Chapter 4 | Conscience

1.7K 218 48
                                    


Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam ketika Alexis menatap gelapnya langit malam. Wanita itu terlihat menikmati dinginnya sentuhan angin di antara lapisan epidermis. Entah sudah berapa lama Alexis mendambakan ketenangan seperti ini, Alexis tidak tahu. Sejak menikah dengan Rafael, Alexis menyadari jika ada banyak hal yang direnggut dari dirinya. Dimulai dari ketenangan hati yang tidak akan bisa diberikan Rafael karena kebiasaannya bermain wanita hingga kebahagiaan semu di antara titik nadir pernikahan mereka. Entahlah, semesta seolah merenggut semua hal baik ketika ia bersama Rafael.

Tapi jika ditanya apakah Alexis pernah mencoba untuk mengubah keadaan pernikahannya, maka jawabannya adalah sering. Alexis sering kali mentoleransi kesalahan Rafael dengan harapan—pria itu bisa memperbaiki dirinya menjadi seorang suami yang bisa diandalkan dalam berbagai aspek. Ya meski terdengar mustahil, tapi Alexis pernah mencobanya. Menutup mata atas hubungan gelap Rafael demi menjaga keutuhan rumah tangganya hingga menghormati Rafael sebagaimana wajarnya seorang isteri adalah bukti bahwa Alexis pernah mencoba untuk bertahan di sisi pria itu selama yang ia bisa. Tapi, Alexis hanya wanita biasa. Dia memiliki batas sabar, dan Rafael melanggar batas sabarnya malam itu.

"Hah...." Helaan napas berat keluar dari dalam mulut Alexis saat ia tidak sengaja mengingat memori tidak menyenangkan yang terjadi. Tak ingin terperangkap dalam kenangan pahit di malam pertamanya sebagai seorang janda, Alexis lantas mengambil mug berisi teh hijau yang ada di atas meja. Dia menghirup aroma dedaunan hijau yang menenangkan sebelum menyeruputnya secara perlahan. Begitu dahaganya dialiri oleh liquid hangat yang meninggalkan rasa manis di antara lidah, Alexis tersenyum. Dia menyukai teh hijaunya.

Dirasa angin malam semakin membuatnya kedinginan, Alexis lantas beranjak dari sofa—bermaksud untuk masuk ke dalam kamar dan membaca beberapa buku medis sebelum beristirahat. Namun baru saja ia berdiri, suara deru mesin mobil yang menggema di halaman mansion membuat dahi Alexis mengernyit.

Siapa gerangan yang datang?

Tanpa menunggu lebih lama, Alexis lantas berjalan ke pinggir balkon dan melihat siapa yang bertamu ke mansionnya malam-malam begini. Begitu tahu mobil siapa yang terparkir di halaman mansionnya, Alexis segera berlari masuk, mengambil cardigan rajutnya dan turun ke lantai utama.

Ting!

Tong!

Saat bell berbunyi, Alexis segera membuka pintu.

Ceklek!

Pintu kokoh berwarna putih itu terbuka dan menampilkan sosok Philip yang berdiri tegap di depan pintu dengan membawa sebuah paper bag.

"Hi Ale. Aku harap aku tidak sedang mengganggumu," sapa Philip dengan senyum manis yang tak dapat ia sembunyikan. Melihat Philip datang berkunjung, Alexis tentu tidak keberatan. Dia membalas senyuman Philip dengan ramah.

"Hi Philip. Kamu tidak mengangguku. Silakan masuk," ujar Alexis, mempersilakan Philip untuk masuk. Tapi bukannya masuk, Philip malah menggeleng pelan.

"Ah tidak-tidak, aku datang ke sini hanya karena ingin memberikan ini padamu," balas Philip sambil menyerahkan paper bag hitam bertuliskan 'Cake & Cho Pastry'. Dengan sedikit bingung, Alexis menerima paper bag dari toko kue favoritnya.

"Philip, ini..."

"Happy birthday, Alexis. Maaf jika aku terlambat mengucapkannya beberapa hari," ujar Philip dengan netra biru yang menatap Alexis dengan hangat. Bahkan sorot matanya meneriakkan cinta pada wanita ini—wanita yang dulu hampir menjadi isterinya jika saja tidak ada pertentangan di antara kedua keluarga. Mendapat ucapan selamat ulang tahun dari seorang pria seperti Philip, Alexis pun tersenyum manis.

JANDA SANG TAIPAN (JILID 3)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن