2. Tidak Adil

26 2 0
                                    

Fatimah duduk berhadapan dengan pria berkepala empat, yang tengah menatap heran padanya. Pagi tadi pria itu bingung, ketika resepsionis memberitahu ada seorang mantan pelamar kerja bernama Rahayu Kusumawati ingin menemuinya.

Santo, pria berkepala empat, sekaligus HRD PT. Future Development, memerlukan waktu beberapa menit untuk memutuskan, sekaligus meminta waktu jeda beberapa saat, karena ia baru saja memantau langsung proses interview pada para pelamar kerja, yang jumlahnya sekitar 20 orang.

Dan di sinilah perempuan itu berada. Sebelumnya ia sudah lihat foto perempuan bernama Rahayu itu melalui data riwayat hidup. Semuanya sama, kecuali kacamata borderless frame yang tidak ia cantumkan sebagai foto di curriculum vitae.

Penampilan perempuan itu sangat sederhana. Kameja putih berlengan pendek, celana kain hitam, wedges hitam pekat, dan sling bag berwarna peach. Intinya, tidak ada yang menarik dari perempuan kecil di seberang mejanya.

"So, apa yang bisa saya bantu, Nona?" tanyanya membuka percakapan.

Fatimah berdeham sambil melepas masker, karena ternyata si HRD saja tidak mematuhi aturan perusahaan yang mewajibkan semua orang di dalamnya mengenakan masker. Kemudian ia menjawab, "Saya langsung ke intinya saja. Minggu lalu, saya mendaftarkan diri sebagai pelamar pertama. Berkas juga langsung lengkap pada hari kedua. Saya meminta info dari Bapak, dan Bapak bilang akan menginfokan lewat e-mail." Fatimah menarik napas sejenak, menetralkan pikirannya. Ia melirik ke arah Santo yang tampak terkejut melihatnya melepas masker. Fatimah tidak akan takut ditegur, karena Pak Santo yang merupakan HRD saja tidak mengenakan masker, jadi ia tak punya hak meminta Fatimah mengenakan masker. Bodoh amat! Amat aja nggak bodoh!

"Lalu apa masalah—"

"Saya belum selesai bicara, Pak!"

Santo melotot, tak percaya akan sikap lancang Fatimah. Berani-beraninya ia memotong pembicaraan seorang HRD!

"Kemarin saya mendapat e-mail dari manajer HRD, yang menginfokan kalau saya tidak diterima. Nah, di situ masalahnya, Pak. Saya tidak bisa terima atas penolakan ini. Boleh saya minta penjelasan dari Bapak kenapa menolak saya?"

Santo menganga, tetapi beberapa saat kemudian ia tergelak. Sungguh tak menyangka ada manusia yang tidak punya malu seperti perempuan kecil itu.

"Kamu ini, saya minta serius, kamu malah ngelawak. Ckckck!"

"Di mana yang lucu, Pak?"

"Di mana? Emang kamu nggak tau?"

"Setahu saya, nggak ada unsur ngelawaknya, Pak!"

Santo meredakan tawanya. "Selama belasan tahun jadi HRD, baru kali ini saya ketemu orang kayak kamu. Namanya udah ditolak, berarti nggak butuh alasan lagi, dong. Kan udah jelas, keterampilan kamu belum diperlukan untuk pengembangan perusahaan. Jadi kenapa minta penjelasan saya?"

Fatimah geram setengah mati, ingin mencekik pria berusia hampir setengah abad di depannya.

"Barusan saya mengecek latar belakang pelamar kerja yang lulus ke tahap interview. Terus saya lihat ada beberapa yang tidak menyertakan sertifikat keahlian komputer dan bahasa, tapi kenapa bisa diterima, Pak?"

Santo tampak berpikir, mengingat lagi beberapa orang yang diterima tanpa menyertakan sertifikat.

"Oh ...." Kepalanya manggut-manggut, seperti sudah mengingat sesuatu. "Sepertinya saya lupa memberitahu, bahwa berpenampilan menarik merupakan salah satu syarat yang wajib dimiliki para pelamar kerja di perusahaan ini," sambungnya.

"Ha?!" Fatimah belum dapat menangkap maksud pria tua itu. Ia melanjutkan, "Saya kira syarat yang paling utama adalah keahlian. Dan soal penampilan, bukankah pakaian yang rapi lebih baik dari pada yang kelihatannya menarik?"

Mengukir Iktikad (Completed ✔️)Место, где живут истории. Откройте их для себя