bagian dua puluh empat // dia, tangguh

Start from the beginning
                                    

Usai Jihan pergi menuju dapur, pandangan Maya pun berpindah pada Zefran. "Eh, Zef, waktu itu Bu Dina sempet ninggalin lampu emergency di kosan, 'kan? Seinget gue nggak dibawa pulang lagi waktu itu. Semoga deh, gawat juga kalau nggak. Bu Dina kan, lagi nggak ada di rumahnya sekarang."

"Hm, seinget gue disimpen Luki di kamarnya," sahut Zefran sekenanya.

"Oh, gitu? Gue samperin dulu deh, tuh anak."

Maya pun turut masuk ke dalam, tepatnya menghadang Luki yang baru saja menuruni tangga sebelum akhirnya ia dengan malas kembali ke kamarnya untuk mengambil dua buah lampu emergency.

Setelah meninggalkan teras, Zefran menghampiri Erga dan Jihan yang berada di dapur.

"Gimana, Han? Udah mateng?" tanya laki-laki itu pada Jihan.

Jihan menoleh, lalu mengangguk pelan. "Untungnya udah, Kak. Kak Zef mau makan sekarang?"

"Boleh, tapi mending bareng yang lain aja. Kita nggak tau juga mati listriknya sampe jam berapa."

"Kalau makan bareng sekarang, enaknya di atap nggak, sih? Biar lebih enak aja suasananya gitu," timpal Erga, menyumbang ide.

"Eh, boleh juga ide lo, Ga. Kayaknya udah lama juga kita nggak kumpul di atap."

"Udah lama kata lo? Tapi nggak bagi gue ya, Kak, karena gue kan masih terbilang penghuni baru kayak Kak Linka."

Mendengar nama Linka disebut, sekonyong-konyong Zefran pun baru tersadar bahwa ia memang belum melihat batang hidung gadis itu sejak ia tiba di lantai bawah--sebab fokusnya tengah berada pada hal lain. Dan, tentu saja ia bukan satu-satunya. Maya dan Jihan yang kamarnya berdekatan saja bahkan sampai melupakan satu penghuni perempuan lain di sana. Yah, Zefran pun yakin kalau mereka bukan sengaja melakukannya.

"Jihan, Linka masih di kamarnya?" tanya Zefran tanpa pikir panjang.

Benar saja dugaan Zefran. Ekspresi Jihan tak jauh berbeda saat ia baru ingat bahwa dirinya tengah menanak nasi. "Eh, astaga, gue beneran lupa sama Linka, Kak." Ada jeda sesaat. "Tapi, seinget gue Linka nggak ada keluar dari sebelum mati listrik. Apa mungkin tidur ya, Kak?"

Zefran tergeming sesaat. "Gue cek dulu," katanya. Lalu ia pun lekas saja beranjak menuju depan pintu kamar Linka.

Lelaki itu lantas mengetuk pintu dan memanggil seseorang yang berada, "Linka?" Ketika hanya hening didapat, ia pun kembali melakukan hal serupa. "Linka, kamu tidur?"

Tak lama setelah itu, suara Linka akhirnya terdengar. "Ng-nggak, Kak. Bentar ... aku lagi nyari HP aku yang tadi jatuh."

Tanpa sadar, Zefran kontan mengembuskan napas lega sebab Linka baik-baik saja. "HP kamu jatuh? Mau aku bantu cari, nggak? Kamu bakal susah nemunya kalau gelap begini."

Linka tak membalas.

"Linka?"

"Ah, nggak usah, Kak ... kayaknya tadi aku sempet megang."

"Tapi lebih baik kalau aku--"

"Udah ketemu!"

"... beneran? Syukur kalau gitu. Sekarang kamu keluar dulu, Linka."

Lagi-lagi Linka tak membalas. Alih-alih suara sang gadis, Zefran malah menangkap bunyi tempat tidur yang digeser. Lalu tak lama setelah itu, langkah kaki terdengar, dan pintu pun akhirnya terbuka setengah.

Sinar dari flash ponsel Zefran membuatnya dapat melihat wajah Linka dengan jelas. Ia tercenung sejenak ketika mendapati bagaimana wajah itu tampak agak pucat. Namun, Linka masih bisa menyunggingkan sebuah senyum kecil kala sepasang netranya beradu dengan milik Zefran. Laki-laki itu pun mengembuskan napas panjang, kemudian diraihnya tangan Linka yang terasa dingin dengan lembut. Ia lantas menariknya keluar dan menutup pintu kamar.

See You After Midnight [PUBLISHED]Where stories live. Discover now