O7 | Kita Di Masa Lalu

70 16 5
                                    

Kita Di Masa Lalu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kita Di Masa Lalu

———

Di ujung tangga, Ezra terduduk sendirian. Angin malam tak membuatnya kedinginan. Sudah hampir satu jam lelaki itu duduk di sana. Sebenarnya tidak berniat, tapi menikmati indahnya pemandangan kota Depok tidak bisa ia tolak.

"Kenapa gue harus gak inget apa-apa?" Dia tidak bisa menahan pertanyaan itu lagi. Akhirnya ketika sendirian, ia menyuarakannya.

Ezra tak berharap mendapat jawaban, sebab ia juga tak akan pernah bisa mengerti rencana Tuhan. Namun seseorang di belakangnya menjawab.

"Gue bisa bantu lo."

Lelaki itu menoleh, hanya untuk terdiam cukup lama karena menemukan kehadiran Clara.

"Diego mana?"

"Tidur," jawabnya singkat, lalu menoleh pada si pria. "Gue bisa bantu lo nemuin jati diri lo lagi."

"Gimana caranya?"

"Ya kita telusuri pelan-pelan."

"Gimana kalau... di tengah penelusuran itu gue tiba-tiba… hilang?"

"Hilang?"

Ada perasaan tak nyaman ketika Clara menatapnya begitu. Itulah mengapa ia menjawab seraya menatap bentangan langit di depannya. "Gue kayaknya udah meninggal, Cla."

"Hah? Kenapa lo bisa berpikiran gitu?!"

Reaksinya mudah dipahami. Makanya sebelum menjawab, Ezra menghela napas panjang. "Tadi dada gue sakit. Bagian jantung. Entahlah, tapi setiap gue ngerasain sesuatu, gue selalu punya pikiran kalau waktu gue gak banyak lagi." Lalu ia menoleh pada wajah Clara, tersenyum getir. "Lo tahu manusia yang baru meninggal dikasih waktu 40 hari buat tinggal di dunia? Awalnya gue gak percaya, tapi sekarang gue mengalaminya. Udah mau 2 minggu, Clara, kalau sampai gue—"

"Lo belum meninggal. Lo belum bisa pegang apapun."

"Gimana kalau trik itu gak berlaku buat gue?"

"Ezra—" sungguh sangat tidak terduga, tapi mata Clara berkaca-kaca. "Kenapa gue harus ketemu lo lagi ketika lo berbentuk makhluk?"

Tak bisa menyuarakan itu, akhirnya yang bisa Clara lakukan hanyalah menggeleng keras seraya menyeka wajah. "Lo inget gak kalau lo anak tunggal?"

"Nggak," jawabnya tanpa pikir panjang. Sadar ada kejanggalan, kepalanya berpaling ke samping kanan. "Lo tahu keluarga gue?"

Clara mengangguk. "Papa gue kenal papa lo. Mereka teman." Kita juga, tapi lo gak inget. Ia melanjutkan dalam hati.

"Jadi?"

"Biar gue telepon dulu." Clara buru-buru mengeluarkan ponsel. Hanya butuh dua kali dering hingga panggilan luar negerinya tersambung. "Halo, Pa?"

"Ini saya."

The Cure | Mark Lee ✓Where stories live. Discover now