Bab 3 (Bagian 1) : Kecemasan

143 25 1
                                    

Di mobil...

"Kak Elfen..." Panggil Celia yang terdengar lesu. Sontak membuat Elfen menoleh ke arahnya.
Elfen memperhatikan bagaimana raut wajah adik laki-lakinya mengecut.

Senyum ceria bak mentari yang tadi ia perlihatkan itu pun menghilang. Tatapan mata pemuda itu mengarah pada bangunan-bangunan dan rumah-rumah yang saat ini mereka lalui. Ia lalu menghembuskan nafasnya perlahan.

Celia lalu menoleh dan menatap Elfen serius.

"Kupikir ini sudah saatnya untuk menjaga Desa Raega. Kalau para Analyst sampai bisa mengambil hati mereka dan menguasai wilayah mereka, aku tak bisa membayangkan bagaimana nasib rakyat di perbatasan. Bagaimana kalau Analyst memang berniat untuk menaklukkan wilayah kita perlahan-lahan? Bagaimana kalau ternyata mereka bukan hanya ingin menaklukkan, tapi menyandera kita juga? Bagaimana kalau--"

Celia mulai gemetaran dan panik. Kedua tangannya memeluk dirinya sendiri dan mengusap-usap bagian yang disentuhnya sebagai usaha menenangkan diri sendiri. Pun untuk mengatur nafasnya, namun berujung gagal.

Elfen yang melihat itu hanya bisa memeluk Celia sembari membisikkan kata-kata penenang untuknya. Mengingat Celia sudah sangat sering mengalami kepanikan seperti ini, jadi ia sudah tau apa yang harus ia lakukan.

"Celia ... tenanglah." Ujar Elfen yang masih memeluk adiknya. Sembari sesekali mengecup kepalanya lembut.

"A-aku ... *Hiks* takut, kak."

Celia tampak mengatupkan giginya dan memeluk dirinya sendiri. Menahan dirinya sendiri agar tidak memekik karena perasaan frustasi yang ia rasakan. Amarahnya yang ia pendam terus-menerus, akhirnya membara ke udara. Tak sudi ketika ia harus melihat wajah-wajah kurang ajar bangsawan sombong itu.

Mentang-mentang banyak mata yang melirik mereka karena memiliki kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pesat, sumber daya manusia yang cerdas, penghasilan para penduduknya melebihi penduduk dari kerajaan lain, mereka bisa seenaknya berusaha menguasai daerah lain, termasuk Desa Raega tadi.

Semua kegiatan mereka pada akhirnya hanya berujung pada kepentingan bisnis dan politik. Celia benci mereka. Orang-orang bermuka dua yang hanya bisa memanfaatkan orang lain demi memenuhi kepentingannya sendiri.

"Hei ... tidak apa-apa. Aku akan melindungimu. Luna juga, Lea juga meskipun dia sedang pergi, tapi kau tau kan, Lea punya banyak naga peliharaan yang bisa ia perintahkan untuk menjaga kerajaan kita." Jelas Elfen, yang alhasil membuat Celia mendengus kesal.

"Entahlah. Aku tidak bisa mempercayai Kak Lea lagi. Semenjak aku tau ia adalah sahabat para Analyst brengsek itu, aku jadi khawatir. Bagaimana kalau ternyata selama ini, Kak Lea berkhianat dan sebenarnya sedang mengawasi kita juga? Bagaimana kalau ternyata Kak Lea berpihak pada para Analyst itu dan akan menyerang kita?!"

Celia memandang ke arah luar mobil dengan tatapan kesal. Jika diingat-ingat lagi, waktu pertama kali ia mengetahui kalau Lea adalah sahabat dari bangsawan Analyst, adalah lima tahun yang lalu, berjarak tepat dua bulan setelah terjadinya Perang Mist.

Saat itu ia sedang jalan-jalan bersama Luna di dekat daerah perbatasan. Sekedar ingin melihat situasi dan kondisi di sekitar sana. Tapi perhatiannya teralihkan begitu melihat kakak keduanya sedang berbincang dengan keempat bangsawan Analyst di pagar daerah perbatasan. Mereka tampak berbincang biasa. Bahkan sedikit diselingi dengan canda tawa.

Semenjak saat itu, Celia marah dan kesal dengan Lea dan selalu mencurigainya di manapun dia berada. Ia tidak suka. Bagaimana bisa kakaknya itu berbincang, bahkan tertawa bersama dengan orang-orang yang sudah memulai Perang Mist? Perang yang mengakibatkan terbunuhnya lebih dari seribu orang, dengan korban terbanyak berasal dari Kerajaan Diplomat? Tidakkah ia peduli dengan itu?!

Saving The ConifuxOù les histoires vivent. Découvrez maintenant