Part 2 : Perkemahan Sabtu Minggu

208 9 0
                                    

MISTERI ORANG HILANG
EPISODE 2

****

"Udah diambil, Mir?" tanyanya. Aku mengangkat tinggi-tinggi tas bekal di tangan. Idah mengangguk senang sambil mengangkat miliknya juga. Kedua tas kami kontras. Punyaku adalah tas bonus dari pembelian seperangkat alat makan bermerk yang tahan panas dan dingin. Idah menenteng plastik kresek berisikan sebungkus nasi dan lauk-pauknya. Tidak masalah, itu sebabnya aku meminta ibu menyiapkan tiga bekal sekaligus agar bisa dimakan bersama.

Kita berdua mulai melangkahkan kaki menyusuri jalan setapak desa ini yang belum menggunakan aspal. Untung musim kemarau, jalan jadi lebih kering meski terdiri dari tanah liat dan tanah merah. Sekolah kami tidak berdiri di depan jalan besar atau jalan utama. Letaknya di dalam dan dekat hutan. Karena sekolah itu menyimpan banyak buku pelajaran, pemerintah ingin lokasinya aman dari longsor dan banjir. 

"Kamu kenal Pak Tanto gak, Mir?" celetuk Saidah. Tidak terasa kami sudah memasuki kawasan sekolah.

Dahiku mengerut. Tidak kenal sih, tapi Idah punya sesuatu untuk diceritakan. "Kenapa emangnya?" 

"Dia ditemukan meninggal di jalanan tahu, tadi pagi. Mama aku yang bilang waktu aku pulang tadi," jelasnya. Aku membelalak. Meski tidak kenal, tapi kata mati di jalanan tetap saja terdengar ngeri. Desa ini luas. Tidak mungkin aku kenal satu per satu penduduknya. Kasihan.

"Meninggal kenapa?" tanyaku penasaran. Kami sudah duduk di gerombolan kelompok yang kunamai menggunakan nama bunga dari negeri asalnya, Sakura.

"Hah, siapa yang meninggal?"

"Eh, siapa-siapa?" 

Beberapa teman yang sudah duduk di sana mendahului aku dan Idah ikut penasaran dengan ucapanku barusan. 

Idah segera duduk. Kami menundukkan sedikit kepala agar berkumpul dan menempel. Mungkin akan repot jadinya bila ada orang lain yang ikut mendengar. Diskusi bisik-bisik ini bisa berubah menjadi gosip publik. 

"Pak Tanto, ayahnya Syamsul. Katanya mati gitu aja di tengah jalan, ditemuin sama petani lewat yang mau ke pasar," bisik Idah memulai ceritanya. Kedua temanku, Ria dan Olla ikut mendelik mendengarnya. 

Kami berempat saling pandang. Sesekali aku melinguk ke belakang untuk memastikan tidak ada anak lain yang mendengar obrolan kami. 

"Innalillahi ... ketabrak?" Olla menebak. Idah langsung menggeleng.

"Bukan ketabrak. Badannya tuh, gak apa-apa gitu. Gak ada luka apa-apa."

"Terus kenapa? Serangan jantung? Masuk angin duduk?" Ria ikut menimpali. 

"Nah, kayaknya sih salah satu dari itu. Tadi udah dilayat. Kayaknya nanti Syamsul gak bisa ikutan persami, deh." Idah menegakkan duduknya. Kami mulai melepaskan tangan yang tadi saling merangkul. Ria masih penasaran dan terus berpikir. 

"Aneh gak sih kalo tiba-tiba?" Ria mencoba mendapatkan anggukan dari kami.

"Kalau udah umur mah, mau bilang apa coba?" ujar Olla. Benar juga. Aku jadi merasa kasihan dengan Syamsul. Ternyata Pak Tanto adalah ayahnya. Teman sekelasku yang juga merangkap sebagai ketua kelas. Tiba-tiba aku jadi merasa bersalah terhadapnya. 

"Eh, eh, eh! Aku baru ingat! Syamsul yang nembak kamu itu kan, Mir?!" pekik Idah. 

"Ah, jangan ungkit lagi, plis. Seharusnya kita berbela sungkawa buat beliau dan keluarga yang ditinggalkan," kilahku. Momen yang tidak tepat untuk membahas persoalan cinta monyet anak SMA. Ketua kelompok kami dan beberapa anak lain mulai berdatangan. Acara persami kami benar-benar akan dimulai sebentar lagi.

***

Jurit Malam. Acara inti dari seluruh rangkaian jadwal persami hari ini. Kami dibagi menjadi dua orang dua orang untuk perempuan dan satu orang saja untuk laki-laki. Tiap orang akan memasuki hutan untuk mengambil sebuah tanda bendera di atas sana. Tiap pos akan ada pembina yang berjaga. 

Kedatangan seorang anak perempuan berseragam pramuka yang telah lusuh turun dan terjatuh tepat di depan pembina yang tengah berbicara mengagetkan seisi sekolah. Kami yang berbaris rapi dan ada di bagian belakang jadi penasaran dan memaksa melihat ke depan. 

Aku bisa melihat anak perempuan itu ketakutan. Bukankah itu anak kelas tiga, ya?

"Loh, loh, loh? Kamu ngapain ndeprok(2) di situ? Kenapa lari-lari begitu? Baju kamu kenapa?" ujar pembina yang sudah berkepala tiga di depan kami. Wajahnya terlihat sekali sedang marah. 

"Pak! Pak! Teman saya, Pak! Teman saya mati!" 

Bersamaan dengan padamnya lampu sekolah, kami dibuat kaget dengan perkataan kakak kelas kami itu. Hijabnya yang hanya dikunci dengan jarum pentul tidak lagi beraturan. Rambutnya menyembul keluar.

"Loh kok mati lampu?" 

Semua gelap dan jam sudah menunjukkan hampir tengah malam. Ada yang meninggal di tengah hutan sana dan sekarang mati lampu. Entah mengapa, setiap anak di tempat ini langsung saling pandang. Mereka bisa merasakan adanya hal yang tidak beres tengah terjadi.

****

Bersambung 

MISTERI ORANG HILANGTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon