Murami diary

1 0 0
                                    

Deraian air mata terjatuh, hatiku pun kian dihujam kesedihan. Aku tidak menyangka, ini adalah senyuman terakhir darinya. Sebelum paras Lin ditutupi kain putih, kucumbu kening wanita yang pernah aku cintai itu dengan lembut.

"Selamat tinggal, kekasih. Aku harap kau bahagia di alam sana."

Taburan bunga segar hiasi satu lahan penuh sebuah makam. Aku elus nisan marmer yang tergurat nama Lin di atasnya. Memikirkan Lin membuat batinku goyah. Akulah yang seharusnya mati, bukan dia. Tanpa keraguan sedikitpun, ia malah menangkal kematianku, namun justru ia yang terluka. Bagiku Lin tidak akan pernah mati, karena ia akan selalu bersinar di pangkal hatiku.

Pandanganku berpaling ke kanan, ke arah Aya yang terlukis kesedihan. Baginya Lin adalah kakak yang mengajarinya cara bertahan hidup. Lin tidak mempunyai sanak saudara selain kami. Sejak kecil ia tinggal di panti asuhan, dan karena prestasinya yang gemilang ia mampu meraih beasiswa ke Amerika. Kini, semua hak waris kekayaan Lin akan diserahkan kepada Aya. Sesuai janjiku pada Lin, aku akan menjaga Aya seperti melindungi adikku sendiri.

Dari arah belakang, tiga gurat bayangan memakan kelabu bayanganku. Kellyn, Joseph dan Park Nam, mereka mengajakku untuk lekas pulang. Aku pun bangkit, sambil menunggu Aya yang sebentar lagi selesai berdoa. Mata Kellyn menyorotiku dengan tatapan manis. Mataku dengan miliknya sempat beradu pandang, namun kami tidak saling bicara. Tiba-tiba Park Nam menarik tanganku, membawaku ke sebuah pohon yang tidak begitu jauh dari sana.

"Galih, siapa gadis itu?" tunjuknya pada Aya. Wajah Park Nam memerah, rupanya ia terpikat dengan gadis berambut poni itu. Ia pun senyum-senyum sendiri, setelah semua informasi mengenai Aya aku beberkan.

Kami kembali ke makam, sambangi teman-temanku untuk segera beranjak dari sini. Aku dan Aya masuk ke mobilku, sementara yang lain pulang masing-masing.

"Kudengar dulu ayahmu pembisnis kaya. Sebenarnya ia membuka bisnis apa ya?" ujarku mengajak Aya berbincang, sekaligus memusatkan perhatian ke depan saat mengemudi.

"Oh, perusahaan elektronik. Namun kami hampir bangkut sebelum mendapat bantuan dari Amerika. Oleh karenanya kakakku bersekolah disini untuk membangun kembali bisnis ayahku." jelas Aya sebagaimana adanya.

Kusibak tirai mataku lebar-lebar. Perkataan Aya tadi membuat otakku berkontraksi lebih keras. Alur kehidupan yang Kei tempuh sangat mirip dengan perjalanan hidupku sekarang. Bangkut, bersekolah di Amerika, lalu membangun kembali bisnis orang tuanya adalah pola-pola kehidupan yang serupa denganku. Tiba-tiba saja denyut otakku kembali meronta. Kini kompas kecurigaanku mulai menunjuk Tuan Taylor. Batinku berkata bahwa keluargaku dan keluarga Murami adalah beberapa korban kelicikannya. Ia merencanakan semua kebaikan itu demi mendustai kami. Supaya seakan-akan dia tampil sebagai seorang pahlawan. Ya, aku harus segera melepas topengnya. Rantai kejahatannya harus diakhiri sekarang juga. Aku tidak ingin orang lain mengalami nasib buruk yang sama denganku.

Benakku terkencar lagi, berpikir bagaimana cara buktikan bahwa Tuan Taylor-lah dalang di balik semua kejahatan ini.

Sesaat, aku dan Aya sampai di Lin's Bread. Mataku menangkap wajah toko yang berlara, sedih karena pemiliknya sudah tiada. Aku melangkah dengan berat menuju dapur. Aku ingat, disini kami berdua sering bercanda. Menghabiskan bentangan waktu dengan tawa. Sedikit terasa aneh saat akhir-akhir ini aku tidak bersama dengannya.

Aku keluar dari dapur, membuang sejenak semua kenangan tentang Lin. Kusambangi Aya yang tengah memasukan segala peratalan milik Lin ke dalam kotak-kotak kayu. Mereka terlalu pahit untuk dilihat, menatapnya saja sudah membuatku tenggelam dalam lautan kesedihan.

"Diary itu, diary yang diberikan padamu adalah diary kakakku. Disana tergores dosa-dosa keluarga Hall." jelas Aya sekejap, "Itulah the monopoly secret sesungguhnya, kunci dari kematian kakakku dan juga kakaknya Joseph."

Monopoly Game SecretWhere stories live. Discover now