6. Cerita Tiga Serangkai

5.5K 497 10
                                    

Pukul 08.00, semua santriwan dan santriwati PonPes As-Syifa' berkumpul di aula. Hari ini, madrasah diliburkan atas dawuh dari Abuya.

Kini, aula pesantren sudah dipenuhi oleh santriwan dan santriwati yang duduk lesehan diatas karpet. Diantara santriwan dan dan santriwati terdapat satir sebagai pembatasnya. Di depan sana, sudah ada Abuya Ibrahim, Abi Arifin, dan Gus Afzal. Sedangkan Umi Fatimah dan Ning Kinar, berada di barisan paling depan santriwati.

"Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,"

"Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh."

"Sugeng injing. Pripun kabare? Sae sedanten?"  tanya Abuya kepada Santriwan dan Santriwatinya.

"Alhamdulillah, sae,"

"Alhamdulillah. Hari ini, seperti biasa, Buya ingin kalian meluangkan waktunya sebentar, untuk mendengarkan cerita Buya yang mungkin, bisa mengurangi rasa bosan kalian di pesantren."

Abuya tersenyum hangat kala melihat santriwan dan santriwatinya terlihat begitu senang.

Memang, sejak awal Pondok Pesantren As-Syifa' di dirikan, Abuya dan para sahabatnya membiasakan untuk berkumpul dan bercerita bersama santrinya. Selain untuk menumbuhkan rasa persaudaraan, dan mempererat  kekeluargaan, juga untuk menghilangkan rasa bosan. Jadi, tidak heran jika santriwan dan santriwati PonPes As-Syifa' ini sangat suka membaca dan mendengarkan cerita.

"Baik. Tahun lalu, Abuya pernah bercerita tentang tiga serangkai yang selalu membuat ulah di pesantren. Ada yang masih ingat?"

"Masih, Buya."

"Wah, alhamdulillah, masih pada ingat."

"Sebelum Buya bercerita, Buya ada quiz. Siapa yang bisa menceritakan secara singkat, apa yang buya ceritakan tahun lalu, Buya beri hadiah, khusus." kata Abuya.

Satu santriwan mengangkat tangannya.
"Baik, Kang Dio silahkan berdiri."

"Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh."

"Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh."

"Sebelumnya, afwan, Buya. Ini langsung menceritakan, atau persis seperti apa yang Buya ucapkan?" tanya Kang Dio.

"Langsung ceritakan saja, le." Sahut Buya. Kang Dio mengangguk sopan.

"Beberapa tahun silam, ada tiga santri yang datang ke Pesantren Nurul Iman. Dua perempuan, dan satu laki-laki, yang merupakan seorang gus di Pesantren Nurul Iman." ujar Kang Dio mengawali ceritanya.

"Para santriwan dan santriwati, juga keluarga ndalem menjulukinya sebagai tiga serangkai. Belum ada satu hari mereka tinggal, sudah ada banyak keributan yang dibuatnya. Hingga akhirnya mereka tumbuh dewasa--"

"--dan berpisah karena harus menjalani pendidikan di tempat yang berbeda." 

Abuya tersenyum. "Sudah, kang?"

Kang Dio mengangguk. "Sudah, Buya."

"Ceritanya memang benar. Sudah mencakup 55%. Hanya saja, kurang lengkap. Ayo, siapa yang bisa menceritakan  paling tidak 75% nya." kata Abuya.

Melihat tidak ada yang mengangkat tangan. Gus Afzal berdehem. Membuat seluruh atensi santriwan dan santriwati beralih kepadanya.

"Sekitar 8/9 tahun silam, ada beberapa anak yang datang ke Pesantren Nurul Iman.  Dari beberapa anak itu, ada tiga anak yang selalu bersama. Bertengkar, makan, bermain, berbuat ulah, selalu bersama-sama. Hingga seluruh penghuni pesantren menjulukinya 'tiga serangkai'. " ujar gus Afzal sambil melirik Abuya.

Abuya tersenyum menggoda. "Masih ingat, gus?" bisik beliau.

Gus Afzal tidak menghiraukan. "Tiga serangkai itu terdiri dari 1 laki-laki yang bergelar sebagai gus di pesantren, 1 perempuan yang bergelar sebagai ning, dan 1 perempuan cucu dari Kiyai besar. Bernama Thatha, Rara, dan Lala."

ASTAGHFIRULLAH, GUS AFZAL! Where stories live. Discover now