29. Berhenti

10 3 0
                                    

Gadis itu melihat ke cermin yang menempel dengan lemari. Ia mengembuskan napas panjang sambil meringis melihat gadis di dalam cermin itu. Matanya merah dan bengkak, hidungnya juga merah. Wajah yang biasanya memancarkan keceriaan, kini tampak redup, tidak ada semangat di sana. Ia berantakan. Ia tak kuat. Ia lemah. Ia patah hati.

Gadis itu—Fatimah—sungguh menyesali tindakannya yang menghabiskan waktu mulai dari pukul 11 malam ketika Narji pulang ke rumah, sampai pagi ini dengan menangis. Cengeng memang. Lagi pula siapa yang tahan jika mengetahui orang yang ia sayangi ternyata memiliki orang lain yang dicintai. Fatimah tahu, ia sadar, bahwa Narji bukan siapa-siapa baginya. Begitu juga ia yang bukan siapa-siapa bagi Narji. Namun apakah ia salah jika merasa terluka mengetahui fakta itu setelah Narji menyatakan perasaan padanya?

Narji memang belum mengikat hubungan mereka dengan jelas, tetapi ungkapan hati yang ia katakan pada Fatimah sudah lebih dari cukup untuk menegaskan bahwa ia menyayangi Fatimah, dan akan segera menjalin hubungan, bukan? Jadi apakah ia masih tetap salah karena sudah menangisi pria itu?

Kemarin sore, tepat setelah SMS itu dibaca tanpa sengaja, Fatimah tiba-tiba menjadi diam, bahkan sampai kembalinya Narji. Ia memandang ke arah lain, supaya Narji tidak curiga kalau SMS dari Dewi sudah dibaca.

Sayang? Apakah itu pesan yang lazim dikirimkan seorang mantan pacar? Tidak masuk akal, bukan?

Selama di perjalanan pulang, hanya satu kemungkinan yang Fatimah pikirkan, yaitu Narji berniat untuk menyelingkuhi Dewi, dan sasarannya adalah Fatimah. Oh ya Tuhan! Fatimah sangat takut menghadapi situasi itu. Cukup sudah ia dibuat sangat terluka atas sikap Amira yang menuntut perbuatan Yusni, ibu Fatimah, padanya, yang juga korban. Fatimah tindak ingin hinaan dan makian Amira ternyata benar.

"Kamu kenapa sih, Fat?" tanya Narji di ruang tamu.

Fatimah hanya menggeleng.

"Kamu dari tadi dieeemmm aja. Padahal sebelumnya nggak papa loh. Apa ini karena Amira?"

Fatimah tak berencana menanyakan perihal Dewi, sehingga ia langsung mengangguk, tak ingin memperpanjang obrolannya dengan Narji karena ia sedang malas, ia sedang sakit hati. Tidak tahukah Narji bahwa ia sedang berusaha agar tidak menangis? Tidak tahukah Narji bahwa apabila Fatimah berbicara dengan kondisi hatinya yang terluka, ia akan langsung menangis? Itulah kenapa Fatimah tetap diam, Meskipun ia marah, kecewa. Ia merasa direndahkan, diinjak, tak dihargai, dan dibodohi, karena Narji memanfaatkan perasaannya untuk bersenang-senang.

Sekali lagi Fatimah mengembuskan napas panjang. Ia masih tidak menyangka bahwa Narji selicik itu. Ia pikir Narji laki-laki setia, laki-laki bertanggungjawab, dan penuh kasih sayang. Ternyata ia salah. Ia telah dibodohi. Di saat hatinya sudah terbuka untuk menerima kasih sayang Narji, sekarang hati itu ia paksa tutup kembali, agar tak mudah merasakan cinta atau perasaan sialan lainnya, baik pada Narji, maupun pada semua laki-laki. Mereka pembohong! Mereka jahat! Mereka licik! Mereka kejam! Fatimah benci laki-laki, kecuali ayahnya. Fatimah benci laki-laki, karena selalu memanfaatkan statusnya yang seakan lebih tinggi dari perempuan. Fatimah benci laki-laki yang memperlakukan perempuan semena-mena. Fatimah benci!

Merasakan bulir air mata membasahi pipinya lagi, ia segera menghapus, tak ingin dirinya terlihat semenyedihkan itu, meskipun di depan cermin.

Sambil merenung di depan cermin, ia mendengar pintu depan terbuka. Sepertinya Narji sudah tiba. Cepat-cepat ia memperbaiki penampilan dan raut wajahnya.

Tidak! Narji tidak boleh melihatnya dalam keadaan semengenaskan ini.

"Fat?"

Pintu kamar pun terbuka.

Mengukir Iktikad (Completed ✔️)Where stories live. Discover now