"Mas Fery, yang ini aja 'kan yang dicetak?"

Suara itu ....

Aksa melongokkan kepala ke dalam. Di meja paling ujung, ditempati oleh Mas Fery. Pria muda berkacamata yang didengar Aksa juga sedang menjalankan program S2. Namun, jelas saja bukan Mas Fery yang membuatnya terpanah. Melainkan sosok gadis muda yang beberapa waktu lalu sempat membuatnya penasaran.

"Nada?" gumam bibirnya tanpa sadar.

Mbak Gita yang berdiri di depan Aksa langsung tertawa. Matanya menatap Aksa dengan kerling jenaka. "Guys, kita dapat bala bantuan baru nih, buat foto kopi sama nyari-nyari file lama. Yuk, Sa, mulai kerja aja. Itungan lembur kok, Sa, tenang aja."

Sejenak, Aksa terdiam.

Ia memandang Mbak Gita dan teman sekelasnya itu bergantian. Respon keduanya sangat berbeda. Bila Mbak Gita tak ada habisnya dalam memulas senyuman, teman sekelas Aksa itu justru tetap diam. Bahkan, tersenyum pun tidak.

"Beneran, Sa?"

Pertanyaan Pak Iwan yang berusia beberapa tahun di bawah sang ibu menyentak Aksa dari lamunan. Namun, ia tak serta merta menjawab. Tatapnya mengarah pada teman sekelasnya yang pendiam. Sorot mata gadis itu hanya mengarah sekilas saja padanya tadi. Selebihnya, gadis itu benar-benar bersikap biasa.

"Gimana, Sa?"

Aksa mungkin sudah gila, tetapi demi Tuhan, gadis itu benar-benar membuatnya penasaran. "Oke, Mbak. Gue 'kan, anak yang berbakti. Udah jelaslah, gue bakal bantuin Mami di sini," selorohnya tertawa. "Jadi, jobdesk pertama gue apa nih, Mbak?" tanyanya bersemangat.

"Oh, bantuin Nada nyusun ulang berkas-berkas di ruang penyimpanan, ya, Sa?"

"Sip, Mbak!" Aksa mengangkat jempolnya tinggi-tinggi. "Ruang arsip 'kan?" tanyanya basa-basi.

"Iya," Gita sudah tertawa geli. "Eh, tapi kamu kenalan dulu dong sama partner kamu, Sa," ia berjalan mendekati Nada. "Nad, ini Aksa. Sekarang, dia bakal bantuin kamu di sini. Dia anak hukum juga kok, Nad. Kalau ada tugas, semisal kami-kami di sini nggak bisa bantu kamu, kamu bisa diskusi sama Aksa, Nad."

"Bener, Nad," timpal Aksa tanpa diminta. "Eh, kita belum kenalan, ya?" ia mengulurkan tangan tanpa tahu malu. Pura-pura saja tidak saling mengenal. Padahal, nama lengkapnya saja pun Aksa sudah tahu. "Aksa," katanya memperkenalkan diri. Senyumnya tampak berbinar-binar. "Kayaknya, kita pernah ketemu sebelumnya, ya?" ia berpura-pura mengerutkan kening tuk berpikir.

Menghela napas jengah, Nada akhirnya mengalah. Ia balas uluran tangan pemuda di depannya sembari menyebutkan namanya. "Nada."

Tak lagi sekadar teman sekelas.

Kini, mereka partner dalam bekerja.

Dan semesta telah memulai langkah, tuk mengikat mereka dalam sebuah romansa yang tak mudah.

***

Jangan pernah larang mendung gelap tuk menumpahkan hujan. Hal itu juga berlaku, untuk hati pekat yang dirundung gelisah. Biarkan ia menangisi semua. Supaya sesak di dadanya hilang tak tersisa. Agar himpitan di jiwanya terangkat pelan.

Aksa memandangi layar ponselnya sedari tadi. Sederet kalimat tanya, telah ia selesaikan dan hanya tinggal mengirimkan. Namun ragu masih menyandra dirinya dengan utuh. Memaksanya agar lebih tahu malu. Tetapi perkataan Arzanu terus terngiang di kepala. Tak ada salahnya memulai kembali. Toh, sejak dulu memang dirinyalah yang selalu memulai semua.

Layar pesan dengan kontak yang masih ia beri nama "Bundanya anak-anak", terus ia pandang. "Bismillah," cicitnya sambil menyentuh ikon kirim dilayar bawah bagian kanan.

Aksara SenadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang