7. Lexia Quest Dramatis (2)

0 0 0
                                    

Tidak pernah tertanam dalam benak Lexia, rekan setimnya mampu menerbangkan puluhan full plate goblin. Sei sangatlah kuat dari manik mata Lexia, dan untuk sesaat dia terpukau dengan pesona tampan Sei. Lexia hanya berdiam diri, dia paham jika ikut mengambil peran maka dia hanya membebani Sei. Lama sebelum tornado itu mereda, Sei kembali mengeluarkan skill yang sama. Mereka berhamburan diatas udara tanpa bisa berkutik sama sekali.

Puas memainkan mereka, Sei membumbui tornado itu dengan fireball supaya menciptakan damage. Tidak tanggung, fireball beruntun melesat agar supaya mereka mati semuanya. Mereka mati semua dengan tubuh terbaring lalu pecah menjadi partikel, menyisakkan drop loot saja. Sei melangkah mendekat untuk mengambil exp dan gleir yang nanggung.

Ketika itulah Lexia merasakan cipratan experience dengan kenaikkan level 1 ke angka 2, berkat bantuan Sei. Ia benar benar minim pengalaman, makanya Lexia tidak pernah naik level sebelumnya. Sei menyerang lagi warga desa dengan tidak ada ruang kompromi sama sekali. Ia tidak mau membiarkan dirinya berbalas ucapan, untuknya itu sangat membuang waktu.

Setidaknya dari membunuh setengah populasi desa, reputasi Sei dimata npc dari yang nol, berkurang minus seratus. Itu menyedihkan, artinya dia akan dibenci oleh npc mulai dari ini. Belum lagi akan sulit berbisnis dengan npc nantinya, ditambah penalti tanda player buruk itu, kapan pun dia mati maka berkemungkinan mengeluarkan 50% item dalam inventory secara acak setiap kali mati.

Sei? Ia tetap fokus meratakan para goblin didesa ini. Sepanjang itu pula Lexia hanya berdiam, menunggu Sei menyelesaikannya. Meski sudah puluhan rumah terbakar ludes, sebagian mereka masih bertahan dengan percaya diri. Ini yang ia tak paham, mengapa tidak kabur saja? Untuk menyelamatkan diri, kalian harus kabur. Tetapi sebagian npc itu mematung, lirikan tajam tertuju pada Sei. Apa yang salah dari Sei? Ia hanya menyelesaikan quest, sebatas itu.

Sebagian npc bergerak mendekati, berlari kemudian untuk membunuh Sei. Ini lucu untuk Sei, seperti mengartikan mereka berlari menerjang kematiannya sendiri. Tentu saja ledakan fireball seketika menghanguskan pria itu hidup hidup.

Dengan gagah perkasa, Sei pun mendekati salah satu mereka. Ucapan yang dia tanyakan, ialah bertanya dimana letak para budak dikurung? Tentu semua bungkam. Ia sudah memprediksi respon itu, makanya kali ini bukan dengan kata tapi kekerasan.

Pertama Sei mengikat dulu setiap goblin yang tak mau bicara tadi. Kedua, ia mengikat semua kaki goblin tanpa terlewat satupun. Ketiga, Sei mengikat mereka saling terikat satu sama lain, agar ketika salah satu lari maka semuanya terjatuh. Sebuah ide brilian, yang menghancurkan mereka saat itu juga.

Sei mengangkat rambut salah satu goblin wanita, memotong lidah wanita itu didepan banyak mata, sengaja demi Sei mengukir ketakutan pada mereka.

"Apa kalian mau berakhir seperti dirinya? Jika tidak, jawablah pertanyaanku!" Sei kini meninggikan suara, dengan wajah yang masih tidak berkerut sedikitpun. Ia tidak marah tidak juga emosi, semata demi memberikan kesan kalau dirinya bersikap serius saat ini. Aslinya Sei bermuka dua, mereka hanya tidak tahu saja.

Salah satu goblin yang ketakutan berupaya berdiri dan bersuara, tetapi temannya menutup mulut goblin itu. Melihat itu Sei tersenyum penuh kebencian, dia tidak suka ketika seseorang menghalangi rencana mulusnya. Sei membujuk bocah goblin itu berbicara lagi, namun mulutnya terlanjur bungkam. Tidak puas dengan ini, Sei memegang tangan teman si bocah dan mematahkannya.

"Sudah kubilang, jawablah, dimana letak lokasi ruang bawah tanah yang ras kalian buat untuk memperbudak ras manusia, jika masih bungkam maka tanganmu lah selanjutnya."

Bocah itu langsung bergetar ketakutan, mulutnya lancar mengatakan semuanya. Diketahui oleh Sein, misal ruangan bawah tanah itu terletak di salah satu rumah desa ini. Semua yang melihat langsung marah pada si bocah itu. Untuk menambah kesan apik, Sei pun memiliki inisiatif agar bocah itu menjadi samsak tinju oleh mereka semua.

"Kalian semua berdiri, jika tidak akan kubunuh!"

Semua orang yang mendengar langsung berdiri. Kemudian Sei berbicara lagi. "Kalian semua harus memukul bocah ini, dan pukulan yang terlemah akan kubunuh detik itu juga, cepat lakukan!"

Mendengar ucapan Sei, mata bocah goblin itu langsung kosong tak percaya. Semua orang setuju, dengan tawa bernafsu untuk meninju bocah itu. Tidak diragukan lagi kalau wajah bocah itu babak belur tanpa sedikitpun dirinya bisa melawan.

Berulang kali mereka melayangkan tinjunya, ke bocah itu. Ia yang terdampak, cuma diam tidak protes sama sekali. Begitulah ras goblin ketika dipukul ketidakberdayaan, mereka meyakini takdir itu bukan sesuatu yang perlu ditakuti namun dianggap seperti teman. Tak lama bocah itupun mati, sungguh tragedi yang tragis untuknya.

Sei sendiri sudah memprediksi akan begitu hasilnya, acuh tak acuh pergi ke tempat yang disebut bocah itu, ruang bawah tanah tadi. Menuruni tangga, Sei merasakan deja vu. Sei bertanya, apakah semua ruang bawah tanah goblin bentuknya selalu seperti ini? Rata rata, menuruni tangga dengan penampakan koridor panjang, untuk Sei itu membosankan. Belum juga bertemu ujung koridor, Lexia sudah mendahului dirinya. Sei menghela napas, dirinya tidak mau gadis itu mati sia sia, iapun ikut berlari. Tanpa becot, para penjaga yang menghadang langsung mati saat berhadapan dengan Sei. Kunci pun terjatuh dari mayat salah satu penjaga, Lexia mengambil itu untuk nantinya bisa digunakan membuka pintu sel. Lexia sangat teliti mengecek ruangan demi ruangan, dia hanya menggunakan kunci itu untuk adiknya sendiri.

"Kakak!"

Senyuman Lexia terukir setelah dirinya mendengar suara adiknya itu. Iapun membukakkan sel untuk membebaskan adiknya, tidak dengan para tahanan lain. Menurut Lexia, biarlah sebagian dari mereka tertahan disini. Tidak ada gunanya menolong mereka, sekalipun dia ingin, tapi lihatlah Sei yang menjadi salah satu contoh nyata bahwa pertolongan pun tak selalu dibalas dengan indah. Fokusnya adalah Asley, dia sangat senang bertemu adiknya itu lagi. Setelah berpelukan lama, Lexia pun melepaskan pelukan itu. Entah bagaimana, sudut bibir Asley terlihat monyong, menatap ke arah lain sambil beranggapan kalau Sei adalah tunangan Lexia. Entah traumatis apa yang dia alami, sampai berfantasi begitu.

Setiba diluar lagi, Sei sudah tidak berminat tuk memperdulikan para goblin toh quest sudah selesai. Jadinya para goblin itu dia bunuh, demi secuil exp dan gleir.

Dengan itu pula Sei dan Lexia bersalaman tangan, untuk memisahkan diri satu sama lain dari sekarang. Itu Sei sendiri yang menginginkannya, sebab Lexia sudah tidak lagi memberi quest. Itu memang disayangkan, namun sekalipun Lexia ikut dia tak ubah sekedar menjadi beban. Terpenting saat ini, Sei sudah mendapatkan cukup banyak exp dan gleir, untuk gleir dia jadikan pundi rupiah natinya.

Serinian OnlineWhere stories live. Discover now