5

89 20 26
                                    

Tiupan angin sepoy-sepoy menerpa wajah tampan itu, Danzel menengadah ke langit, merasakan setiap hembusan angin menyentuh kulit wajahnya. Membayangkan sosok gadis kecil yang dia rindukan saat ini berada di sampingnya, dengan ungkapan seperti apa lagi yang harus dia berikan untuk menunjukan perasaan rindunya.

"Nggak takut masuk angin lo?"

Pertanyaan itu mampu membuyarkan lamunan Danzel, "Perasaan gue aja atau lo emang ngikutin gue," ucap Danzel melirik sekilas ke arah Vanka lalu kembali menatap langit.

"Ngikutin," Vanka tersenyum, menghela napasnya ringan, "Lo nggak ingat gue ternyata."

Danzel mengerutkan keningnya, apa dia mengenal Vanka? bukankah Vanka adalah murid baru di sekolah mereka. Perasaan nyaman apa ini kenapa berada di samping Vanka seperti menghadirkan sosok yang dia rindukan.

"Zel.." panggil Vanka.

"Lo mau denger cerita gue nggak?" tanya Vanka, yah walau sebenarnya dia belum terlalu dekat dengan Danzel apalagi mereka bertemu hanya lewat kebetulan saja.

"Nggak."

Vanka memukul lengan Danzel kasar, "Ish, lo dengerin pokoknya."

"Maksa." walau begitu Danzel tetap ingin mendengar cerita Vanka, entak apa yang akan gadis itu ceritakan tapi perasaan nyaman apa ini? 

"Dulu gue punya sahabat mereka kakak beradik, namun satu ketika kejadian buruk menimpa si adik hingga membuat dia pergi untuk selamanya. kejadiannya tepat  10 tahun yang lalu, dan lo tau nggak apa yang lebih parah? gue di tuduh ngebunuh sahabat gue sendiri."

Danzel membelalakkan matanya seperti tau siapa yang Vanka ceritakan, wajahnya memerah menahan amarah. tangannya terkepal bersusah payah tidak melampiaskan pada gadis di depannya itu, 10 tahun gadis itu menghilang dan sekarang tiba-tiba muncul lalu berdiri dihadapannya.

"Lo? ngapain lo di sini? nggak puas buat gue kehilangan adik gue ha!!" bentak Danzel, sungguh dia sekarang sedang mati-matian menahan emosinya.

Vanka sudah memperhitungkan resiko apa yang akan dia hadapi jika mengatakannya, jujur 10 tahun menjalani hidup dengan cap pembunuh sangat berat baginya.

"GUE BUKAN PEMBUNUH!!" teriak Vanka.

Tubuh Vanka bergetar mendengar kata pembunuh yang selalu dilontarkan kepada dirinya, pembunuh? sungguh tidak masuk akal baginya apalagi dia tidak pernah berniat jahat pada sahabatnya.

"Ezel..." Vanka menatap ke arah Danzel dengan mata berkaca-kaca, "Gu-gue nggak pernah  berniat untuk jahatin Ely, gue sayang dia dan hal paling mustahil untuk gue lakuin adalah ngebunuh sahabat gue sendiri," badannya melemas terlalu banyak tenaganya yang terkuras.

Ada perasaan kasihan serta benci terpancar dari manik hitam milik Danzel, dia pun ragu apa iya Vanka membunuh adiknya? fakta bahwa dia tidak melihat kejadian itu membuatnya frustasi siapa yang harus dia percayai. Saat kejadian itu hanya ada pamannya yang menjadi saksi pembunuhan adiknya yang mengatakan bahwa Vanka lah yang melemparkan boneka milik Ely ke kolam renang.

"Kalau memang benar buka lo, lantas siapa?"

"Alasan gue kembali adalah mencari pelaku sebenarnya dan membersihkan nama gue dari cap pembunuh," ujar Vanka.

"Lo nggak punya bukti, bakalan susah buat nyari kebenarannya," mereka tidak punya bukti satupun, satu-satunya bukti yang ada saat itu hanya saksi bahkan kamera cctv di rumahnya saat itu sedang diperbaiki sehingga kamera yang mengarah ke kolam renang tidak ada.

"Ada satu bukti yang selama ini lo nggak pernah tau."

***

Kantin SMA Angkasa dipenuhi siswa siswi yang mengisi kekosongan di perut mereka, karna yang kosong hatinya kan kamu.

"Mang Dedeku sayang," panggil Deon dengan nada genitnya yang ternengar mengelikan di telinga para sahabatnya.

"Sabar ya Mas Deon, Aa Dede masakin buat yang lain dulu," jawab Mang Dede meniru suara Deon.

"Kok jadi merinding ya," Deon merinding sendiri mendengar respon Mang Dede seharusnya dia saja yang boleh bersikap seperti itu Mang Dede dilarang ikutan.

"Makanya lo nggak usah bertingkah, tau kan rasanya gimana kalau orang lain denger lo kek gitu," ejek Cakra.

Danzel yang berada di meja paling ujung hanya memperhatikan tingkah dari para sahabatnya, melihat Danzel yang sepertinya sedang banyak pikiran membuat Darel menghampiri sepupunya itu, "Lagi banyak pikiran ya?"

"Dia kembali."

"Siapa?" tanya Darel penasaran siapa yang kembali.

"Baby Zi."

Mendengar nama itu Darel terkejut sudah sangat lama dia tidak menengar nama itu tapi sekarang katanya dia kembali. "Ngapain dia muncul, lo jangan deket-deket dia om Argan pasti akan marah besar mengetahuinya."

"Nggak, kali ini gue butuh bantuan kalian buat bantuin gue ada hal penting yang harus gue buktiin, ada yang nggak beres disini," tatapan Danzel tertuju pada pintu masuk kantin, Vanka yang menyadari tatapan itu tertuju pada dirinya lantas menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. 

Mengalihkan pandangannya dari Danzel, Vanka memilih mencari meja yang terlihat masih kosong agar dia dan ke dua temannya dapat makan di sana, belum lama Vanka, Clara dan Megan duduk tiba-tiba seorang perempuan dengan dandanan yang cukup menor, seragam yang sudah ketat seperti tidak layak pakai lagi ditambah rambut ombre miliknya.

"Siapa yang nyuruh lo duduk di sini," tanya Elsa si cewek berambut obre itu.

"Maaf yah, perasaan gue dan teman-teman gue yang duluan duduk di sini dan oh satu lagi gue nggak liat nama lo disini jadi udah jelaskan ini meja umum," Clara yang memiliki mulut pedas tidak dapat menahan dirinya apalagi pada Elsa.

Keributan yang mereka ciptakan lantas membuat semua mata yang berada di kantin saat itu tertuju ke arah mereka, tidak terkcuali Danzel dan para antek-anteknya. Deon yang sedang tertidur karna kekenyangan mie ayam tanpa ayamnya itu pun terbangun, dia paling tidak suka jika jam tidurnya terganggu. "Siapa wanita berwajah pulu-pulu itu, mulutnya butuh bimbingan les."

Deon menghampiri Elsa dan Megan yang masih sibuk beradu mulut masih dengan topik yang sama perebutan meja kantin, "Pergi nggak lo sebelum gue habis kesabaran," titah Deon menatap tajam Elsa. Dia kenal cewek itu, dimana ada kekacauan disitu ada Elsa.

Elsa yang mengetahui Deon yang merupakan salah satu anggota inti Tiger itu memilih untuk pergi. Berurusan dengan mereka sama dengan cari mati sendiri. "Cabut," ajak Elsa kepada Vina dan Rea yang merupakan temannya itu.

Deon melihat Megan dengan tatapan yang sulit diartikan, "Cantik," gumamnya.

"Boleh tau nama lo?" Deon mengulurkan tangannya menunggu balasan uluran dari Megan.

"Megan," jawabnya tanpa menerima uluran tangan Deon dan kembali duduk di samping Vanka.

Para anggota Tiger yang melihat itu menertawakan dirinya, "Dek balik papa nyariin nih," ejek Cakra sambil teriak. Alhasil Deon kembali dengan wajah muram dan perasaan malu.

Mengabaikan para teman-temannya sibuk mengejek Deon, Danzel pun berjalan menghampiri Vanka. Tindakan tiba-tiba Danzel mampu membuat anggota inti Tiger kebingungkan, pasalnya baru pertama kali mereka melihat ketua mereka itu menghampiri seorang gadis. Vanka pun dibuat bingung seingatnya dia tidak membuat kesalahan yang membuat Danzel marah.

"Pulang bareng gue. Nggak ada penolakkan," setelah menyelesaika kalimatnya Danzel pergi meninggalkan kebingungan pada Vanka dan teman-temannya.

Di parkiran Danzel sudah menunggu kehadiran Vanka setelah mengajaknya pulang duluan dia langsung menuju parkiran, jaga-jaga siapa tau Vanka melarikan diri. Bel pulang sudah berbunyi 10 menit yang lalu beberapa siswa pun sudah banyak yang pulang menyisakan beberapa siswa saja.

Lima menit menunggu Danzel pun melihat Vanka yang sedang menuju ke arahnya, "Mau ngapain?" tanya Vanka.

"Kata lo, lo punya bukti soal kematian Ely."

"Hmm punya, terus?" tanya Vanka yang masih dibuat bingung.

"Mulai skarang lo harus kerja sama bareng gue, itu pun kalo lo mau nama lo kembali bersih."

"Okey deal."

DANZELWo Geschichten leben. Entdecke jetzt