Part 14 : Siapa Korbannya

42 2 0
                                    

Terkadang aku bingung kenapa manusia selalu ingin mendapatkan sesuatu secara instan, selalu iri dengan apa yang berhasil orang lain raih. Namun, melupakan semua hal yang telah orang itu lewati selama prosesnya. Apa dengan bisa mendapatkannya secara instan, seseorang bisa merasa berbangga diri?

Satu-satunya orang yang dia bohongi adalah dirinya sendiri, kan? Usaha dan pencapaian apa?

Kalau semua keinginan manusia itu bisa diraih dengan mudah, lalu untuk apa mereka hidup? Untuk tinggal menikmatinya saja? Sesuatu yang diterima tanpa usaha apa-apa rasanya seperti menadah air dengan kedua tangan. Kita tidak benar-benar ingin memiliki atau menyimpannya. Kita hanya menerima dan membuangnya tanpa perasaan bahagia sama sekali.

Tidak berkesan.

Tidak istimewa.

"Tidak mungkin Ibu melakukannya. Ibu sudah memiliki semuanya. Suami yang baik, anak berprestasi. Pasti ada alasan lain. Benar, tidak mungkin seekor ayam hanya diciptakan untuk menjadi bahan sesajen." Aku menggelengkan kepala dan membuang semua rasa curiga.

"Kayaknya harus lebih spesifik deh nulisnya," gumamku. Tangan ini mulai menekan beberapa huruf di keyboard dan menambahkan keterangan tiga kepala tikus di bar pencarian.

"Mira."

Suara panggilan Ayah dari luar kamar membuatku panik. Dengan buru-buru aku tekan tombol power di CPU. Kuraih sisir karena memang sejak tadi rambutku belum dirapikan.

"Udah selesai? Oh ... lagi sisiran. Cepet ke bawah, ya. Kita sarapan sama-sama. Ibu sama Kak Hadi udah nunggu." Aku memaksakan senyum dan mengiakan ajakan Ayah. Padahal aslinya tangan ini gemetaran sekali memegang sisir. Kulirik monitor dan CPU sudah benar-benar mati.

Pintu kamar ditutup dan langkah kaki ayah terdengar menuruni tangga. Aku segera keluar menuju ruang makan.
Langkahku di atas tangga terhenti saat tiba-tiba Ayah membukakan pintu di ruang tamu untuk seseorang. Ya, aku juga dengar suara belnya. Temannya mungkin. Aku hanya melirik sebentar ke arah mereka. Ayah sedang bicara dengan seorang laki-laki yang terlihat masih muda. Wow, ganteng.

Aduh, aduh, aduh. Mending cepet ke ruang makan, deh. Peduli amat Ayah bicara sama siapa.

Di meja makan sudah ada Kak Hadi dan Ibu. Ibu sibuk di wastafel, sih. Mencuci beberapa alat masak yang baru saja digunakan sepertinya. Tidak kutemukan rebusan panci yang ditindih genteng dan batu seperti sebelumnya. Coba nanti kutanyakan langsung saja, deh.

"Kenapa, Yah?" tanya Kak Hadi pada Ayah yang baru saja tiba. Aku duduk di meja makan dan Ibu menyiapkan sepiring nasi beserta lauk ikan disambal. Kulirik wajah Ayah yang ditekuk. Ada apa?

"Warga tadi ngabarin Ayah baru aja nemuin jenazahnya Tresno di dekat sungai." Ayah menarik kursi dan duduk di atasnya. Bukannya malah bagus kalau sudah ketemu, keluarganya jadi tidak khawatir lagi, kan? Yah ... walau jadinya malah sedih berkelanjutan.

"Ya ampun ... lagi? Turut berduka cita, Yah." Ibu duduk di sampingku dan juga Ayah berada di tengah-tengah kami. Meja makan kami tidak besar. Berbentuk bundar dengan empat kursi. Biasanya aku hanya akan makan di kamar sambil belajar, tapi mumpung sekarang ada Kak Hadi yang jarang pulang ke rumah, kami jadi makan bersama di sini. Aku juga tidak berangkat ke sekolah.

"Iya, makasih, Bu. Ayah sama Cecep beberapa hari ini dibuat repot dan kewalahan banget, haah ...."

Cecep kakaknya Idah itu? Masih kerja ternyata. Katanya mau lanjut sekolah perawat ke jenjang yang lebih tinggi? Entahlah.

"Kok ngehela gitu, Yah?" tanya Kak Hadi lagi. Aku bergantian menatap dua orang laki-laki di rumah dan keluarga ini. Tidak terasa nasi di piring sudah habis saja.

"Ayah ngerasa ganjil."

"Ganjil?"

Aku mulai menaruh atensi pada topik pembicaraan mereka berdua. Ibu juga menyimak tapi mulutnya terus mengunyah makanan beserta kerupuk udang sebagai pelengkap.

"Ganjil kenapa, Yah?" Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak ikut nimbrung obrolan mereka. Meski malah dihadiahi cubitan di lengan kanan dari Ibu.

"Sakit, Bu!" protesku dengan nada penuh penekanan meski bervolume rendah.

"Kalian ingat, gak? Pertama kali datang ke sini ... kita hampir diusir keluar sama bapak-bapak desa sini yang ngerasa dirugikan sama klinik praktek Ayah." Kami bertiga kini terdiam mendengarkan Ayah yang mulai bercerita.

Aku menerawang jauh ke masa lalu. Tidak lama, sih. Baru setahun lalu saat keluarga kami baru pindah ke sini. Aku ingat memang ada beberapa warga yang sampai meneror Ibu dan melempar rumah kami dengan batu. Mereka tidak ingin Ayah buka praktek di sini. Padahal, Ayah itu membuka pengobatan dan pelayanan secara gratis. Menggaji Bang Cecep juga dari uang pribadi.

Setahuku masalah itu sudah selesai, deh. Aku tidak tahu alasan mereka menentang keras kedatangan kami itu apa, karena pada saat itu aku disuruh fokus saja pada ujian kenaikan kelas di sekolah lama. Kak Hadi juga sedang persiapan semester baru di kampusnya.

"Hmm ... aku kurang ingat." Segera kubangkitkan diri menuju wastafel untuk mencuci piring yang telah digunakan.

"Walau gak semua, tapi orang-orang yang ditemukan meninggal beberapa hari ini itu ... dulu adalah orang-orang yang mengusir kita."

****

Bersambung

MISTERI ORANG HILANGحيث تعيش القصص. اكتشف الآن