baron.

"Anjing."

Baron tertawa keras mendengarnya. "Lagian lo cemen amat, Yon. Digertak dikit nurut," ujar cowok itu yang membuat Deon berdecak.

"Gue tuh menghormati," ujar Deon. Jika dia kurang ajar, bisa-bisa ditarik restunya. "Lagian kan orangnya dah tua juga," sambungnya tanpa dosa.

Elva yang mendengar itu sontak memukul kepala Deon. "Heh!"

"Aduh!" seru Deon meringis. Pukulan Elva cukup kencang. "Sakit loh, Va. Lagian juga faktanya gitu," ujarnya yang sedikit melirih di akhir kalimat, tetapi tak menutup bahwa Elva mendengarnya.

"Gue aduin lo," ujar Elva mengancam.

"Eh, jangan dong," panik Deon. "Ntar kita makin gak nikah-nikah."

"Gak ama lo, ama yang lain juga bisa," timpal Cavella.

Deon mendelik. "Bisa? Iya, bisa gue bantai," sungut cowok berdarah sunda itu.

"Sok iye amat lo."

"Gue teh anak pejabat," ujar Deon memasang wajah songongnya.

"Bangsat," umpat Baron tertawa kecil. "Pejabat kang korupsi," tambahnya.

"Cok, bapak gua gak korupsi!!"

- ᴛᴏ ʙᴇ ᴄᴏɴᴛɪɴᴜᴇᴅ -

𝐎𝐁𝐅𝐔𝐒𝐂𝐀𝐓𝐄 : 2CWhere stories live. Discover now