Chapter 30

78.4K 3.7K 222
                                    

Aku melihat Sean yang tertidur disampingku dengan damai, aku tersenyum sambil membelai wajahnya dengan lembut, perlahan-lahan aku bangkit dari tempat tidur, aku sudah mempersiapkan segalanya, aku hanya tinggal menunggunya tertidur agar aku bisa menyelinap pergi. Aku memakai mantel hangatku kemudian mengeluarkan ranselku yang sudah terlebih dulu kusembunyikan, aku melihat wajahnya lagi, aku menguatkan diriku sendiri agar aku tidak terlalu terbawa perasaan dengan semua ini. Kudekatkan wajahku padanya lalu kukecup keningnya dengan lembut, sebelum aku keluar dari kamarnya dan juga keluar dari kehidupannya untuk selamanya.

Sesampainya aku dibandara tiba-tiba saja semuanya jadi terasa lebih berat, aku mencengkeram passport milikku dengan erat juga untuk meredam telapak tananku yang gemetaran. Aku duduk untuk menunggu penerbanganku sesekali aku melihat jam tanganku.

"Ashley?" jantungku rasanya berhenti ketika aku mendengar seseorang menyebutkan namaku, ketika aku menoleh ke asal suara itu, aku melihat Daniel disana, dengan mantel biru gelap juga dengan ransel dipunggungnya. Reflek aku langsung berdiri karena keterkejutanku, kulihat dia juga sama-sama terkejut ketika dia melihatku.bahkan selama beberapa menit kami masih  saya terdiam satu sama lain, itu karena kami seolah-olah tidak bisa mengatakan apapun lagi.

"Apakah kau berniat untuk pergi?" dia membuka percakapan, aku tersenyum sedih lalu mengangguk pelan, aku merasa seolah aku tidak memiliki tenaga lagi untuk menyangga tubuhku sendiri, jadi aku memutuskan untuk duduk. 

"Apa yang terjadi Ashley?" dia kembali bertanya sambil mengambil tempat duduk di sebelahku.

"Disana bukan tempatku dan tidak akan pernah menjadi tempatku" aku kembali tersenyum miris lalu menundukkan kepalaku.

"Kenapa selalu tersenyum?, kenapa kau selalu pura-pura tersenyum bahkan ketika keadaannya menjadi lebih buruk?" dia berkata kata-katanya seolah-olah menusuk dadaku, air mataku menggenang di kelopak mataku, aku mencoba untuk menahannya sekuat tenaga, dulu aku tidak secengeng ini, aku heran kenapa belakangan ini aku jadi sering menangis, aku bahkan pernah melewati yan lebih buruk dari ini, tapi kenapa rasanya sakit sekali ketika meninggalkannya, tapi akan lebih menyakitkan lagi kalau tetap bersamanya.

"Aku... aku tidak akan pernah bisa bersamanya, dengan semua masa laluku, juga dengan pernikahan dalam keluarganya, aku tidak bisa melakukannya, ini pasti menyakitkan untuknya tapi ini juga menyakitkan untukku" aku berujar serak, suaraku gemetar karena menahan emosiku.

"Keluarga Blackstone memang sangat menggelikan, aku juga memutuskan untuk pergi dari sana"

"Kau juga menyelinap keluar?" tanyaku sambil mengusap air mataku yang meleleh menjatuhi pipiku. Dia tersenyum miris lalu menggeleng.

"Awalnya aku berniat untuk menyelinap keluar, tapi pada akhirnya aku sadar bahwa aku sedang diawasi, nenekku sedang mengawasiku dari jendela kamarnya ketika aku menyelinap keluar dari mansion, dan dia tidak melakukan apapun, dia hanya diam dan melihatku pergi" raut wajahnya terlihat terluka dan menderita, bahkan kata-katanya pun terdengar sangat menyedihkan, aku menyandarkan kepalaku pada lengannya mencoba untuk menghiburnya.

"Memang menyakitkan menjadi anak haram, aku tahu bagaimana rasanya" aku berujar padanya dengan lembut, aku bahkan menghiburnya ketika perasaanku sendiri sedang kacau, tapi kupikir tak apa-apa, dia terlihat lebih membutuhkannya dari pada aku.

"Kau mau menceritakan apa yang terjadi?" aku bertanya lagi padanya, aku merasakan dia menghela nafas panjang lalu menghembuskannya pelan, dia bertingkah seolah dia akan menjawab soal yang paling sulit didunia.

"Aku mengikuti pesta yang mereka adakan" tiba-tiba saja aku teringat pesta itu, aku memang tidak menghadiri pesta itu bersama Sean karena kami sedang berada di Bahama saat itu.

Forever MineWhere stories live. Discover now