25. Merantau

11 3 0
                                    

Aroma menggoda salah satu makanan khas Bandung menguar di semua sudut restoran. Bau wangi nasi dicampur daun pandan, menarik langkah Narji yang baru saja bangun, dan berjalan ke sumber aroma sedap itu. Langkahnya terhenti melihat Fatimah dan Ros tengah sibuk menyiapkan sesuatu yang diduga menjadi sumber bau wangi tadi.

"Selamat pagi!"

Dua gadis yang sedang sibuk menyusun makanan di meja, sontak saja berjingkrak. Berbeda dengan Ros yang menyambut Narji dengan wajah cerah, Fatimah justru tampak malu-malu. Matanya berusaha tidak bertabrakan dengan Narji. Sungguh, ingatan semalam bahkan belum hilang.

"Narji, bikin kaget aja, lo!"bentak Ros.

"Hehehe! lagian kalian sibuk sih, sampe nggak sadar gue di sini." Narji melirik ke bagian belanga dan panci berisi makanan. "Wangi banget. Lagi masak apa sih?"

"Nasi timbel, Ji. Pernah makan, belum?"tanya Ros.

"Pernah denger sih, tapi belum pernah makan."

"Makanya Fati kasih ide bikin ini buat lo sama Kak Ferdi."

Kini tatapan Narji beralih ke arah Fatimah yang kentara sekali sedang menghindarinya dengan malu-malu. Ia tersenyum semringah dan mendekat ke meja makan. Ditatapnya satu per satu menu yang tersusun rapi dengan asap mengepul dan menggoda.

Berdasarkan penjelasan Ros, nasi timbel adalah salah satu makanan khas Bandung, yang pengolahannya dilakukan dengan cara nasi dibungkus dengan daun pisang, lalu disajikan bersama dengan lauk khas sunda. Nasi timbel selalu dihidangkan bersama lauk pelengkap yang beragam, seperti ikan mas, ikan nila, ikan mujair, ayam goreng, tahu, ati ampela, tahu bacem, ikan asin, gepuk, pepesan, dan sayur asem. Adanya lauk-pauk khas Sunda tersebut membuatnya berbeda dengan yang lain.

"Tolong bangunin Kak Ferdi sekalian, yah. Abis itu kalian cuci muka atau mandi, terserah. Udah bersih baru makan,"pinta Fatimah tanpa embel-embel.

"Yah ... nggak boleh makan sekarang aja? Si Ferdi nanti makan sendiri kalo udah bangun."

"Nggak bisa!"

Narji kesal, tetapi tak bisa menolak. Ia kembali ke kamar dan membangunkan Ferdi, kemudian menuju ke kamar mandi.

"Kalo nggak bawa sikat gigi, ada tuh yang masih baru di rak sabun!" Fatimah berteriak dari dapur.

Sambil menunggu Ferdi dan Narji selesai mandi, Fatimah menyiapkan minuman hangat dengan perasan jeruk nipis, sementara Ros mulai mengolah daging untuk dimasak. Lima belas menit kemudian, dua pria itu keluar dengan aroma wangi sabun. Penampakan mereka yang awalnya kusut, kini tampak segar.

"Ya ampun, emang bener yah yang di tik tok itu. Katanya, cowok kalau abis mandi, wanginya itu uhhhhh ...,"celetuk Ros, sambil mengendus bau wangi Ferdi dan Narji.

"Biasalah Ros, sisa sabunnya masih nempel. Kalo yang gue denger nih, cowok biasanya nggak bilas bersih sisa sabun,"timpal Fatimah, yang langsung saja dipelototi oleh dua pria itu.

"Sembarangan aja kalo ngomong. Ini tuh berkah dari Yang Maha Kuasa buat semua lelaki di dunia. Nggak usah iri deh!" Ferdi menyahut tak senang, tetapi ia hanya bercanda.

"Baperan, Kak Fer." Fatimah menggeleng pelan dan melanjutkan, "Udah deh, mending kalian makan aja. Aku sama Ros udah makan dari tadi."

"Loh, kok tega nggak nungguin kita?"

"Kita berdua harus ngurusin restoran, Kak. Jadi kalian makan aja, terus nggak usah komen soal kerja kita!"

"Ya udah. Kerja dulu, Fat!"

Fatimah berlalu meninggalkan dua temannya. Ia melirik jam dinding yang baru menuju ke angka enam. Diambilnya alat pembersih dan mulai membersihkan meja, kursi, serta menyapu lantai di bagian pelanggan. Tiga puluh menit kemudian beberapa karyawan datang sambil membawa tas merah berisi bahan masakan yang mereka beli di pasar.

Mengukir Iktikad (Completed ✔️)Where stories live. Discover now