15. Tahap Pertama

31 2 0
                                    

Fatimah sedang sibuk membantu Pudji yang sebentar lagi akan balik ke Kantor Capil ---Pencatatan Sipil---untuk bekerja. Sebenarnya pria berwajah manis itu tidak punya waktu untuk pulang kampung, hanya saja ia mengajukan cuti beberapa hari untuk melihat kondisi orang tuanya.

"Kalo udah kerja, banyak-banyak berdoa, biar tidak lupa sama ambu dan abah!" tegur Bu Nurmin, Ibu kandung Pudji.

"Tidaklah, Mbu. Pudji mana lupa sama orangtua sendiri. Durhaka namanya, 'kan, Fati?"

Fatimah yang tengah menyusun berbagai macam kue kering buatannya dan Bu Nurmin, mengangguk sambil tersenyum.

"Jangan tanya ke Fati. Ambu tau kalian berdua itu sekongkol!"

Dua sejoli itu tertawa.

"Bawaan Pudji terlalu banyak, Mbu. Sisanya biar sama kalian saja. Atau kalo Ambu tidak mau, kasih saja ke Fati."

"Itu sudah ambu targetkan buat sebulan. Lagi pula kamu kan belum tentu satu tahun ini pulang kampung!"

"Tapi, Mbu, Pudji bisa beli makanan di sana!"

"Kalau jajan sembarangan bisa-bisa sakit. Mending makan ini saja. Lagi pula Fati sudah susah payah bikin kue untuk kamu, kok malah ditolak, sih!"

Pudji menepuk jidat. Benar juga, kenapa ia bisa lupa kalau Fatimah turut berperan penting dalam pembuatan kue-kue ini?

"Nah! Itu pasti sudah lupa, 'kan sama Fati?"

Pudji menyengir sambil terus meladeni omelan sang ibu. "Ya sudah, kalau begitu Pudji bawa semuanya saja di kos."

"Harus itu,"balas Bu Nurmin seraya melirik jam tua yang menggantung di papan. "Ya Allah! Ini sudah siang, Nak!"

"Memang sudah siang, Mbu."

"Ini gimana toh? Kalian berdua kan mau ke pasar swalayan!"

Pudji dan Fatimah saling berpandangan dengan mata terbelalak.

"Astaga! Aku benar-benar lupa, Fat!"

"Aku juga udah lupa." Fatimah memikirkan sesuatu. "Kalo gitu biar aku aja yang ke pasar pake motor Mak Tari. Akang kan udah mau balik ke kota."

"Enggak! Aku masih punya banyak waktu."

"Terus barang sebanyak ini gimana?"

"Nanti sepulang dari pasar aja aku beresin."

"Tapi, Kang---"

"Ayo siap-siap. Kita berangkat sekarang."

Fatimah jadi tidak enak pada Bu Nurmin. "Ambu ... ini nggak papa kalo Akang temenin Fati ke pasar?"

Bu Nurmin tersenyum ramah dan menjawab, "Ya tidak apa-apa toh, Nak. Kan Pudji sudah janji mau temani."

"Tuh, 'kan, Fat? Ambu aja nggak keberatan. Ayo kita pergi!"

Akhirnya Fatimah menurut. Kebetulan Pudji punya motor yang meskipun sudah tua, tetapi semua surat dan helm masih lengkap.

Sesampai mereka di garasi motor, suasana terasa berbeda karena Pudji tiba-tiba saja diam.

"Kang?"panggil Fatimah seraya menepuk lengan Pudji.

Seakan tersadar dari lamunannya, Pudji mengembuskan napas panjang sambil memegang kedua bahu Fatimah. "Fat, aku tau ini bukan momen yang tepat untuk ngomongin ini sama kamu. Tapi aku cuma mau pesen supaya juga hati-hati selama aku nggak ada. Nanti kalo aku mau pulang, pasti kabarin. Tadinya aku rencana mau ngajakin kamu ke kota buat jalan-jalan. Tapi karena kamu juga lagi sibuk, mau gimana lagi."

Mengukir Iktikad (Completed ✔️)Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon