[4]. Penawar Luka

Start from the beginning
                                    

Tama mengembuskan napas panjang. Ia ditolak mentah-mentah. Sungguh dunia mungkin memang sudah terbalik. Wanita tak lagi risu dengan yang namanya pertanggungjawaban. Risa contohnya. Seharusnya, Tama diam, Risa mengejar.

Ini kenapa nggak ada serangan sama sekali dari Risa, sih? Dicariin ngilang, diajak bertanggung jawab nolak, didiamkan malah jalan di tempat.

Tama termangu lagi. Sepertinya, seminggu ini tak ada interaksi berarti di antara dirinya dan Risa. Mengesalkannya, perempuan itu memang jarang sekali di kantor. Lebih sering dinas ke luar, memandu wisata. Pun saat ia menyempatkan diri menghampiri, Risa malah sibuk mencari celah kabur.

Jadi, harus bagaimana ia sekarang?

Kepala Tama mulai pening. Ia menijit pangkal hidung sembari memejam, seperti sedang berpikir keras. Sampai akhirnya, ide berkebalikan itu melintas dan menarik dua sudut bibirnya membentuk senyum. Tama memutar stool bar, membelakangi meja lalu menyandarkan punggung.

Kali ini pasti berhasil. Tangan kanan Tama cekatan melempar kaleng bir kosong ke arah keranjang sampah. Bunyi berkelotak terdengar ketika benda besi itu tepat sasaran dengan jarak hampir 3 meter darinya.

Kalaupun gagal, paksa sajalah! Tama mengedik tak acuh. Ia bangkit dari posisi duduk. Butuh air dingin dahulu untuk menyegarkan diri sebelum melaksanakan misi berikutnya.

**

Risa tahu, kedatangan Mariana jelas tak mungkin seorang diri. Ada Rama bersamanya. Namun, laki-laki itu sengaja tak turun dari sepeda motornya. Ia menunggu di depan pintu pagar.

Jadi, untuk menghindari segala bentuk buntut permasalahan lain yang panjang, Risa memilih menerima uluran setoples kue kering buatan adiknya. "Ada lagi yang mau dibicarakan?"

Riana tertunduk sejenak. Berusaha tersenyum. Manis. Masih semanis dulu dengan dua dekik di kedua pipi yang sangat Risa puja dulu. Ia bahkan dulu gemar mengerjai adiknya yang terlampau tenang dengan memanggil namanya saat melamun, dan ketika wajah berdekik itu menoleh, telunjuk Risa tepat menusuk lekuk pipinya.

"Aku ... udah daftar ujian skripsi. Doain lulus, ya?" pintanya.

Risa menggigit pipi bagian dalamnya, menahan diri untuk tak bicara banyak. Ia hanya mengangguk pasti. "Terima kasih kuenya. Segera pulang. Angin malam nggak bagus buat kesehatan."

Dan membahas kesehatan secara spontan membuat manik hitam perempuan itu tertuju pada perut Riana yang menyimpan janin dua bulan. Tak jauh berbeda dengan sang kakak, Riana refleks melekatkan telapak tangannya di sana.

Lalu, keduanya sama-sama mengembuskan napas panjang dan membuang pandangan.

"A-aku pamit, Mbak. Maaf ...."

Risa bergeming. Tak perlu susah payah menyahut maupun mengangguk. Toh jauh di dalam lubuk hatinya, kecewa itu masih saja terus menggerogoti tak tahu waktu. Ia tak mau membohongi dirinya sendiri dengan berpura-pura memaafkan.

Langkah Riana tergopoh pergi, di susul suara menyesin motor dan sorot lampu utama kendaraan Rama menyala. Sepasang manik kelam laki-laki itu sempat menatapnya sekilas, membuat Risa segera mengalihkan pandangan.

Perempuan di ambang pintu itu menatap setoples makanan ringan pemberian Riana. Jika diingat-ingat dengan baik, tak ada yang mendadak. Semua ada gejala dan pertanda yang mungkin sengaja Marisa tepis demi melindungi perasaannya sendiri. Bertahun-tahun lamanya, bukan berarti ia buta dengan gelagat kedekatan Rama dan Riana. Risa saja yang takut menerima kenyataan dan berusaha menganggap kedekatan mereka ... biasa saja.

"Tolol ...," bisiknya pada diri sendiri.

Tatapan pada setoples sagu keju itu mengabur, terhalang riak-riak yang menggenang di pelupuk mata. Sial. Harus berapa lama lagi kondisinya semengenaskan ini? Menangisi keadaan yang sudah jelas-jelas tak bisa diselamatkan lagi.

Marisa berjongkok, meletakkan setoples kaca berhias pita merah ke lantai keramik kontrakan, dan ia cepat-cepat menyembunyikan wajah di atas lipatan dua tangan. Ia terisak-isak pelan. Saking sibuknya dengan tangis, perempuan itu tak menyadari suara kendaraan lain berhenti di halaman rumah minimalis yang sunyi.

Bahkan suara langkah yang beradu dengan paving blok terdengar samar. Kaki berbalut sneakers putih itu menghentikan langkah tepat di depan perempuan yang tengah sibuk menangis sambil berjongkok.

"Jadi, apa yang harus aku lakukan untuk bisa membantumu berhenti menangis seperti ini lagi? Aku nggak keberatan kasih bahu lagi buat sandaran."

Marisa tertegun sejenak. Dua telapak tangannya spontan menghapus sembap di kedua pipi sebelum mendongak. Seperti dejavu, kalimat itu kembali menelusup di telinga.

"Aku nggak keberatan kasih bahu lagi buat sandaran."

Tawaran peredam sembilu usai Marisa meneguk bergelas-gelas Wine malam itu. Tawaran yang tanpa sadar membuat Marisa terlena untuk membiar bibir keduanya saling bertemu semakin liar. Mencari pengharapan atas puing-puing yang tersisa agar ia kembali percaya bahwa esok pasti akan ada hari baru setelah hujan badai.

Telapak tangan itu terulur di hadapan Marisa.

"Bangun. Nggak akan ada hal yang bisa selesai dengan tangis terus menerus seperti ini." Lagi, laki-laki bertubuh jangkung itu masih sabar menanti sampai Marisa benar-benar menyambut uluran tangannya.

Dan kepadanya, lagi-lagi Marisa luluh dan percaya semua akan baik-baik saja. Tangan itu bersambut. Ia memercayakan dirinya pada genggaman erat yang lagi-lagi Tama tawarkan.

Marisa bangkit, menatap dengan simbahan air mata lagi yang mungkin akan ia habiskan malam ini. Di bahu laki-laki yang sama seperti malam itu. Sampai tuntas. Sampai ia benar-benar menyadari bahwa tangis memang tak lagi berguna.

Dua lengan laki-laki di hadapannya kembali menenggelamkan Risa dalam dekap hangat.

"Everything will be okay, Risa. Jangan menangis lagi." Kalimat yang terdengar usai pria itu mengembuskan napas gusar seraya mengusap rambut legam perempuan dalam dekap.

Dan lagi-lagi, Risa memilih percaya meski hal ini terkesan absurd setelah penolakan-penolakan yang ia berikan sebelumnya.

**

(10-03-2023)

====🏖🏖🏖====

Belum, jurus paksaan Tama belum muncul. Setelah ini, pepet teros sampai dapat! Gak sabar aku liat Mas Tama yang posesip dan agresip! 🤪

Tapi wajarlah, ya, belum ada sebulan, kan, Risa menerima kenyataan dadakan itu. Sakit banget pasti.

Ada baiknya kita semangatin Mas Tama pake tiup terompet dan pasang spanduk dukungan, yok!

🥳🥳🥳🥳🥳🥳

Makasih masih mau nungguin cerita ini, ya. Maafkan lelet posting. Aku tuh suka gini, lho. Gampang insecure tiap nulis. 🥲

Maafkan, ya.

Sekali lagi terima kasih. Vote jangan lupa. 🥰

 🥰

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
SuddenlyWhere stories live. Discover now