(2) brother.

23.5K 2.9K 75
                                    

Justin berusaha menerima keadaan walaupun otaknya berontak mengatakan kalau semuanya tidak masuk akal. Ia menjalani hari-harinya di rumah sakit dan mulai hidup sebagai Jeo.

Ia terus menerus meminum obat-obatan yang diberikan oleh perawat walaupun dirinya harus sekuat tenaga untuk tidak memuntahkan obat tersebut.

Hingga akhirnya setelah seminggu, dirinya dinyatakan sudah benar-benar pulih. Jeo akhirnya diperbolehkan pulang.

Dokter hanya menyuruhnya agar tidak kelelahan dan beristirahat dengan cukup.

Jeo pulang bersama Panji. Begitu sampai dirumah, sudah ada Jay, kakak tertuanya yang menunggu.

"Udah sembuh lo bontot?" ujar Jay seraya menghampiri adik bungsunya.

"Belum bang, masih koma di rumah sakit gue." sahut Jeo bercanda.

"Lo bener-bener ilang ingatan ya?" tanya Jay terlihat sedih. Menyadari Sifat Jeo begitu berubah, Jay yakin Jeo benar-benar kehilangan ingatan-nya.

Jeo tidak bisa menjawab pertanyaan Jay. Ia terdiam, tak tahu harus bagaimana. Karna kenyataan nya dirinya tidak lupa ingatan, melainkan jiwa yang berbeda.

Dia Justin. Namun harus berpura-pura hidup sebagai Jeo.

"Udah bang, jangan bahas itu, kasian Jeo masih kebingungan." Panji menengahi begitu melihat raut tertekan Jeo.

Jeo jadi merasa bersalah sudah membohongi Jay dan Panji. Tapi apa yang bisa dia lakukan? kalaupun dia jujur kalau sebenarnya dirinya bukanlah Jeo, ia yakin kedua lelaki itu tidak akan percaya dan hanya akan menganggap dirinya gila.

Jay menghela nafas. Ia tersadar tak seharusnya dirinya menanyakan hal itu pada Jeo.

"Lo mau langsung sekolah besok atau istirahat dirumah dulu?" Jay mengalihkan pembicaraan.

Jeo menggaruk pipinya. "Langsung sekolah aja deh bang, refreshing abis terkurung di rumah sakit." sahut Jeo canggung.

Dulu sebagai Justin dirinya tidak pernah merasakan perhatian seorang kakak karena dirinya adalah anak pertama.

Itu sebabnya Jeo merasa sedikit canggung berinteraksi dengan kakak-kakaknya ini.

"Yakin lo dek? kalo mau sekolah besok bareng gue aja, ga usah naik motor dulu." ujar Panji.

"O-oke bang." Jeo mengangguk kaku.

Kenyataannya dirinya tidak bisa mengendarai motor. Terlebih lagi setelah mati sekali selagi belajar mengendarai motor, Jeo jadi ragu apakah dirinya masih berani mencoba.

"Udah istirahat dulu sana." Panji mendorong pundak Jeo pelan. "Kamar lo di lantai dua, nomor dua dari tangga." jelas Panji.

Jeo mengangguk mengerti. Ia langsung melangkahkan kakinya menuju kamar yang akan di tempati olehnya itu.

"Kalo masuk biasakan ketuk pintu dulu ^^" ujar Jeo mengeja tulisan yang tergantung di pintu kamarnya.

Jeo terkekeh pelan lalu memegang kenop pintu dan mendorongnya. Begitu pintu terbuka, Jeo terdiam melihat desain kamarnya.

Dominasi warnanya adalah biru muda dan putih.

"Silau anjir." ujar Jeo dengan wajah masam. Menurutnya pilihan warna kamar ini terlalu cerah untuk dirinya yang menyukai warna-warna gelap dan pastel.

Jeo memasuki kamarnya sambil menenteng sekantung jajanan yang sempat dibelinya di perjalanan pulang. Ia meletakkan kantong plastik itu di atas meja belajar.

Jeo lalu mendudukkan dirinya di atas kasur yang ada di kamar itu. Ukuran kasurnya lumayan besar.

Jeo mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya.

ANTAGONISWhere stories live. Discover now