Empat Belas

40 10 2
                                    



*

*

*

*





Julia menunggu pintu unit apartemen Dewangga terbuka dengan perasaan harap-harap cemas. Ia tidak dapat menahan ringisan bersalahnya, kala pintu itu terbuka, dan langsung disambut dengan wajah pucat pria itu. Perasaan bersalah kian menghantam dirinya.

"Astaga, ya ampun!" ucap Julia spontan.

Dewangga masih mencoba memaksakan senyumnya, walau terkesan dipaksakan.

"Hai, sorry, ya buat piring kamu belum sempet saya cuci. Besok deh saya balikin."

"Si anjir, malah mikirin piring. Enggak, gue ke sini bukan buat nagih piring, tapi mau lihat kondisi lo."

"Oh, saya baik-baik saja."

Julia melotot tidak percaya. Wajah Dewangga jelas-jelas mengatakan yang sebaliknya, tapi kenapa pria itu masih dengan santainya bilang kalau dirinya sedang baik-baik saja?

"Lo sakit gara-gara gue, ya?"

Dewangga menggeleng. "Bukan. Karena saya tidak kuat makan pedas."

"Lo bego, ya?" tanya Julia spontan. Perempuan itu berdecak tidak percaya sambil geleng-geleng kepala. Tanpa rasa malu, sungkan, atau menunggu dipersilahkan masuk, gadis itu mendorong tubuh pria itu pelan agar masuk kembali ke dalam unit.

"Harusnya kalau lo nggak kuat pedes, jangan dimakan dong, Ngga."

"Salah, ya, kalau saya berusaha menghargai masakan kamu?"

Julia berdecak kesal. "Ya jelas enggak lah, tapi cara lo nggak bisa gue bilang bener, Ngga. Nggak seharusnya lo melakukan ini, karena efeknya ke lo sendiri. Lo jadi sakit begini. Sekarang gimana kondisi lo? Lo perlu ke dokter nggak sih?"

Dewangga menggeleng. "Tadi saya sudah diperiksa kok, udah nggak bolak-balik kamar mandi juga. Tinggal lemesnya dikit." Pria itu bermaksud pergi meninggalkan Julia, namun, dengan cepat ditahan wanita itu.

"Mau ke mana lo?"

"Ambil minum buat kamu."

"Enggak usah, gue nggak haus. Ke sini juga bukan buat minta minum. Duduk lo sekarang!" Julia kemudian membimbing Dewangga agar segera duduk di sofa. Pria itu menurut dengan patuh bak anak anjing yang pintar, "lo udah makan?"

"Belum. Tadi masih mau order tiba-tiba kamu pencet bell."

"Gue bikinin bubur mau nggak lo?" tawar Julia.

Bukannya langsung menjawab, Dewangga malah tersenyum. "Apa tidak merepotkan?" Lalu balik bertanya.

Julia berdecak kesal saat merespon pertanyaan pria itu. Ia kemudian langsung berdiri dan bergegas mencari keberadaan dapur Dewangga. Meski unit mereka berada di lantai yang sama, ternyata fasilitas sekaligus luas ruangan mereka berbeda. Julia agak kaget melihatnya, semua barang-barang dan desain interior unit Dewangga benar-benar mewah dan juga kuat akan kesan manly-nya. Benar-benar cukup membuat Julia berpikir kalau mereka tidak tinggal di gedung yang sama.

"Butuh bantuan?" tawar Dewangga tiba-tiba menyusul Julia ke dapur.

Mungkin pria itu sedikit khawatir kalau perempuan itu akan mengacak-acak dapurnya. Setidaknya itu lah yang Julia pikirkan. Meski kenyataannya pria itu sama sekali tidak punya pikiran seperti itu.

"Boleh." Julia mengangguk tanpa ragu.

Dewangga langsung tersenyum senang. "Gue bisa bantu apa?" tanyanya ramah.

After Meet YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang