Bab 4 (Bagian 2) : Pertarungan

128 19 17
                                    

Hal pertama yang ia rasakan saat bangun adalah hawa menusuk yang menjalar di tubuhnya. Langsung saja ia membuka mata. Jangan-jangan...

Saat Lea membuka matanya, ia melihat adanya kabut tebal yang menyelimuti sekelilingnya. Kabut itu terasa dingin. Ternyata kabut itulah yang memberikan hawa dingin pada tubuhnya. Ia lalu menolehkan kepalanya ke kanan dan kiri. Mencoba melihat apakah ada objek yang familiar di sekitarnya.

Dan hasilnya adalah ... nihil. Ia tidak menemukan apapun. Hanya ada gumpalan kabut tebal yang menutupi jarak pandangnya. Ia mulai merinding.

'Apa aku sudah mati? Inikah dunia untuk orang-orang yang sudah meninggal? Sebelum akhirnya ditentukan akan dibawa ke surga atau neraka? Tempat ini mengerikan sekali....'

Hawanya yang dingin. Kabut yang menyelimuti hampir semua area. Cahaya yang redup. Suasana yang sunyi. Harum pohon pinus yang dengan mudah masuk ke dalam indra penciumannya. Tak salah lagi. Ciri-ciri ini sudah pernah ia lihat di sebuah buku di perpustakaan Kerajaan Conifux dulu.

Judul buku itu adalah 'Land Of The Dead'. Buku yang menjelaskan bagaimana perjalanan manusia setelah mati. Menjelaskan di mana mereka akan tinggal sebelum akhirnya diputuskan untuk masuk surga atau neraka.

Lea sampai berfikir bagaimana bisa ada manusia yang masih hidup, yang tau segala sesuatu tentang perjalanan kematian manusia, juga ciri-ciri detail dari tempat bersemayamnya ruh orang-orang yang sudah tiada, bahkan sampai menuliskan buku tentang keberadaan Land Of The Dead ini?

Apa jangan-jangan sang penulis sebenarnya adalah seseorang yang pernah mati namun hidup kembali? Atau malaikat yang menyamar menjadi manusia dan menulis buku ini?

Ataukah dia adalah orang yang dipilih oleh Tuhan untuk menerima wahyu, dan menjelaskan segala sesuatu yang Tuhan berikan padanya kepada seluruh manusia yang masih hidup sebagai pengingat, bahwa setiap makhluk yang hidup itu pasti akan mati?

Entahlah. Yang jelas, untuk saat ini Lea tak mau memikirkan hal itu. Ia masih harus mencerna fakta bahwa ia sudah meninggal.

'Tidak ... tidak mungkin kan?' Ia masih menolak kenyataan pahit itu.

Ia tak mau mempercayai bahwa ia sudah mati. Tapi semua hal yang ia lihat di depannya, benar-benar persis seperti apa yang dijelaskan dalam buku Land Of The Dead. Ciri-ciri yang disebutkan dalam buku itu sudah jelas berada di depan mata.

Seketika itu juga, ia menarik kedua lututnya ke dekat dadanya dan menyembunyikan wajahnya di balik lututnya itu untuk menangis.

"*Hiks-hiks* Aku sudah mati...*hiks* dan aku bahkan belum sempat menyampaikan salam perpisahanku pada Kak Elfen, dan kedua adikku...*hiks*. Aku bahkan belum meminta maaf pada Celia!" Isaknya masih tak bisa menerima kenyataan.

"*Hiks* Sialan! Ini semua gara-gara si cecunguk ZX!!" Jerit Lea yang lalu berdiri tegak.

"Awas saja! Kalau suatu saat ia masuk ke dunia ini, aku akan mengadukannya pada Tuhan supaya dia masuk neraka! Aaarrgh!!" Teriak gadis itu frustasi.

Lea lalu menendang-nendang udara dan meninjunya seolah-olah yang berdiri di sana adalah ZX laknat yang paling ia benci.

Karena ZX, ia mati sia-sia. Karena ZX, ia tak bisa menemui ketiga saudara dan empat sahabatnya lagi. Karena ZX, ia sendirian di sini.

"Argh! Benar-benar manusia menyebalkan!" Teriaknya lagi dengan keras.

Ia tak peduli. Ia sudah sendirian di sini. Ruh manusia yang lain juga tidak ada di sini kan? Entah mereka sudah dikirim ke surga atau neraka, atau memang mereka berada di tempat yang jauh dari sini. Yang jelas, Lea sudah tak peduli lagi.

Saving The ConifuxWhere stories live. Discover now